Jumat, 11 November 2016

Sebuah tulisan "receh"

Masa-masa persiapan audit benar-benar menyita waktu, pikiran dan tenaga. Apapun yang terjadi, kemanapun ada orang atau teman yang mengajak, aku mau pergi. Ke gunung tentunya. Entah keadaan cuaca yang bagaimanapun, aku tidak peduli. Otak dan hati benar-benar penat dan lelah. Dua hal: pekerjaan dan.... ehm perasaan. Lelah dengan yang tidak pasti dan tidak membawa kemajuan.

Pada saat itu, datang seorang teman lama yang sedang cuti dari tugasnya dan kembali ke Jakarta tetiba bertanya jadwal wisata. Ya aku jawab saja, "ada". Masalahnya adalah, kemana dan bersama siapa yang belum jelas. Aku mengiyakan saja. Dan teman yang satu ini pun mengekor apapun keputusanku.

Kanan-kiri, depan-belakang, ajakan teman-teman lain silih berganti. Tempat dan tim. Pada akhirnya, -orang bilang, semesta mendukung-, kami nyatanya hanya melakukan perjalanan berdua. Gunung Cikuray. Tidak berdua tentunya. Di sana, kami bertemu dengan banyak pendaki lain yang nantinya pasti akan membaur satu sama lain. Lucunya, mereka langsung men-judge kami adalah sepasang suami istri. Anyway, lupa bilang. Seorang teman ini seorang laki-laki. Dan dia meng-iya-kan saja "tuduhan" mereka tanpa ijin. Pada saat itu, aku sedang ke kamar mandi di basecamp. Mau tidak mau, kami harus berperan seperti itu sampai kami turun kembali. Beberapa diantara mereka merasa amaze dan iri sampai keluar perkataan, "wah enak ya. Suami istri satu hobi. Tuh sayang, nanti kita juga begitu ya. Aamiin" lalu di-aamiin-kan oleh yang lainnya. Wew, aku berbisik pada temanku, "Bro, lu berhasil bikin pasaran gw turun. Bagaimana bisa gw dapet jodoh kalo begini caranya. Kenapa sih lu ga bilang kita adek-kakak aja?" lalu dia menjawab "gw cuma reflek manggut-manggut aja. Mana gw tau efeknya begini."
Dan perjalanan ini benar-benar jadi perjalanan penuh drama. Sesekali kami keceplosan "berteman" dan bila hal itu terjadi, kami langsung mengeluarkan dialog "ah! Kelamaan temenan sih kita" dan satunya menjawab, "iya. Jauh-jauh nyari orang, nikahnya sama lu juga!"

Oke. Untuk mencegah hal mencurigakan lain terjadi dan akan menyebabkan kami gagal untuk "berbohong", maka kami sepakat untuk membentuk kebohongan yang terorganisir. Kami segera berdiskusi bila nanti muncul pertanyaan-pertanyaan, " sejak kapan menikah?", "sejak kapan kenal?", " bagaimana bisa akhirnya menikah?" dan kami sepakat mengarang sebuah skenario dan (sampai-sampai melihat kalender hari paling memungkinkan terjadinya pernikahan) tanggal pernikahan.

Pendakian berlangsung. Kami membaur dengan pendaki lain. Entah semesta mendukung atau apalah namanya. Kami membaur dengan sekelompok pendaki muda asal Depok (di mana sebelumnya kami mengaku dari Depok). Itu gawat. Karena berarti, nantinya kami akan bersama mereka lebih dari basecamp tempat turun. Tapi sampai Depok kami harus tetap berperan. Karena entah kenapa, mereka benar-benar mendampingi kami dan berjalan beriringan (bahkan memasakkan air dan makanan untuk kami). Oke. Fine.

Benar saja semuanya. Hvft.

Teman ini, bercerita banyak hal tentang dirinya. Dia seorang teman lama. Aku mengenal dia lumayan baik. Aku menyebutnya "Bro-friend" (meskipun dia sempat salah baca menjadi BoyFriend). Banyak hal di masa lalu kami lalui sebagai teman yang solid. Bahkan sesekali bertukar cerita tentang pasangan. Yeah. Sesekali. Tidak terlalu dekat juga.

Seiring berjalannya waktu, setelah pendakian, kami intens berkomunikasi. Dia bertanya apakah merasakan ada sesuatu yang aneh? Aku jawab tidak. Sebenarnya aku merasakan hal aneh. Intensitas komunikasi kami meningkat. Itulah hal anehnya. Singkat cerita, entah kapan dan bagaimana, akhirnya kami memutuskan untuk lebih serius dalam hubungan ini. Banyak rencana dan timeline yang kami susun bersama.

Aku berkata pada Tuhan, "apakah ini tidak terlalu cepat, Tuhan? Mengapa Engkau memberikan porsi lengkap dalam satu waktu? Bahkan lebih dari apa yang aku minta dan lebih dari apa yang aku perkirakan."

Aku masih khawatir dan harap-harap cemas atas hubungan ini. Ya. Terlalu cepat untuk memutuskan keseriusan. Tapi di satu pihak lain, kami sudah bertahun-tahun mengenal dalam fungsi sebagai teman yang bahkan tidak kami prediksi sama sekali akan terjadi seperti ini. Dia, datang disaat aku merasa cukup atas ketidakjelasan. Merasa jenuh akan pekerjaan. Dia, versi lengkap apa yg belum pernah aku dapatkan. Our lifegoals, family background, hobbies, cara berfikir, dan banyak lagi yang sampai membuat kami kadang merasa ngeri karena terlalu banyak kebetulan yang sama.

Dia orang yang perhatian, adil, bisa dipercaya, setia, loyal, cerdas, plegmatis, mengalah, mempercayai sepenuhnya tapi tetap menjaga, dewasa (biarpun umurnya lebih muda beberapa tahun). Mungkin sampai detik ini aku masih masih tidak percaya. Dia? Serius sama dia??? Wew. Bukan hanya aku saja. Bahkan kadang kami masih suka menertawakan diri kami sendiri yang bahkan mungkin tidak pernah sama sekali terlintas kami akan jadi seperti ini akhirnya. Well, who knows. This happened for a reason, right?

Terima saja.

Minggu, 14 Agustus 2016

Terlambat bertemu

Tersebutlah sebuah perusahaan yang sedang bermasalah dengan keuangannya kemudian diputuskan untuk melebur dengan sebuah perusahaan yang dulu menjadi salah satu rivalnya. Aku bekerja di dalam perusahaan yang nyaris bangkrut itu sebagai salah satu tim humas. Tim yang solid dan sangat membahagiakan apapun situasinya. Kekompakan, profesionalitas dan kekeluargaan merupakan gaya hidup kami di sini. Namun semua menjadi seakan dalam ketakutan yang dalam. Ketakutan akan perubahan yang terjadi. Terlalu nyaman dengan keadaan yang sudah ada.

Karena telah melebur dengan perusahaan lain, yang nyatanya perusahaan itu memiliki kuasa lebih besar dibanding perusahaan tempatku bekerja membuat keputusan yang menyebabkan tim kami was-was. Pergantian pemimpin atau manajer atau kepala suku -kami menyebutnya begitu- merupakan hal yang menakutkan bagi kami. Lebih menakutkan dibanding deadline atau komplain. Kenyamanan akan kepemimpinan manajer saat ini sudah sangat top bagi kami. Top dan klop. Kami tidak rela bila dia --iya, dia. Manager Sheryl. Masih muda-- pergi dan digantikan oleh orang lain.

Satu tim sepakat untuk mogok kerja atau hal lain yang bersifat mengancam para komisaris agar tidak mengganti Sheryl. Tapi apa daya, para komisaris itu lebih berkuasa. Kami harus berpisah dengan Sheryl yang asik dan siap-siap untuk membuat manajer baru tidak betah agar perusahaan mengembalikan Sheryl pada kami.

Seminggu berlalu tanpa Sheryl. Pun tak ada kabar dari manajer baru yang baru. Kemudian, ada seorang sekretaris memberitahukan bahwa besok sang manajer baru akan datang dan akan membuat pesta perkenalan. Sontak kami sebagai tim yang solid berjanji satu sama lain untuk tidak datang ke pesta besok. Bahkan tidak ada yang akan masuk kantor. Namun berita itu, entah dari mulut penyihir mana, bocor ke komisaris dan kemudian terbitlah peringatan yang diketahui tidak masuk tanpa alasan yang jelas maka akan ada pemangkasan pegawai cuma-cuma. Bukan perusahaan yang kejam, tapi memang perekonomian sedang semrawut.

Jadilah hari ini tiba. Kami berbaris berkeliling melingkar di pinggir-pinggir tembok ruangan sang manajer. Wajah kusut kami membawa aura kelam seperti dalam kastil angker di Rumania. Langkah kaki mulai terdengar memasuki ruangan. Saat semuanya memandang orang yang datang itu dengan tatapan baik-baik saja, tidak denganku.

"Perkenalkan, namanya Pak Kurniawan"
"Hallo, selamat siang, Tim"

Dia. Dia itu Erga. Bagaimana bisa Erga ada di sini?

Mian menyikut-nyikutku agar aku berhenti membelalakan mata dan menutup mulutku yang setengah menganga seperti orang yang ketiduran nyenyak dalam kendaraan umum.

                      ***********

"Mirna gimana sih! Dulu paling menggebu-gebu katanya mau ngerjain manajer baru. Tapi sekarang nurut banget. Jangan-jangan kamu naksir dia yaaaaa... Eh bae-bae. Pak Kurniawan udah punya istri dan anak lhooo!" Mian dan teman-teman lain juga mengingatkan hal yang sama padaku. Wajar mereka melakukannya. Perubahan sikapku memang membuat tanda tanya besar. Tapi bagaimanapun aku bisa meyakinkan bahwa Erga, ehm, maksudku Pak Kurniawan memang seorang pemimpin yang baik.

Bagaimana tidak, dulu waktu sekolah, dia merupakan ketua OSIS paling dicintai dan dipuja bawahannya. Gaya kepemimpinan yang tegas tapi fleksibel, sangat memikirkan kesejahteraan bersama serta bertanggungjawab membuat Erga banyak disukai orang. Termasuk aku.

Entah bagaimana, tapi kami dekat. Pulang bersama maupun makan di kantin bersama. Tidak ada hubungan apa-apa, hanya sikap kami yang saling istimewa. Sampai akhirnya Erga harus berpamitan untuk kuliah di luar negeri. Kami saling kehilangan kontak seiring berjalannya waktu. Entah perasaan itu masih ada dalam hati Erga atau tidak. Saat kami bertatapan, rasa canggung itu nyata membatasi kami. Erga tetap sama. Sama seperti Erga yang dulu. Yang membuat aku bahagia. Seorang kakak kelas yang baik hati dan humble, manis dan pintar. Oooh, Erga. Kamu sempurna.

 
          *****
"Maafkan aku, Mirna. Ini salahku yang melewatkanmu dan tidak mencarimu segitunya sehingga kita saling kehilangan kontak. Maaf... Seandainya waktu bisa diulang."

"memangnya kenapa bila waktu bisa terulang, Erga?" Aku menatap Erga lebih dalam. Kemarahan bercampur di dalamnya.

"Seandainya waktu bisa diulang. Aku akan bersama kamu. Kita ini terlambat bertemu." Jawab Erga. Penyesalan di dalam matanya tak sanggup ia sembunyikan meskipun dia mencoba menjauhkan tatapannya dari pandanganku.

"Aku ingin bersama kamu, Mirna..." Sesak yang mendalam dari Erga, Manajer Humas di sebuah perusahaan besar multinasional.

Malam ini aku makan malam bersama Erga. Perasaan itu masih sama. Bukan aku tak pernah lupa pada Erga. Pernah. Bahkan aku sempat menyayangi orang lain biarpun sekarang sudah tidak lagi. Kekosongan hati ini menjadi semakin semrawut setelah kedatangan kembali Erga Bagus Kurniawan ini.

"Maaf Erga, mungkin aku bisa menjadi ibu pengganti dari anak kembarmu yang lucu-lucu itu dan menjadi istrimu yang paling lembut dan penurut. Aku sanggup. Tapi, aku tidak sanggup menjadi penghancur hati Anggraeni, istrimu yang sudah setia menemanimu sejak kamu baru memulai karir hingga mencapai posisi sekarang. Dia yang lebih berhak kamu bahagiakan. Sadarkah kamu, Erga? Tuhan sedang menjaga kita. Jika kita tidak terlambat bertemu, mungkin memang aku sudah mendampingimu saat ini. Tapi, tidak menutup kemungkinan kamu memiliki seseorang yang " terlambat bertemu" saat kamu sudah bersamaku. Pada akhirnya, di saat itu akulah yang merasa menjadi pelarian dan tidak kamu inginkan. Itu menyakitkan, Erga. Mungkin setelah ini, kita tidak usah bertemu lagi. Karena aku akan mengundurkan diri."

Dan aku memilih pergi dari Erga. Erga yang selama ini paling memahamiku dan satu gelombang denganku. Tapi Tuhan melindungiku dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih menyakitkan. Terimakasih, Tuhan

Sabtu, 25 Juni 2016

Mimpi (?)

Hari ini untuk pertama kalinya menonton film "Sang Pemimpi" yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta. Film yang bercerita tentang mimpi sederhana. Beasiswa ke Paris. Sederhana dibanding bermimpi untuk menguasai dunia atau mendapatkan hatimu. #aematee
Film ini sungguh memotivasi dan realistis. Mencapai mimpi benar-benar butuh perjuangan. Bukan karena dari keadaan nol, tapi minus. Dan mereka (Arai dan Ikal) bisa mencapainya.

Teringat beberapa hari yang lalu, tetiba seorang teman kantor secara acak menanyakan apa mimpiku. Sejenak aku terdiam. Aku bingung. Aku punya banyak mimpi. Seperti hidup nyaman bersama keluarga kecil yang nanti aku bangun dan membuat masa tua kedua orang tuaku tak kalah nyaman. Aku ingin membuat orang tuaku dengan bangga menyebut, "dia anakku". Aku ingin punya pekerjaan yang bisa membuat orang lain bekerja secara layak. Aku ingin sekolah tinggi dengan mudah dan mempermudah orang lain bersekolah tinggi. Aku ingin keliling dunia dan mengajarkan kepada anak-anakku bahwa kita ini manusia-manusia kecil yang tinggal di tempat sempit dengan kuasa Tuhan Yang Maha Luas. Aku ingin tetap dekat dengan Tuhan namun tetap punya gaya. Aku ingin hidup mewah secara sederhana. Entah bagaimana caranya. Satu hal yang harus aku tentukan satu persatu sekarang. Detail dari mimpi sebanyak itu, batas waktu untuk mencapainya, cara mencapainya, dan yang terakhir, dengan siapa aku mencapainya. Ini bukan sebuah "punya doa itu waktu ibadah. Bukan dijejaring sosial. Tuhan tidak punya akun."
Iya sih benar. Tapi aku bukan berdoa di sini. Hanya mengingatkan pada diriku bahwa aku juga seorang pemimpi. Mungkin suatu ketika ada orang lain yang membaca tulisan ini dan menyempatkan waktunya sejenak untuk mengamini mimpiku. Atau malah menjadi orang yang menyertaiku mencapai mimpi itu. Mana tau kan? :)

Tri Niasih Ati

Selasa, 24 Mei 2016

Surat untuk Yin XI

Hello, Yin...

Sudah tidak ada kabar lagi sekarang. Di mana kamu?

Yin, pernah berjanji sama orang? Bagaimana kalau janji kamu itu malah menyakiti diri sendiri. Itu namanya risiko, bukan? Lalu, bagaimana kamu bertahan? Biasanya kamu punya logika untuk itu.

Yin...

Jumat, 20 Mei 2016

Surat Untuk Yin X

Hello, Yin... Apa kabarnya kamu? Lama tidak ada kabar.

Yin, aku punya temen baru di kantor. Namanya Cok Gede Reza Nugraha Putra. Panjang ya namanya? Pasti dia lelah waktu menghitamkan lembar jawaban bagian biodata pas UAN dulu. Hihihiii

Dia orangnya lucu tau, Yin. Awalnya dia pendiam, lama-lama keluar aslinya. Suaranya kalem dan pelan. Sampe aku malu ini yang laki aku apa dia...  -__-"

Biarpun begitu, kalo ngomong suka nusuk biar dikata becanda juga. Masaaaa bosnya sendiri, Pak Adam Maulana, pas bilang, "Cok, kok lu bisa sih baca tulisan itu. Gila, mata lu tajem amat. Gw aja ga bisa."
Dan kamu tau dia jawab apa? "Udah tua sih." dengan muka datar, suara pelan dan berlalu begitu saja sambil membereskan kertas. Pak Adam itu masih muda, Yiiiin! Masih muda! Hahahaaa

Melihat mereka berdua itu seru, Yin! Mereka becanda melulu. Kebanyakan sih becandain Si Reza. Si Reza itu tau-tau makan jeruk atau jajanan yang aku bawa terus dia bagi-bagiin ke orang-orang. Emangnya makanannya siapa... -_-"
So far, he is a nice guy. Satu lagi, dia orangnya sabaaaaaarrrr banget. Dapat pressure  dari mana-mana tapi tetap dihadapi dengan dingin. Muka dingin. Tangan dingin. Ekspresi dingin. Hati dingin. #eeeaaaa

Taaaaapiiiiiiiii, kalo badmood-nya udah muncul, dia ngeselin banget. Rasanya pengen aku jorokin ke rel kereta deh, Yin. Masaaaa ada aku, dia pake headset kayak ga ada orang di sebelahnya. Dieeeeem aja. (Gataunya diem-diem terus bau kentut)

Anyway, how was your day, Yin? Good? I hope so...

Minggu, 15 Mei 2016

Surat untuk Yin IX

Yin, terimakasih untuk tetap mengikuti.

Yin, ada yang pernah bertanya padaku, "mengapa kamu suka mendaki gunung? Kepuasan apa yang didapat?"
Aku menjawab, bukan mengenai meraih puncaknya. Melainkan mengenai perjalanannya. Apapun bisa terjadi dalam perjalanannya. Susah, senang, sedih, puas maupun kecewa.

Sebenarnya, itu tidak sepenuhnya benar, Yin. Itu hanya sebagian kecil dari alasan yang benar. Sebenarnya adalah ke gunung adalah pelarianku. Meskipun sesungguhnya di sana aku tidak benar-benar berlari. Malah sering berhenti. Heheheee

Aku tidak akan berhenti berlari. Aku bahkan tidak tahu kapan akan berhenti berlari. Aku hanya ingin memastikan, aku berhenti berlari karena alasan yang tepat.

Semoga selanjutnya, gunung bukanlah tempat untuk pelarian, tapi tempat untuk menambah kebahagiaan. Semoga...

Ohiya, Yin. Sekali lagi terimakasih tetap membaca. ;)

Sabtu, 14 Mei 2016

Surat untuk Yin VIII

Hello, Yin. Long time no see. Apa kabarnya kamu? Sudah lama sekali tidak ada kabar.

Yin, aku ada cerita nih. Dibaca yak.

"Di suatu kota yang perniagaannya baik, berbatasan langsung dengan desa yang hasil buminya melimpah dan berkualitas tinggi. Penduduk kedua daerah ini tidak semuanya bahagia. Mereka saling bersaing untuk membuat daerahnya lebih tinggi citranya daripada yang lain. Di sana hiduplah seorang badut lucu. Dia bisa melihat kebahagiaan ditengah kesulitan dan bisa membuat tawa ditengah kesedihan dan kemarahan. Dia sering dipanggil oleh warga dua daerah itu untuk menghibur mereka atau sanak saudara mereka yang sedang dalam kesedihan. Dengan kemampuannya, kesedihan jenis apapun dapat diubah menjadi senyum dan keadaan menjadi lebih baik dan lebih positif.

Suatu ketika, sepulangnya dari kota di tengah malam, setelah menciptakan lawakan dan tawa segar ditengah kesedihan mendalam dari seorang anak saudagar kaya, Sang Badut mendapatkan penghasilan yang cukup banyak. Dia berjalan sendiri menuju rumahnya. Entah kenapa dia tidak mau diantar oleh pengawal Sang Saudagar. Dia hanya sedang ingin sendiri, namun tanpa ingin menunjukkan suasana hatinya, Sang Badut bilang bahwa dia ingin pergi ke suatu tempat untuk melawak lagi.

Ditengah malam berjalan sendiri, Sang Badut melihat ke atas. Langitnya begitu indah. Bintang-bintangnya tidak terlalu banyak dan bulan benderang hampir bundar sempurna. Sang Badut menghentikan langkahnya sejenak. Sang Badut tersenyum. Tatapannya syahdu. Lalu dia berjalan beberapa langkah menuju reruntuhan tembok dan duduk bersandar di sana. Dia meluruskan kaki dan menghela nafas panjang kemudian menundukkan kepalanya. Tidak, dia tidak lelah. Tapi entah apa yang dia rasakan.

Perlahan, pipinya hangat dialiri air mata. Perlahan, dia menangis dan perlahan air matanya semakin deras.

Mungkin ini sebabnya ia ingin sendiri. Bahkan dia sendiri tak tahu bahwa dia akan menangis. Siapa yang tidak tertawa melihat tingkahnya? Badut paling tersohor di dua daerah. Tidak pernah melengkungkan bibirnya secara terbalik ke bawah, tidak pernah melepas senyum-tawa, tidak pernah ada duka di sorot matanya, akhirnya menangis sendirian setelah membentuk gelak tawa dari kesedihan orang lain.

Tangisnya semakin deras. Badannya semakin lemas. Riasannya luntur. Terlihatlah wajah aslinya. Matanya sayu, bibir tipisnya segaris, dan pipinya mengendur. Berjuta kesedihan dia tumpahkan malam itu. Tidak ada yang melihat dan tidak ada yang peduli. Namun dia tidak merasa menyakiti diri sendiri. Dia hanya ingin sendiri. Dia tetap manusia yang bisa menangis, kecewa dan tersakiti. Meskipun tidak ada yang ambil pusing.

Setelah puas menangis sendiri, Sang Badut merias wajahnya lagi dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sang Badut siap bertopeng lagi. Sang Badut masih mencari, mencari orang yang dapat melihat wajah aslinya... Sampai kapanpun, dia takkan memperlihatkan wajah aslinya sampai ada yang percaya bahwa dia juga manusia."

Gimana, Yin? Jangan lupa komentarnya ya. Hubungi segera setelah baca ini yaaa... ;)

Sabtu, 09 April 2016

Photograph

Kamu masih memandangi pintu kaca besar di ruang keluarga, seperti biasanya, menungguku pulang. Hujan yang turun membawa firasat ke dalam hatimu yang memacu debaran jantung untuk berdetak lebih cepat. Tapi kamu tahu, aku selalu pulang dengan keadaan baik-baik saja.

Kamu selalu menggenggam erat masalah dan pedihku. Menelan bulat-bulat kecewaku. Juga bahagia dalam sunyi di dalam berita baikku.

Kamu juga diam ketika aku marah. Kamu menangis ketika aku tersakiti. Kamu bersyukur ketika aku bahagia. Cintamu sempurna.

Tapi aku sering pergi. Membuatmu sering menunggu sendiri. Berharap hujan turun ketika aku kegerahan atau aku ada di dalam ruangan. Setidaknya jika hujan datang, aku tidak sedang menangis. Karena salah satu tugas hujan adalah menyamarkan air mata.

Sebuah ciuman dan pelukan begitu hangat untuk penat. Kamu cintaku. Tapi aku sering pergi. Membuatmu sering menunggu sendiri. Berharap kesehatanmu membaik sehingga kamu bisa mengikutiku berkelana.

Kamu sering mendengarkan lagu favoritku, "Photograph" dari Ed Sheeran. Kamu tidak mengerti betul artinya. Tapi kamu merasakan cinta dalam lagu yang selalu aku dendangkan.

Aku pulang. Kali ini aku pulang. Maafkan aku membuatmu sering menunggu sendiri. Maafkan pula aku telah mendahuluimu pulang. Kini aku akan selalu di sisimu. Memelukmu sambil duduk bersama di ruang keluarga sambil memandangi pintu kaca besar, memandangi hujan. Aku yang sangat merindukan belaian tanganmu di rambutku. Aku mencintaimu. Kamu sempurna. Maafkan aku sering membuatmu menunggu. Kali ini aku pulang terlebih dahulu, tanpa memberitahu. Tapi kamu tahu, kita abadi di dalam foto. Waktu terhenti dan kenangan masa kecilku selalu mengusik tangismu untuk berganti senyuman.

Kamu sempurna. Jangan menangis lagi. Aku telah pulang. Aku mencintaimu, Mama...

"Loving can hurt, loving can hurt sometimes
But it's the only thing that I know
When it gets hard, you know it can get hard sometimes
It's the only thing that makes us feel alive

We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Our hearts were never broken
And time's forever frozen, still

So you can keep me
Inside the pocket of your ripped jeans
Holding me close until our eyes meet
You won't ever be alone, wait for me to come home

Loving can heal, loving can mend your soul
And it's the only thing that I know
I swear it will get easier, remember that we're never repeating ya
And it's the only thing to take with us when we die

We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Our hearts were never broken
And time's forever frozen, still

So you can keep me
Inside the pocket of your ripped jeans
Holding me close until our eyes meet
You won't ever be alone
And if you hurt me
That's okay baby, there'll be worse things
Inside these pages you just hold me
And I won?t ever let you go
Wait for me to come home
Wait for me to come home
Wait for me to come home
Wait for me to come home

You can keep me
Inside the necklace you bought when you were sixteen
Next to your heartbeat where I should be
Keep it deep within your soul
And if you hurt me
That's okay baby, there'll be worse things
Inside these pages you just hold me
And I won?t ever let you go

When I'm going, I will remember how you kissed me
Under the lamppost back on Sixth street
Hearing you whisper through the phone
Wait for me to come home" -Photograph_Ed Sheeran-

Rabu, 02 Maret 2016

Surat Untuk Yin VII

Yiiiin... Where have you been?

Yin, I miss you so.

Yin, kamu di mana? Gak ada kabarnya lagi. I need you, Yin. Yin, berat rasanya meninggalkan teman-teman kantor yg dulu. Yang lapar bersama, pulang malam bersama dan susah bersama. Aku akan cerita di surat berikutnya tentang lapar yang pernah melanda kami. Aku sedang tidak mood menceritakannya sekarang.

Yin, kapan kembali? Aku punya banyak hutang cerita kepadamu. Ohya, Yin. Sudah punya tambatan hati belum? Masa iya dari sekian banyak orang baru yang kamu kenal tidak ada yang kamu suka. Belum move on apa memang belum menemukan yang cocok? Ingat, Yin. Tidak ada orang yang dengan pasangannya itu benar-benar cocok. Setidaknya, kamu bersamanya itu tenang, tidak susah dan tidak disulitkan.
Hahahaaa aku sendiri saja belum dapat :p


Yin, kapan kembali? Aku mau bayar banyak hutang cerita. Termasuk cerita tentang kantor baru dan kantor lama.


Yin, pulang. Atau minimal balas suratkulah. Berkabarlah kita seperti biasa.

Yin, kabari begitu kamu sudah mendekat ke sini. Ada orang yang memaksakan menjadi akrab denganku. Aku tidak mengerti apakah orang itu mengerti arti dan batasan menjadi "teman dekat". Sepertinya aku sudah memberikan beberapa sinyal dari paling halus sampai paling to the point.
Entahlah. Yin, kalau kamu ada di sini, pasti kamu sudah bilang pada orang itu untuk tidak menggangguku lagi dengan ke-sok akrab-an dia. Dan pasti dengan mudah kamu tahu kalau aku tidak suka. Belum ada yang sebaik kamu dalam berfirasat dan pengertian, Yin.

So, I can't be moved from you. Where are you now? Call me when you need me. Lagu Charles Puth yang " Only One Call Away" itu buat kamu, Yin. Buat orang yang selalu ada.



Yin, pastikan kamu bahagia yes. I just wanna see you smile.


I miss you, Yin...

Surat untuk Yin VI

Yiiiin... Haaaiii! Kamu di mana sekarang? Tidak ada kabarnya.

Yin, aku gak nyangka akan sesedih ini untuk berpisah dari teman-teman kantor. Kamu tahu gak, Yin? Mereka itu menyebalkan! Tapiiiii super baik. Super lucu. Super perhatian. Super Solid. Super sadis. Pastinya mereka seperti keluarga baru. Yin, aku masa beneran sedih...

Satu kesedihan lagi, Yin. Aku punya teman. Sepertinya dia telah kehilangan sesuatu. Dia kehilangan dirinya yang dulu...


Yin, kamu di mana? :(

Senin, 22 Februari 2016

Surat Untuk Yin V

Hello, Yin... Gimana kabaranya?

Yin, aku abis ke Papandayan lagi lhooo... hihihiii
Yin, do you miss me? I do miss you, Yin...


Yin, please take me away from here!

Bosan, Yin... Bosan!

Yin, katanya airmata itu bagus ya buat kesehatan mata, kesehatan psikologis dan lain-lain ya? Tapi kayaknya aku lagi gak mau, Yin. Anyway, jangan datang dulu donk, Yin. Aku sedang tidak butuh dijenguk hahahaaa. Kamu merepotkan, Yin. Nanti aja datangnya pas dipanggil yah? Janji!


Yin, kamu di mana? Pasti sedang bahagia dengan orang-orang sekitar kamu. Selamat yah! Aku senang kalau kamu bahagia. Lanjutkan, Yin. Jangan lupa, Yin. Jangan jadi terlalu baik sama orang. Jangan sampai aku bilang kamu "bodoh" lagi yak? Hahahaaa.

Yin, kamu tahu aku akan punya pekerjaan baru kan? Baru kali ini aku bercerita tentang pekerjaan sama kamu. Biasanya aku bercerita tentang masalah hati hahahaaa... Eits, hati itu bisa masalah mood dan lain-lain ya kan? Aku cuma sudah jarang dengar dan lihat kabar kamu, Yin. Aku hanya ingin memastikan kamu sedang bahagia.


Yin, aku minta didoain boleh? Biasanya aku mau minta doa yang terbaik kan ya? Aku cuma minta kamu berdoa supaya aku bisa bertemu dengan kamu lagi. Kapan ya? Entah. Biar Tuhan saja yang atur. Gimana Okay?


Yasudah ya... Itu aja. Aku bingung, mau minta kamu jangan datang dulu atau datang biar aku bisa cerita semuanya?



Salam hangat,


Yang

Jumat, 12 Februari 2016

Surat Untuk Yin IV

Woi, Yin! Apa kabar? Sudah lama tidak berkabar.

Yin, kebosanan mulai berkurang nih. Tapi bukan berarti kesenangan juga bertambah. Jenuh sih, Yin. Tapi kayaknya udah mulai terbiasa aja.

Kamu gimana? Kelihatannya kamu baik-baik aja deh. Di akun jejaring sosial kamu keliatannya tambahh banyak temen. Baguslah. Jangan temenan sama orang yang itu-itu lagi. Nambah donk. Kayak sekarang. Sekarang makin banyak aja. Ohya, masa iya ga ada satupun yang bikin kamu tertarik? Yakin? Kamu masih straight kan? Hihihiii

Yin, masa ada orang yang berubah karena aku lho, Yin. Aku hebat apa gimana? Ehya, kamu pernah bilang sama aku kan kalau aku itu punya kemampuan memancing orang cerita masalah pribadi dia bahkan orang yang tertutup sekalipun. Kayaknya kamu benar deh. Aku baru sadar. Dari mulai abang gojek yang cerita tentang pengalaman mudanya suka naik gunung, atau ada abang gojek yang curhat masalah keuangannya dan keuangan perusahaannya (dia juga karyawan) terus ada juga kamu kan? Ya kan? Hihihiii ada banyak yang lain lagi lhooo... Dan kamu selalu berhasil menebak aku dengan "I already know you so well". Aku mah bisa apa atuh. Firasat kamu kuat, Yin. Salut aku.

Yin, gimana keadaan kamu? Masih suka bosan? Lama nian kita tidak berkabar. Aku cuma bisa memantau, tapi tidak bisa menjangkau.

Kamu masih boros gak? Atuh sholatnya dijaga yak. Udah ada yg ngingetin lagi dua hal itu gak? Kalo ga ada, masa iya aku harus cariin buat kamu. Kamu mah kan milih-milih. Tapi ga dipilih-pilihm mwahahahahahaaa peace 😛

Jangan ngambek yah. Kamu mah kadang suka sensitif. Etapi sensitifnya kamu itu yang membuat kamu mudah merasakan perasaan, mood dan membaca lawan bicara kamu dengan mudah. Sekali lagi salut!

Yin, hati-hati hujan. Awas jangan ingusan lagi! Hehehehee

Yin, kalau kamu rindu, aku ada di udara kok. Panggil saja lewat doa. Nanti aku datang. Karena Tuhan kan Maha Mendengar.

Yin, kamu jangan lupa bahagia ya. Lowong waktu kerjanya jangan buat lhat-lihat online shop. Ntar penyakit borosnya kumaaaat!

Yin, rindu...



Salam,


Yang

Kamis, 11 Februari 2016

Kepada: Yin (Part 2)

Langit merapikan kerah kemejanya. Dia mengambil tas yang berisi amplop-amplop berbagai ukuran dan berkotak-kotak paket yang harus diantar ketujuan sesuai alamat yang tertera.

Ini merupakan hari pertama Langit bekerja. Sebagai kurir untuk Kantor Pos. Langit menghentikan langkahnya di depan sebuah papan pengumuman yang dilapisi kaca dan adapat sedikit memantulkan bayangan. Langit mulai mematut diri lagi. Dibenahinya kancing, kerah dan letak tas slempangnya yang telah tergantung di bahunya.

Langit mengantarkan satu persatu surat dan paket yang ia pegang. Kemudian Langit sampai kepada suatu alamat. Langit terdiam. Langit memandangi rumah itu dari luar pintu pagarnya. Setelah beberapa kali bertanya pada orang sekitar dan oramg yang lewat, Langit akhirnya memutuskan kembali ke Kantor Pos. Sesampainya ke Kantor, Langit menuju meja administrasi.
"Ini surat gak salah alamat ya?" Kata Langit sambil mengeluarkan sebuah amplop putih kepada petugas administrasi. Petugas itu mengerutkan dahi. Lalu melihat amplopnya dan mengembalikannya pada Langit.
"Taruh aja di situ" Kata petugas administrasi tersebut.
"Lho? Kenapa?" Langit bertanya-tanya.
"Tuh Lihat! Yang di rak sana itu kumpulan surat yang sama dengan alamat sama, nama tujuan sama dan dengan pengirim yang sama." Kata petugas Administrasi.

Langit memegangi amplop itu dengan heran lalu dia melemparkan pandangannya ke rak yang ditunjuk petugas administrasi. Langit terdiam.

"Sudah berapa lama si Pengirim ini mengirimkan surat-suratnya tanpa balasan? Apa dia tidak tahu kalau pemilim rumah itu sudah tidak di imsitu? Rumah itu kosong. Ilalang dan rumput di taman depannya saja sudah meninggi."

"Tuh, lihat aja"

Kemudian langit terdiam. Dia hanya membayangkan betapa setianya sang pengirim. Bahkan ketiak waktu telah berlalu begitu lama, si pengirim tetap tidak lelah dan tetap setia mengirimkan surat tanpa pernah mendapatkan balasan.


Kepada:


Yin

Kepada: Yin (Part 1)

Kesekian kalinya gadis itu nampak gembira menuju meja bagian pengiriman surat. Sambil membawa amplop putih yang telah direkatkan rapi serta ditempeli perangko, wajah manisnya menghiasi Kantor Pos di setiap kamis. Petugas di meja itupun dengan ramah menyambutnya dan berbincang sebentar dengan gadis itu.

Setiap kamis, gadis manis itu mengirimkan surat kepada seseorang yang sama dengan alamat yang sama. Mungkin dia orang yang sangat spesial untuk gadis itu.

Gadis itu bersegera pergi untuk melanjutkan kegiatannya yang padat setelah menyempatkan diri sejenak ke Kantor Pos. Demi sepucuk surat itu.



Kepada:

Yin.

Selasa, 09 Februari 2016

Surat Untuk Yin III

Hello, Yin. Lagi apa? Biasanya aku bertanya seperti itu. Bergantian. Kamu juga.

Yin, sehat? Biasanya dimusim gampang hujan gampang panas begini kamu cepat demam atau hidung gampang meler. Atau cukup dengan beberapa hari turun ke lapangan, kamu sudah jadi anak ingusan dalam arti yang sesungguhnya.

Yin, aku bosan. Bosan yang sangat. Rasanya jalan-jalanpun tidak cukup untuk meredakan kebosanannya. Tapi Yin, sesaat di sore tadi, aku melihat dari kaca ruang kerjaku. Aku berkata pada rekan kerjaku sambil duduk menatap takjub ke luar jendela kaca itu, "Mas, di luar sana banyak ya yang bekerja lebih keras dari kita." Dan rekanku itu menjawab, "Iya, neng. Kita beruntung hujan-hujan gini ngadem di dalam ruangan. Beberapa orang terpaksa menerjang hujan untuk melanjutkan hidup."

Yin, aku masih termenung. Beberapa waktu sebelum hujan di hari ini aku mengeluh. Tentang hidup dan segala ketidakberuntungan yang aku miliki ---tapi kamu kebetulan memilikinya--- dan rasa iri. Aku kemudian menoleh sedikit ke bawah. Aku menjatuhkan pandanganku pada pintu gerbang gedung sebelah. Di depannya ada sekotak pos satpam dengan satu orang satpam di sana. Aku mengeluarkan pembicaraan lagi pada rekan kerjaku, "Mas, kebayang gak sih jadi satpam itu? Kerjanya sendirian. Hujan-hujan gini di luar. Seharian penuh cuma di situ (pos satpam) aja tanpa hiburan dan ga bisa ke mana-mana." Rekanku menjawab, "Iya, neng. Kita masih untung masih bisa ngobrol di dalam ruangan dan ada teman banyak." Duh, Yin. Sekali lagi aku tertampar hujan. Ternyata hujan bukan hanya mesin waktu yang membawa kenangan, tapi juga mengajak melihat kenyataan.

Yin, kamu jangan boros-boros lagi donk. Cari uang itu susah! Belilah yang kamu perlu. Bukan yang kamu mau... Duh... aku ingat bila kamu mau membeli sesuatu, kamu sering minta pendapat dan tak jarang kamu membatalkan niat membeli sesuatu karena kamu sadar bahwa itu hanya hawa nafsu belaka. Sekarang kamu bagaimana, Yin? Masih ada yang mengingatkan tidak?

Yin, kamu bahagiakan? Kalau tidak, datanglah. Kamu tahu di mana bisa menemukan aku.


Salam,


Yang

Minggu, 07 Februari 2016

Surat untuk Yin II

Hello, Yin. How are you? How is your day?

Biasanya pertanyaan itu nyangkut di ponsel kamu tiap malam kan? Tiap kita menyelesaikan aktifitas seharian. Sekarang tidak ada lagi ya, Yin. Rindu gak? Aku rindu deh masa... hahahaaa


Aku sedang merasakan kebosanan yang sangat, Yin. Sangat. Ingin keluar. Ingin berhenti. Tapi aku tidak bisa menceritakannya padamu.

Yin, how was your day?
Sepertinya kamu juga sedang mengalami hal yang sama. Tapi entah kenapa jarak di antara kita malah semakin menjadi. Sesekali mungkin kita rindu obrolan-obrolan yang pernah ada. Eh? Kita? Mungkin aku saja. Tapi kamunya nggak. Hahahaaa

Mungkin orang-orang melihat kamu lucu dan bahagia. Mungkin mereka benar. Tapi mungkin aku yang salah. Karena aku merasa kamu memaksakan diri. Entahlah. Tapi aku tetap berharap dan berdoa semoga kamu tetap dalam kebahagiaan. Sungguh, jangan tidak bahagia. Aku jadi sedih mendengarnya.


Yin, sekarang kamu ga asik. Eh? Kamu atau aku? Ya begitulah. Kita sudah tidak seasik dulu. Mungkin jarak kita sudah terlalu jauh. Maaf ya, Yin... Aku ingin cerita apa saja dan berharap kamu bisa meredakannya. Tapi tidak bisa. Aku yang salah. Aku yang menjaga jarak. Hhhmmm... itu berarti, aku yg ga asik ya? Hahahaaa

Tapi, Yin, ah sudahlah...

Aku rindu...





Salam rindu


Yang