Minggu, 14 Agustus 2016

Terlambat bertemu

Tersebutlah sebuah perusahaan yang sedang bermasalah dengan keuangannya kemudian diputuskan untuk melebur dengan sebuah perusahaan yang dulu menjadi salah satu rivalnya. Aku bekerja di dalam perusahaan yang nyaris bangkrut itu sebagai salah satu tim humas. Tim yang solid dan sangat membahagiakan apapun situasinya. Kekompakan, profesionalitas dan kekeluargaan merupakan gaya hidup kami di sini. Namun semua menjadi seakan dalam ketakutan yang dalam. Ketakutan akan perubahan yang terjadi. Terlalu nyaman dengan keadaan yang sudah ada.

Karena telah melebur dengan perusahaan lain, yang nyatanya perusahaan itu memiliki kuasa lebih besar dibanding perusahaan tempatku bekerja membuat keputusan yang menyebabkan tim kami was-was. Pergantian pemimpin atau manajer atau kepala suku -kami menyebutnya begitu- merupakan hal yang menakutkan bagi kami. Lebih menakutkan dibanding deadline atau komplain. Kenyamanan akan kepemimpinan manajer saat ini sudah sangat top bagi kami. Top dan klop. Kami tidak rela bila dia --iya, dia. Manager Sheryl. Masih muda-- pergi dan digantikan oleh orang lain.

Satu tim sepakat untuk mogok kerja atau hal lain yang bersifat mengancam para komisaris agar tidak mengganti Sheryl. Tapi apa daya, para komisaris itu lebih berkuasa. Kami harus berpisah dengan Sheryl yang asik dan siap-siap untuk membuat manajer baru tidak betah agar perusahaan mengembalikan Sheryl pada kami.

Seminggu berlalu tanpa Sheryl. Pun tak ada kabar dari manajer baru yang baru. Kemudian, ada seorang sekretaris memberitahukan bahwa besok sang manajer baru akan datang dan akan membuat pesta perkenalan. Sontak kami sebagai tim yang solid berjanji satu sama lain untuk tidak datang ke pesta besok. Bahkan tidak ada yang akan masuk kantor. Namun berita itu, entah dari mulut penyihir mana, bocor ke komisaris dan kemudian terbitlah peringatan yang diketahui tidak masuk tanpa alasan yang jelas maka akan ada pemangkasan pegawai cuma-cuma. Bukan perusahaan yang kejam, tapi memang perekonomian sedang semrawut.

Jadilah hari ini tiba. Kami berbaris berkeliling melingkar di pinggir-pinggir tembok ruangan sang manajer. Wajah kusut kami membawa aura kelam seperti dalam kastil angker di Rumania. Langkah kaki mulai terdengar memasuki ruangan. Saat semuanya memandang orang yang datang itu dengan tatapan baik-baik saja, tidak denganku.

"Perkenalkan, namanya Pak Kurniawan"
"Hallo, selamat siang, Tim"

Dia. Dia itu Erga. Bagaimana bisa Erga ada di sini?

Mian menyikut-nyikutku agar aku berhenti membelalakan mata dan menutup mulutku yang setengah menganga seperti orang yang ketiduran nyenyak dalam kendaraan umum.

                      ***********

"Mirna gimana sih! Dulu paling menggebu-gebu katanya mau ngerjain manajer baru. Tapi sekarang nurut banget. Jangan-jangan kamu naksir dia yaaaaa... Eh bae-bae. Pak Kurniawan udah punya istri dan anak lhooo!" Mian dan teman-teman lain juga mengingatkan hal yang sama padaku. Wajar mereka melakukannya. Perubahan sikapku memang membuat tanda tanya besar. Tapi bagaimanapun aku bisa meyakinkan bahwa Erga, ehm, maksudku Pak Kurniawan memang seorang pemimpin yang baik.

Bagaimana tidak, dulu waktu sekolah, dia merupakan ketua OSIS paling dicintai dan dipuja bawahannya. Gaya kepemimpinan yang tegas tapi fleksibel, sangat memikirkan kesejahteraan bersama serta bertanggungjawab membuat Erga banyak disukai orang. Termasuk aku.

Entah bagaimana, tapi kami dekat. Pulang bersama maupun makan di kantin bersama. Tidak ada hubungan apa-apa, hanya sikap kami yang saling istimewa. Sampai akhirnya Erga harus berpamitan untuk kuliah di luar negeri. Kami saling kehilangan kontak seiring berjalannya waktu. Entah perasaan itu masih ada dalam hati Erga atau tidak. Saat kami bertatapan, rasa canggung itu nyata membatasi kami. Erga tetap sama. Sama seperti Erga yang dulu. Yang membuat aku bahagia. Seorang kakak kelas yang baik hati dan humble, manis dan pintar. Oooh, Erga. Kamu sempurna.

 
          *****
"Maafkan aku, Mirna. Ini salahku yang melewatkanmu dan tidak mencarimu segitunya sehingga kita saling kehilangan kontak. Maaf... Seandainya waktu bisa diulang."

"memangnya kenapa bila waktu bisa terulang, Erga?" Aku menatap Erga lebih dalam. Kemarahan bercampur di dalamnya.

"Seandainya waktu bisa diulang. Aku akan bersama kamu. Kita ini terlambat bertemu." Jawab Erga. Penyesalan di dalam matanya tak sanggup ia sembunyikan meskipun dia mencoba menjauhkan tatapannya dari pandanganku.

"Aku ingin bersama kamu, Mirna..." Sesak yang mendalam dari Erga, Manajer Humas di sebuah perusahaan besar multinasional.

Malam ini aku makan malam bersama Erga. Perasaan itu masih sama. Bukan aku tak pernah lupa pada Erga. Pernah. Bahkan aku sempat menyayangi orang lain biarpun sekarang sudah tidak lagi. Kekosongan hati ini menjadi semakin semrawut setelah kedatangan kembali Erga Bagus Kurniawan ini.

"Maaf Erga, mungkin aku bisa menjadi ibu pengganti dari anak kembarmu yang lucu-lucu itu dan menjadi istrimu yang paling lembut dan penurut. Aku sanggup. Tapi, aku tidak sanggup menjadi penghancur hati Anggraeni, istrimu yang sudah setia menemanimu sejak kamu baru memulai karir hingga mencapai posisi sekarang. Dia yang lebih berhak kamu bahagiakan. Sadarkah kamu, Erga? Tuhan sedang menjaga kita. Jika kita tidak terlambat bertemu, mungkin memang aku sudah mendampingimu saat ini. Tapi, tidak menutup kemungkinan kamu memiliki seseorang yang " terlambat bertemu" saat kamu sudah bersamaku. Pada akhirnya, di saat itu akulah yang merasa menjadi pelarian dan tidak kamu inginkan. Itu menyakitkan, Erga. Mungkin setelah ini, kita tidak usah bertemu lagi. Karena aku akan mengundurkan diri."

Dan aku memilih pergi dari Erga. Erga yang selama ini paling memahamiku dan satu gelombang denganku. Tapi Tuhan melindungiku dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih menyakitkan. Terimakasih, Tuhan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar