Senin, 10 November 2014

Mbak Diah-ku

Kakiku berjalan terpincang ketika memasuki rumah. Aku menyeret tasku hingga menimbulkan bunyi yang tidak menyenangkan. Aku membuka pintu yang belum terkunci. Mbak Diah, kakak perempuanku, pasti dia masih menungguku pulang dari kantor. Aku tahu dia pasti khawatir. Masalahnya, sudah nyaris tengah malam dan aku baru saja menginjakkan kaki ke rumah.

Seorang wanita dengan baju daster sederhana keluar dari kamarnya sambil mengikat rambutnya. Dia terdiam di depan pintu kamarnya sambil melihat aku yang lunglai menjatuhkan diri ke sofa.
"Kok malam banget pulangnya? Itu. Itu kenapa celana kamu sobek begitu?" kata Mbak Diah menunjuk ke celanaku yang robek dibagian lutut. Belum aku jawab pertanyaannya, dia datang mendekat dan menyibak tirai dibelakang sofa tempatku duduk.
"Lho? Motormu kemana? Kamu pulang naik apa?" raut wajahnya makin menyiratkan kecemasan.
"Besok saja ceritanya ya, Mbak. Aku capek." kemudian aku mengumpulkan tenagaku untuk berdiri menuju kamar mandi dan bersiap untuk beristirahat.

*************

Aku bersiap ke kantor menggunakan rok pendek. Aku tidak suka sebenarnya. Tapi ini terpaksa karena lututku diperban tebal. Mbak Diah mendekatiku dan duduk di tempat tidurku yang letaknya tepat disebelah meja rias dan lemari pakaianku.
"Kamu kenapa tho, dek?"
"Semalam kan aku lembur, Mbak. Aku agak ngantuk. Capek deh rasanya. Tadinya mau pulang naik taksi saja dan motornya ku tinggal di kantor. Tapi akhir bulan. Sayang uangnya. Jadi kupaksakan ngelaju naik motor. Eeeh... Karena ngantuk, aku malah nabrak pagar kantor. Untungnya nggak parah pagarnya. Jadi aku ndak usah ganti. Tapi akunya jatuh dekat semak duri." Aku menjelaskan kejadian semalam pada Mbak Diah.
"Lha terus? Kamu pulang piye?"
Aku kemudian terdiam. Aku berhenti menyapukan bedak dipipiku. Mbak Diah menyadarkan lamunanku dengan mendekatkan wajahnya padaku sehinhga membuatku kaget.
"Iiih Mbak Diah ki opo tho? Aku kaget." kataku sambil menjauhkan wajah dari Mbak Diah.
"Wong kamunya ditanya malah bengong. Mbak pikir kamu kesambet" kata Mbak Diah yang juga menjauhkan wajahnya dariku dan kembali duduk seperti semula.
"Semalam itu ada teman kantorku yang menolongku, Mbak. Tapi aku ga kenal siapa. Aku cuma tahu dia bekerja disitu. Beda divisi soalnya. Aku diobati, Mbak... Hmmm... Maksudku, aku diantar ke dokter. Aku kan bilang ndak mau. Soalnya uangku cekak. Malu nanti ga bisa bayar. Eh tapi dianya maksa. Aku di gendong, Mbak. Aku sampe malu sama bapak satpamnya. Aku digendong sampai ke motornya. Gak jauh kok dari tempatku jatuh. Wong disitu tinggal kami bertiga yg belum pulang. Aku, dia, sama pak satpam yang lagi jaga. Setelah sampai di motornya, dia nyuruh aku nunggu sebentar. Ternyata dia balik lagi buat ngangkat motorku ke pinggir dan menitipkannya di pos satpam. Abis itu, yaaa gitu. Aku dibawa ke dokter, dia yang bayar. Mungkin dia tahu ini akhir bulan kali yaaa. Dan tahu betul alasan kenapa aku gak mau dibawa kedokter. Hahahaaa" kami tertawa bersamaan dan Mbak Diah mendorong bahuku, "Ah! Kamu itu! Terus? Terus?" kata Mbak Diah antusias.
"Yo wis aku pulang. Dianter dia juga."
"Yasudah. Jangan lupa nanti di kantor temui dia ya. Bawain apa kek. Roti atau makanan buat tanda terimakasih." kata Mbak Diah sambil berdiri meninggalkanku. Sebelum keluar dari kamarku, Mbak Diah berhenti dan membalikkan badan menghadapku.
"Sekarang sakitan mana? Sakitan fisik terluka tapi ada yang peduli? Atau sakitan hati ada yang punya tapi ga peduli?"
Aku cuma diam.

**************

"Kamu kenapa senyum-senyum?" Kata Mbak Diah.
"Tadi aku makan siang bareng, Mbak."
"Sama siapa?" Mbak Diah keheranan.
"Sama Dedi. Yang itu. Yang pernah aku ceritain" kataku sumringah.
"Jiyeeee... Seneng banget" kata Mbak Diah menggodaku.
"Apaan siiih Mbaaak..." kataku sambil membenamkan diri ke bantal. Aku pura-pura tidur agar Mbak Diah pergi meninggalkanku sendiri di kamar. Aku mau menghayalkan Dedi, lagi.

******************

Aku menyeret tasku hingga menimbulkan bunyi yang tidak menyenangkan. Aku membuka pintu yang belum terkunci. Aku terduduk lunglai di sofa seusai pulang dari kantor. Hari ini berat. Berat sekali bagiku. Mbak Diah keluar dari kamarnya sambil membenahi rambutnya yang cantik terurai.
"Lho? Ada apa kamu? Kok kecut gitu?" tanya Mbak Diah keheranan sambil mendekatiku. Aku tidak berani mengangkat wajahku. Aku masih tertunduk lesu. Kemudian Mbak Diah duduk disebelahku. Memandangku sejenak dalam diam. Aku terisak dan segera menyerbu ke badan Mbak Diah hingga dia mendaratkan punggungnya pada sofa dengan mendadak. Aku memeluk Mbak Diah erat. Aku menangis dengan nafas berat. Mbak Diah masih terdiam. Masih belum membalas pelukanku. Air mata hangat mengalir menyentuh bahunya. Perlahan, kedua tangannya melingkar di badanku. Melewati punggungku dan berakhir pada bahuku. Dia menepuknya pelan-pelan. Hingga isakku mereda.
Kemudian aku berhenti memeluknya. Menjauhkan diri darinya. Menghapus sisa-sisa luka hati yang masih mengalir di pipi.
"Mbak Diah dulu pernah bilang sama aku. Kalo kita itu terlalu banyak punya persediaan plester luka. Ada luka disana-sini, ditempel terus. Sampai akhirnya ga sadar kalau kita udah jadi mumi. Dan Mbak Diah menyarankan aku untuk aku menghindari penyebab luka itu kan daripada sibuk menambal luka dengan plester "maaf". Sudah, Mbak... Aku sudah pergi dari sumber luka..." kataku sambil menenangkan diri. Mbak Diah membelai rambutku.
"Mbak Diah juga pernah bilangkan, kalau aku terlalu sering disakiti sampai lupa bagaimana dibahagiakan? Mbak Diah juga dulu mengingatkan aku, suatu hari nanti, aku akan menganggap orang yang hanya ingin berjabat tangan saja adalah cinta? Mbak Diah benar...... Mbak Diah benar.... Dan Dedi.... Dedi....... Hanya ingin berjabat tangan, Mbak....... Bukan menjaga tangan......" kemudian aku terisak dan Mbak Diah memelukku erat.

Malam ini suram. Menyisakan isak yang membuat bahagia tenggelam...

*****************

Ketika malam menjerat,
   Dan sela-sela jari saling terisi merapat.

Aku jelas mengingat,
Genggamanmu yang hangat...

Tapi waktu menjawab cepat,

Kita bukan untuk saling mengikat....