Jumat, 11 November 2016

Sebuah tulisan "receh"

Masa-masa persiapan audit benar-benar menyita waktu, pikiran dan tenaga. Apapun yang terjadi, kemanapun ada orang atau teman yang mengajak, aku mau pergi. Ke gunung tentunya. Entah keadaan cuaca yang bagaimanapun, aku tidak peduli. Otak dan hati benar-benar penat dan lelah. Dua hal: pekerjaan dan.... ehm perasaan. Lelah dengan yang tidak pasti dan tidak membawa kemajuan.

Pada saat itu, datang seorang teman lama yang sedang cuti dari tugasnya dan kembali ke Jakarta tetiba bertanya jadwal wisata. Ya aku jawab saja, "ada". Masalahnya adalah, kemana dan bersama siapa yang belum jelas. Aku mengiyakan saja. Dan teman yang satu ini pun mengekor apapun keputusanku.

Kanan-kiri, depan-belakang, ajakan teman-teman lain silih berganti. Tempat dan tim. Pada akhirnya, -orang bilang, semesta mendukung-, kami nyatanya hanya melakukan perjalanan berdua. Gunung Cikuray. Tidak berdua tentunya. Di sana, kami bertemu dengan banyak pendaki lain yang nantinya pasti akan membaur satu sama lain. Lucunya, mereka langsung men-judge kami adalah sepasang suami istri. Anyway, lupa bilang. Seorang teman ini seorang laki-laki. Dan dia meng-iya-kan saja "tuduhan" mereka tanpa ijin. Pada saat itu, aku sedang ke kamar mandi di basecamp. Mau tidak mau, kami harus berperan seperti itu sampai kami turun kembali. Beberapa diantara mereka merasa amaze dan iri sampai keluar perkataan, "wah enak ya. Suami istri satu hobi. Tuh sayang, nanti kita juga begitu ya. Aamiin" lalu di-aamiin-kan oleh yang lainnya. Wew, aku berbisik pada temanku, "Bro, lu berhasil bikin pasaran gw turun. Bagaimana bisa gw dapet jodoh kalo begini caranya. Kenapa sih lu ga bilang kita adek-kakak aja?" lalu dia menjawab "gw cuma reflek manggut-manggut aja. Mana gw tau efeknya begini."
Dan perjalanan ini benar-benar jadi perjalanan penuh drama. Sesekali kami keceplosan "berteman" dan bila hal itu terjadi, kami langsung mengeluarkan dialog "ah! Kelamaan temenan sih kita" dan satunya menjawab, "iya. Jauh-jauh nyari orang, nikahnya sama lu juga!"

Oke. Untuk mencegah hal mencurigakan lain terjadi dan akan menyebabkan kami gagal untuk "berbohong", maka kami sepakat untuk membentuk kebohongan yang terorganisir. Kami segera berdiskusi bila nanti muncul pertanyaan-pertanyaan, " sejak kapan menikah?", "sejak kapan kenal?", " bagaimana bisa akhirnya menikah?" dan kami sepakat mengarang sebuah skenario dan (sampai-sampai melihat kalender hari paling memungkinkan terjadinya pernikahan) tanggal pernikahan.

Pendakian berlangsung. Kami membaur dengan pendaki lain. Entah semesta mendukung atau apalah namanya. Kami membaur dengan sekelompok pendaki muda asal Depok (di mana sebelumnya kami mengaku dari Depok). Itu gawat. Karena berarti, nantinya kami akan bersama mereka lebih dari basecamp tempat turun. Tapi sampai Depok kami harus tetap berperan. Karena entah kenapa, mereka benar-benar mendampingi kami dan berjalan beriringan (bahkan memasakkan air dan makanan untuk kami). Oke. Fine.

Benar saja semuanya. Hvft.

Teman ini, bercerita banyak hal tentang dirinya. Dia seorang teman lama. Aku mengenal dia lumayan baik. Aku menyebutnya "Bro-friend" (meskipun dia sempat salah baca menjadi BoyFriend). Banyak hal di masa lalu kami lalui sebagai teman yang solid. Bahkan sesekali bertukar cerita tentang pasangan. Yeah. Sesekali. Tidak terlalu dekat juga.

Seiring berjalannya waktu, setelah pendakian, kami intens berkomunikasi. Dia bertanya apakah merasakan ada sesuatu yang aneh? Aku jawab tidak. Sebenarnya aku merasakan hal aneh. Intensitas komunikasi kami meningkat. Itulah hal anehnya. Singkat cerita, entah kapan dan bagaimana, akhirnya kami memutuskan untuk lebih serius dalam hubungan ini. Banyak rencana dan timeline yang kami susun bersama.

Aku berkata pada Tuhan, "apakah ini tidak terlalu cepat, Tuhan? Mengapa Engkau memberikan porsi lengkap dalam satu waktu? Bahkan lebih dari apa yang aku minta dan lebih dari apa yang aku perkirakan."

Aku masih khawatir dan harap-harap cemas atas hubungan ini. Ya. Terlalu cepat untuk memutuskan keseriusan. Tapi di satu pihak lain, kami sudah bertahun-tahun mengenal dalam fungsi sebagai teman yang bahkan tidak kami prediksi sama sekali akan terjadi seperti ini. Dia, datang disaat aku merasa cukup atas ketidakjelasan. Merasa jenuh akan pekerjaan. Dia, versi lengkap apa yg belum pernah aku dapatkan. Our lifegoals, family background, hobbies, cara berfikir, dan banyak lagi yang sampai membuat kami kadang merasa ngeri karena terlalu banyak kebetulan yang sama.

Dia orang yang perhatian, adil, bisa dipercaya, setia, loyal, cerdas, plegmatis, mengalah, mempercayai sepenuhnya tapi tetap menjaga, dewasa (biarpun umurnya lebih muda beberapa tahun). Mungkin sampai detik ini aku masih masih tidak percaya. Dia? Serius sama dia??? Wew. Bukan hanya aku saja. Bahkan kadang kami masih suka menertawakan diri kami sendiri yang bahkan mungkin tidak pernah sama sekali terlintas kami akan jadi seperti ini akhirnya. Well, who knows. This happened for a reason, right?

Terima saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar