Selasa, 25 Desember 2012

I love to be me!

Pernah gak ngerasain lo pengen banget mengalahkan seseorang karena suatu hal. Lo pengen ngebuktiin kalo lo bisa melakukan hal yang kayak dia lakukan. Mungkin untuk bisa dihargai dan gak dianggap enteng. Bisa jadi karena lo punya alasan supaya lo gak bisa atau bisa dibandingin sama orang itu.

Gue pernah! Sekarang mungkin tepatnya. Gue gak pengen dibandingin. Tapi kalopun harus dibandingin, gue bisalah sejajar sama dia, paling tidak. Sifat nothing to lose gue emang kadang bikin gue dalam masalah. Kadang gue juga mikir, hal yang gue lakuin itu gak penting-penting amat. Jangankan ada yang bandingin, malah jangan-jangan usaha gue gak dilirik sama sekali. Kembali lagi, lalu tujuan gue apa untuk melakukannya? Kebanggaan kah? Kemampuan kah? Atau hanya ingin dilihat dan gak dianggap remeh?

Gue gak suka dianggap remeh! Gue akan melakukan apa yang orang lain bilang kalo gue gak akan bisa melakukan itu. Tapi untuk yang kali ini otak gue mikir. Kenapa gue mau melakukannya? Damn! Ternyata gue hanya pengen gak dianggap remeh dan berani dibandingkan. Sesuatu yang gue lakukan adalah seseorang yang bukan gue banget! Usaha sekeras apapun yang gue lakuin cuma bikin gue makin gak nyaman.

Bukan gue mau nyerah dan membatasi diri, tapi gue sadar. Ini bukan gue. Sedangkan gue melakukan hal inipun gue lakukan bukan karena untuk kebaikan, tapi lebih ke keangkuhan dan kesombongan karena gak mau diremehin atau gak mau merasa terkalahkan. Padahal gue harus sadar, gue bisa mengalahkan orang itu. Tapi dibidang gue sendiri. Yang apa adanya gue. Ya yang jelas yang dengan tujuan yang baik. Mungkin dia bisa hebat dengan melakukan hal itu. Ya! Gue akui dia hebat! Karena dia bisa melakukan hal yang gak bisa gue lakukan.

Tapi ketidak nyamanan itu benar-benar mengganggu. Gue bukan tipe orang yang memaksakan kenyamanan. Maka gue memutuskan untuk berhenti melakukan seperti yang orang lain lakukan. Gue memutuskan gue akan hebat dengan bidang gue sendiri. Gue gak mau merasa hebat dengan berhasil melakukan apa yang dia lakukan juga. Gue hanya follower dia donk? Bukan pesaing dia. Sorry to say, gue lebih nyaman dengan diri gue yang gak bisa melakukan apa yang lo lakukan tapi hebat sama hal yang lo gak bisa lakukan. (sama aja niatnya. heheheee)

 
Intinya, gue merasa bodoh karena mau mengalahkan dia dengan "cara dia". I don't need that way! Kalo gue emang gak bisa jadi pecinta alam yang sanggup menaklukan gunung, kenapa gue harus? Karena gak mau dibandingin? Pwih! Picik banget pikiran lo, Trini! Setiap orang itu beda dengan kemampuan masing-masing! Just love your self... :)

Jumat, 14 Desember 2012

Tuhan, Berikan aku waktu

                                   Biarlah bayangmu menghilang,
                                  Menimbun rindu hingga tak terbilang.
                                 Entah apa yang harus ku perbuat, Sayang...

Tak pernah behenti memikirkanmu, dalam kerjap berat mataku. Sedikit kata cinta yang ku desahkan di doa-doa yang kupanjatkan sekarang. Riuh rendah semua orang berlari di sekitarku seolah-olah mereka sedang dikejar sesuatu. Samar-samar ku melihat wajah-wajah mereka, tapi tak ada yang ku kenal. Ah! Kepalaku sakit, Sayang...

Rasanya berat sekali menolehkan kepalaku. Basah. Semua berputar-putar menghilangkan pandangan. Tapi kerinduan ini masih membengkak, baru sampai tenggorokan kata maaf ini merangkak. Namun badan ini lemah. Pikiranku masih lelah. Tapi dimana kamu, Sayang?

Sesaat orang-orang berpakaian putih itu berwajah cemas. Mereka turun dari kendaraan yang bersirine sangat keras. Mereka berlari. Sesekali mereka menoleh kearahku. Siapakah mereka, Sayang?


Dari sela cairan merah yang jatuh melumuri sedikit keningku, menutupi pandanganku, aku melihat sebuah tulisan besar, UGD. Aku rindu kamu, Sayang...

Tuhan, masih ada satu janji yang ku letakkan. Janji di saku jaketku. Sebuah cincin emas bermata berlian. Untuk gadis brilian, yang sedang menungguku disebuah rumah dengan halaman teduh.
Tuhan... Sampaikan cintaku padanya. Terutama maafku, yang selalu meninggalkan realisasi janji di setiap janji yang ku buat. Seandainya aku masih diberi waktu, aku akan bersujud mencium keningnya yang penuh kesabaran kepadaku.

Rabu, 12 Desember 2012

Tentang hujan

Menatap langit sambil berdoa dan berharap dia tidak datang saat ini. Harap-harap cemas mengenai masalah yang akan muncul bila dia datang. Perempuan itu menutup matanya kuat-kuat sambil berkomat-kamit mengucap doa semoga dia tidak datang. Setidaknya untuk sekarang. Atau segalanya yang dia rencanakan akan berantakan. Dengan gaun indah dan riasan tipis yang membuatnya terlihat berbeda hari ini, menanti janji dengan seorang kekasih. Menikmati sedikit makanan hasil masakan yang dia pelajari selama sebulan penuh hanya untuk kedatangan kekasih itu. Pertemuan yang mungkin saja akan menentukan masa depannya. Tapi, perempuan itu tidak berharap dan tidak menyangka bila ada tamu tak diundang tersebut akan datang. Sebuah pertanda yang ditunjukkan Tuhan kepadanya membuat ia meminta Sang Pemilik untuk menjaga itu. Setidaknya tidak untuk kali ini, di waktu ini. Maka ketika dia datang, hancurlah harapannya untuk dapat bersantap di taman romantis yang telah ia susun dekorasinya.

*********************************************************************************************************

Tidak juga anak ini. Dengan baju dekilnya, dia masih di lapangan sepak bola. Melihat anak-anak lainnya berlari bersama orang tuanya. Bazar yang diadakan oleh kelurahan ini cukup menggiurkannya untuk membawa sekardus barang dagangannya. Riuh orang-orang yang lewat dan tak ada satupun yang melihat badan kurusnya dengan sebuah kardus dagangannya yang belum satupun terjual. Anak itu hanya ingin sedikit uang tambahan untuk membeli buku tulis. Buku yang ia gunakan sejak tahun ajaran yang lalu sudah hampir habis.Ada yang sangat disukainya, anak itu sering bermain dan tertawa lepas dengannya. Akhir-akhir ini dia jarang datang. Apa mungkin dia lupa pada anak ini? Atau dia memiliki teman lain? Namun untuk hari ini, anak itu tidak ingin dia datang. Sangat tidak ingin. Anak itu tidak ingin dia datang. Bila dia datang, dia harus berlari kemana? Anak itu tak ingin dia datang dan melihatnya dalam keadaan seperti ini. Ini bukan waktu yang tepat untuk bermain, kata anak tersebut menatap ke atas dengan polosnya. Tapi takdir tetaplah tak dapat dilawan. Dia datang. Anak itu kemudian segera berdiri sambil membawa kardus dagangannya yang belum laku satupun. Dia datang, dan anak kecil itu tak tahu harus lari kemana lagi. Dia sedang tidak ingin bermain.

**********************************************************************************************************

Peluhnya yang sudah membanjiri badannya yang legam oleh matahari seusai menanam bibit. Mata pencahariannya. Pendapatan baginya dan penghidupan bagi keluarganya. Pria itu masih menaruh harapan semoga dia datang. Datang membawa kegembiraan. Membawa kabar baik bahwa dia akan membantu ladangnya untuk berhasil panen dan memberi kesenangan padanya dan keluarganya yang sudah lama dalam keadaan kekurangan. Dia harus datang. Sudah berbulan-bulan dia tidak datang. Kali ini dia harus datang. Bila tidak, semakin panjang penantiannya dalam kelaparan di kala malam. Dan akhirnya ketika dia datang, rumputpun ikut bertasbih dan bertahmid dalam kesyukuran yang besar.

***********************************************************************************************************

Tersesatnya keluarga musafir itu di padang pasir yang begitu luas membuat mereka kehabisan perbekalan. Oase yang mereka lihat dari jarak jauh ternyata hanya fata,organa belaka hasil imaji pikiran mereka yang telah diseret dehidrasi yang sangat. Bayi dalam susuan ibunya pun ikut menangis, padahal dia masih bisa menyusu pada ibunya. Mungkin perasaan ibunya tersampaikan bahwa mereka dalam kesulitan. Dua anak mereka yang telah remaja dan berbadan besar juga tak kalah letihnya menuntun unta yang telah kehabisan cadangan di punuknya. Hanya ayah mereka yang menguatkan iman dan berusaha terlihat baik-baik saja agar bisa meyakinkan keluarganya bahwa ia masih jaya memimpin keluarga. Namun tak dipungkiri, dalam hatinya meminta Yang Maha Kasih membiarkan dia datang. Sekali saja. Sebentar saja. Untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Untuk sampai di kota selanjutnya. Berharap dia datang. Dan ketika dia datang, sejuta syukur terucap disertai tangis bahagia karena kehidupan mereka berhasil di perpanjang. Dia datang. YAng paling diharapkan.
Tuhan, terimakasih telah menghadirkan dia. Hujan yang sejuk...

***********************************************************************************************************

"Dan lihatlah sayang, hujan turun membasahi seolah ku berair mata..." Firasat -Rectoverso-

Minggu, 09 Desember 2012

Biarkan

Aku menangkupkan kedua tanganku. Mengangkat wajahku dan menatap langit-langit kamar ini. Pipiku masih basah karena panjatan doa-doa dan lantunan kisahku yang ku ceritakan pada-Nya. Semua maaf yang kau ucapkan malam ini sudah cukup untuk membuatmu ku maafkan. Apa lagi yang dapat kulakukan padamu? Kau sudah menjadi rutinitas dalam kehidupanku, dalam pikiranku, dan dalam hatiku. Tapi entah mengapa, aku tidak dapat mencerna satupun kata "bersama" untuk kita malam ini. Mungkinkah aku terlalu marah? Atau kau sudah terlalu lelah? Atau yang lebih mungkin, kita telah bosan? Mungkin cinta ini telah berbeda.

Kau mungkin sedang terlelap dengan mimpi indahmu. Semoga. Ya, semoga. Ketika kau bertanya, siapa yang aku cintai selain kau. Satu jawaban pasti tanpa ragu, kau. Ya, kau! Tapi malam ini aku benar-benar tidak bisa lagi menjamah rindu yang saling bertaut seperti dulu. Tidak ada yang salah dengan malam ini. Hm.. Maksudku, tidak ada yang berubah malam ini. Hanya janji yang hampir saja tidak terpenuhi. Hati yang hampir saja dikecewakan lagi. Semua biasa.

Aku pernah melemparkan kata-kata tajam dan perlakuan buruk padamu, hingga kau lebih memilih diam dan tenggelam dalam duniamu tanpaku. Kau pun pernah melewatkan satu-dua janji yang kita sepakati. Hingga aku terjatuh dalam pikiran-pikiran buruk dan sakit hati yang sangat. Semua biasa. Biasa dalam kehidupan manusia.

Tapi malam ini berbeda. Entah mengapa.

Aku duduk di beranda rumahku menantikan kedatangan orang yang paling ku sayang. Seseorang yang benar-benar aku rindukan. Seminggu yang berat menahan segala cerita yang penat, untuk sekali saja tercurahkan kepada seseorang yang paling aku nantikan. Ya, aku menunggumu. Dengan sedikit make up dan dress yang membuatku merasa cantik, aku menatap senja yang lama-kelamaan turun ke dasar danau dan di gantikan rembulan. Berawal dari senyum yang melekat, debar jantung yang hebat, aku menunggumu di sambil menatap ke arah barat.

Dua jam berlalu dari pukul enam sore. Beberapa jam dari janji yang kita sepakati. Riasan yang sedikit luntur, senyum yang mulai menciut, debar jantung yang melambat, dan rindu yang mulai beku. Ini hal biasa. Aku terbiasa mengganggu akhir minggumu dengan sejuta keluhan yang menggunung. Mau bagaimana lagi, kita hanya dapat bertemu pada hari itu. Bila aku ingin mengeluhkan sesuatu, kau meluangkan waktu lewat ponsel biarpun sekedar mendengarku menangis tanpa alasan. Tapi kadang kau lupa satu hal, rindu yang harus diganti yang baru. Jangan dibiarkan menjadi basi dan menyebabkan penyakit.

Pukul 9 malam, deru knalpot mobil sedan terdengar dari luar pintu pagar. Tak lama ponselku berbunyi dan nampak namamu di layar. Aku tahu, itu kamu. Kau datang dengan sedikit kusut. Mungkin pekerjaanmu memang benar-benar merenggut kesenanganmu, meskipun ini akhir pekan. Aku berlari dan membukakan pintu gerbang. Aku mencoba untuk tersenyum senang, kau pun berusaha membalas senyumku dengan tulus meskipun ku rasakan senyum kita berdua itu palsu.

Kita berdua masuk ke ruangan dimana tersiapkan sebuah meja dan dua buah kursi dengan makanan telah dingin tersaji diatasnya. Kita berdua terduduk diatas kursi itu. Sunyi senyap yang merayap. Seribu maaf menggunung dihatimu. Begitu pula dihatiku. Ingin rasanya aku memukul dan membanting meja ini. Bukan atas salahmu, tapi ini juga salahku. Kita terdiam untuk sepuluh menit pertama. Beberapa kali kau menguapkan pandangan lelah. Terkantuk sedikit beberapa detik kemudian tersadar kembali, membuka mata dan memandangku dengan senyummu, mencoba menyembunyikan beratnya hari. Aku tersenyum, mencoba tulus. Tapi aku tahu, itu tadi semua palsu.

Kau mencoba berbicara, aku hanya tertunduk kemudian memalingkan pandangan. Kemudian kau membatalkan keinginanmu. Aku bangun, mataku nanar dan merah menahan air yang siap membanjiri malam ini. Kau meminta maaf. Berkali-kali meminta maaf. Aku memelukmu erat. Mencium bahumu yang bau keringat. Beratnya dunia yang kau panggul hari ini begitu terasa dari aromanya. Kau menautkan kedua tanganmu melingkupi tubuhku dan bertemu dibalik punggungku.

Tidak, sayang... Akulah yang bersalah. Aku tidak pernah mengerti begitu keras duniamu, dengan berbagai kemanjaan yang sulit sekali ku kendalikan dan emosi yang seringkali menjadikanmu sebagai pelampiasan. Aku, akulah yang tak pantas untukmu. Akhirnya malam ini kita habiskan dengan pelukan yang begitu lama. Pelukan yang melegakan nafasmu yang sekali saja minta ku mengerti. Dan kita saling melepas. Aku siap melepasmu. Mungkin ini yang terbaik untuk kita, biarpun kita lalui hari esok yang berbeda. Kita mungkin saling menyakiti, tapi kita saling mencintai.

Jumat, 02 November 2012

Menunggu Maaf III



Tuhan lebih banyak menyentuhku. Selalu menenangkanku. Memegangku erat dan memelukku dari segala arah. Aku selalu berdoa agar aku terlindungi dari mencintai sesuatu lebih dari mencintai-Nya. Aku selalu ingin buru-buru menemui-Nya. Biarkan aku bersama-Nya.
    Kau segera meremas kertas itu dan melayangkan pandanganmu kesegala arah. Tanganmu gemetar membayangkan isi dari kertas itu. Kau segera membuka lemari dan memeriksa setiap helai lipatan dari tumpukan baju ku. Kau berharap menemukan sebuah petunjuk lagi. Entah alamat atau mungkin sebotol obat tidur yang masih utuh, yang artinya tidak aku minum sekaligus.
    Kau berlari menuju dapur dan menemukan sebuah ponsel yang sering kau lihat. Ya. Ponselku. Kau segera memeriksa pisau-pisau yang ada di dapur. Tapi ah! Kau kan jarang menyentuh dapur. Jadi kau tidak tahu berapa jumlah persisnya pisau yang ada di sana. Kau menoleh dimana biasanya semprotan anti serangga di letakkan. Kau segera mengambilnya, mengangkat dan kemudian mengguncangkannya. Isinya masih berat.
Kau kemudian naik ke loteng atas dan berusaha mencari apakah ada bekas atau sejuntai tali yang mengikat sesuatu. Oh tidak. Mengikat seseorang lebih tepatnya. Tapi kau tidak menemukan apa-apa.
     Kemudian kau segera turun. Mengambil ponselmu dan memijit nomerku dari sana. Tak lama, ada suara dering keras berbunyi tak jauh dari tempatmu berdiri. Ah sial! Makimu sambil membanting ponselmu ke lantai hingga baterainya terlepas dari badan ponsel. Kau lupa, aku meninggalkan ponselku di atas meja dapur.
     Kau segera mengambil ponselmu. Menghubungi orang-orang terdekat yang kita kenal. Tak ada satu pun yang mengetahui keberadaanku.
Kau terduduk lemas. Tangismu mulai pecah. Penyesalan yang amat mendalam. Penyesalan yang terlambat, pikirmu. Tak henti kau mengucap maaf dan menyebut namaku. Akhirnya kau terlelap bersama penyesalanmu yang begitu berat.
   Kau membuka mata, melihat sosokku sedang memeluk kitab suci dan berpakaian putih. Aku tersenyum, namun aku tidak bisa menyembunyikan mata sembabku. Kau berdiri dan setengah tidak percaya. Kau menangis kemudian mengucap maaf. Kau tertunduk begitu dalam. Aku tersenyum. Mengangkat dagumu dan tersenyum lagi. Kau seakan merasakan sentuhanku nyata.
"Maaf kan aku, Dek. Bukan maksudku untuk menyakitimu." Katamu sambil menahan air bah yang ada di kelopak matamu.
"Maafkan aku juga, Mas. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Aku hanya menenangkan diri sejenak. Bersama Tuhan." Jawabku tenang.
"Sumpah demi agama yang benar, Dek. Aku tidak pernah mengkhianatimu! Saat itu aku hanya menolongnya karena dia sedang sakit dan harus diantar kerumah sakit. Aku berbohong padamu bukan karena aku ingin menduakanmu. Aku hanya khawatir bila kau tahu, kau akan cemburu. Lalu kau menyimpannya begitu sakit dalam hatimu. Kalau kau sudah memikirkan sesuatu, kau akan malas makan. Aku tahu, kau punya penyakit maag, Dek. Aku tidak mau kamu sakit dan menderita hanya karena ini. Makanya aku berbohong. Bukan karena aku tidak mencintaimu dan bermaksud kembali padanya." Kau meyakinkanku begitu kuat.
"Iya, Mas. Aku mengerti. Maafkan aku jika aku kurang mempercayaimu. Seharusnya Suami istri haruslah saling percaya. Maafkan aku, Mas."
Lalu kita berpelukan. Mengeluarkan gundah yang selama ini tertahan lidah. Kau dan aku akan selalu menunggu dan mendapatkan maaf.

Kamis, 01 November 2012

Menunggu maaf II

"Mas, segeralah pulang." Kata Marni.
"Iya, iya. Sabar. Mas mau ada rapat dulu nanti siang. Sudah ya. Assalamualaikum." Lalu Rudi segera mematikan ponselnya.
Ah, Marni. Mungkin dia terlalu rindu padaku makanya dia sering menelponku dan memintaku pulang. Tapi tenang, Marni. Aku sedang mencari uang. Perusahaan besar ini mulai tertarik dengan proyekku. Kapan lagi aku mendapat kesempatan untuk hal ini. Lagi pula, kau kan bisa menunggu. Yah biarpun sudah tiga hari aku tidak pulang, hari bersamamu lebih banyak dibanding dengan hari dimana aku harus rapat dan mendapatkan proyek ini. Pikir Rudi dalam hati. Rudi kemudian melakukan rapat internal untuk persiapan rapat besar nanti malam.

Rapat yang diimpi-impikan Rudi telah selesai. Mereka beralih kepembicaraan santai dan saling melempar joke. Suasana kerja yang akrab dan menyenangkan membuat angan Rudi mengenai pekerjaannya akan berjalan sangat lancar. Rudi kemudian menyalakan ponselnya. Beberapa pesan singkat langsung menyerang masuk ke ponselnya. Tapi dia tidak segera menggubrisnya. Kemudian tak lama, Ponselnya berdering. Nama Marni tertera dilayarnya. Masih saja, Rudi hanya sekedar menengoknya dan membiarkannya menyala-nyala tanpa getar dan tanpa respon.

Tak terasa, berjam-jam telah berlalu. Hari sudah beranjak hampir tengah malam. Semua peserta rapat saling berpamitan pulang. Rudi kemudian memanggil taksi. Baru saja dia masuk kedalam, ia teringat dengan ponselnya yang sedari tadi dia biarkan. Terlihat dilayarnya ada 40 kali panggilan tak terjawab yang berasal dari satu nama, Marni. Rudi masih tersenyum-senyum membayangkan  betapa besar kerinduan dan kecemburuan Marni terhadap pekerjaannya yang akan segera membuatnya sukses itu. Kemudian jarinya beralih ke pesan masuk. Betapa hatinya berguncang. Wajahnya Suram. Dan matanya tidak bergeming dari tulisan di pesan singkat itu. Pesan singkat yang terkirim sejak sembilan jam yang lalu.
Innalillahi wa innailahirojiun. telah berpulang Ibundamu, sang mertuaku tersayang, Mas.

Rabu, 10 Oktober 2012

Duhai Lelakiku

Lelakiku, Setiap malam kecupan yang selalu ku rindu. Pernahkah kau merasa bosan padaku? Lelakiku, bolehlah kau merasa bosan padaku. Asalkan kau tidak mengkhianatiku. Tuhan sangat mengasihaniku, hingga jika kau melakukannya, kau akan dibuat tahu rasa! Duhai, Lelakiku. Tak perlu kau berbangga diri sebagai makhluk paling hebat. Asal kau tahu, masih banyak dari golonganmu yang sangat menginginkan aku. Biarpun kau bukan yang paling hebat, setidaknya Tuhan memberikanmu suatu kemampuan yang tidak dimiliki orang lain. Yaitu, membuatku takluk. Hai, Lelakiku. Setiap peluk yang engkau berikan, setiap kecup yang engkau sugguhkan, adalah nyatanya membuatku merasa semakin jatuh dalam kenyamanan kehangatan sebuah cinta. Bukan sekedar gelora asmara atau pelampiasan nafsu belaka, Tuhan menciptakan bahumu lebih lebar dari jangkauan pundakku. Lenganmu lebih kekar dari bebanku. Dan dadamu lebih bidang dari masalahku. Lalu, apa yang aku mohonkan lagi dari Tuhan jika kau sudah sesempurna itu? Aku menangkupkan genggaman di setiap ibadahku, berserah atas keadaanmu. Berpasrah dengan penjagaan-Nya padamu. Lelakiku, aku ingin sesuatu. Aku ingin membuat bidadari syurga cemburu. Baktiku padamu, dan kemuliaan perlakuanmu padaku. Dengan kecupan tiada jengah, dengan penantian tiada lelah, dan dengan kesetiaan tiada terbantah. Selamanya, jadilah Lelakiku.

Senin, 08 Oktober 2012

Menunggu maaf

Aku masih di sebelahmu. Duduk diam sambil menunduk. Telah lama kita di sini. Tak ada suara sedikitpun. Sunyi senyap merayap. Kicau burung tak jua menghangatkan kebekuan suasana ini. Kau mengangkat kepalamu. Matamu merah. Mencoba meraih sesuatu di hadapanmu, namun kau urungkan. Kau kembali menunduk. Kembali, sepi ini menguasai kebersamaan kita. Kita terdiam. Seakan memang tak ada yang dapat terkatakan lagi.
"Maaf..." Katamu lirih dan terdengar perih. Kemudian kau makin tenggelam dalam duduk sunyimu. Denganku, di sebelahmu.
Kata yang selama ini aku tunggu. Di tiap waktu ku yang tak pernah kau perhatikan, tak pernah kau pedulikan. Mungkin saja kau saat itu benar-benar merentangkan sayap. Terbang entah kemana kau suka, aku tak tahu pasti. Aku dengan sabar menunggu. Sebuah janji. Hanya sebuah janji. Janji setia dan akan kembali.

Aku masih di sebelahmu. Duduk diam sambil menunduk. Telah lama kita di sini. Tak ada suara sedikitpun. Sunyi senyap merayap. Kicau burung tak jua menghangatkan kebekuan suasana ini. Kau mengangkat kepalamu. Matamu merah. Mencoba meraih sesuatu di hadapanmu, bibirmu bergetar dan matamu mengalirkan cairan bening hangat yang membasahi pipimu, Pria tangguh yang orang-orang kenal.
Akhirnya kau menggapai sesuatu dihadapanmu itu, batu nisan bertuliskan namaku.


Minggu, 07 Oktober 2012

Dear Someone

Dear Someone, Kamu tidak akan tahu siapa aku. Kita pernah bersua. Beberapa kali. Yah, tapi itu memang karena aku sengaja mengikutimu. Pertama kali kita bertemu adalah pada saat kita tidak sengaja bertabrakan di depan kopma dekat kafe blog, FISIP. Kamu berhasil menjatuhkan beberapa buku yang aku bawa. Dengan menawan, kamu mengambilkan bukuku dan mengembalikannya dengan tambahan bonus senyummu yang sempurna. Bagus! Selain berhasil menjatuhkan buku-buku yang aku bawa, kamu juga berhasilkan menjatuhkan hatiku yang sedikit kaku. Pertemuan kita yang kedua adalah pada saat suatu acara bedah buku yang diadakan di Sekber Takor, FISIP. Aku tidak menyangka, kamu adalah penulis dari buku yang beberapa hari ini aku baca. Begitu aku mengetahui bahwa kamu adalah penulis dari buku tersebut, aku terperangah dan segera memutar otak. Segera aku menuju registrasi dan berpura-pura belum regristrasi kepada panitia. Sambil perlahan-lahan membuka tiap lembar kertas registrasi, aku mencari-cari namamu disana. Beruntung panitia acara tersebut juga sangat mengagumimu hingga tidak menyadari perbuatanku karena mereka juga sibuk memperhatikanmu. Secepat kilat ku keluarkan ponselku dan memotret sebuah kolom yang tertera nama lengkapmu dan sedikit data diri mengenaimu. Tuhan menunjukkan kasih-Nya padaku. Panitia registrasi melihat kearahku kemudian menanyakan apakah aku mengalami kesulitan. Aku segera memasukkan ponselku dan mengatakan aku baik-baik saja. Aku masuk kembali kedalam ruangan dengan data dirimu yang telah terekam di ponselku. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Aku hanya sanggup mengagumimu dan mengawasimu lewat jejaring sosialmu. Pertemuan ketiga, keempat dan kelima hanyalah ketidaksengajaan saja. Tidak sengaja aku melihat twittermu yang mengatakan kau sedang berkumpul dengan teman-temanmu di perpustakaan, maka aku ke perpustakaan. Dan sekali lagi, kamu tidak perlu khawatir. Aku hanya akan mengagumimu di sudut ruangan tergelap dimanapun tempat yang kamu datangi. Sehingga kamu tidak akan pernah merasakan kehadiranku atau merasa terganggu olehku. Dear, someone. Secara sederhana aku memuja senyum dan pribadimu yang begitu megah. Regards, Tri Niasih Ati

Selasa, 02 Oktober 2012

Tuhan, Izinkan aku

Persilakan hujan mengguyur bumi,
Janji Tuhan setelahnya muncul selengkung pelangi
dan suburnya tanah.


Tuhan,
air bah yang mengalir begitu saja dari jendela hati ini,
jangan biarkan ini hanya cinta khayal belaka.
Jauhkan kecintaan fana dunia,
yang menyingkirkan logika dan imanku.
Matikanlah kebodohan dan kenaifanku,
yang menutup nurani dan pintu hati.


Tuhan,
izinkan aku menangis,
biarkan aku melonggarkan gerbang berat yang buat penat,
namun jangn jatuhkan hamba,
dalam fatamorgana yang menampakkan oasis segar
nyatanya gurun gersang belaka.

Tuhan,
Pegangi hamba.
Peluk hamba dari segala arah.
Eratkan ikatan cinta antara Kau dan aku
melalui sakit ini...
Bismillah... :D

Sakit hati?

Baru saja membaca blog dan tulisan motivasi mengenai kesedihan, keraguan dan kegalauan. Kalo dipikir-pikir, mungkin gue sendiri yang terlalu berlebihan. Kebanyakan mikir dan kepikiran. Sedangkan yang gue pikirin? Kagak gitu aja selesai cuma dengan dipikirin. Bisa aja gue bilang, "gue udah biasa kok sakit hati." Tapi yang namanya sakit, ya berasa banget, neng. Mau udah biasa atau baru ngerasa, sakit ya sakit. Cuma bedanya, gimana cara lo meringankan rasa sakit itu.

Pertama: Berhenti mikirin masalah yang bikin lo sakit hati. Yang ini susah banget. Mau orang yang level kesabarannya udah advance atau yang pemarah sekalipun. Kalo lo punya kegiatan lain yang bikin lo sibuk, hal itu bisa bikin lo sejenak ngelupain rasa sakit hati lo. Organisasi, kuliah, kerjaan atau kegiatan begerak lainnya. Bergeraklah! Karena dengan diam, lo akan melamun. Kalo lo ngelamun, lo akan makin kepikiran sama masalah lo. Ya meskipun gue gak jamin lo bisa 100% ngelupain masalah lo. Setidaknya, lo nggak kepikiran banget deh.

Kedua: Tidur. Capek nangis? Ngantuk? Tidur aja! Gue jamin lo bisa lupa. Biarpun masalah lo itu jadi kebawa mimpi dan ketika lo bangun, lo malah makin kepikiran. Setidaknya lo udah mengistirahatkan beberapa bagian penting dari diri lo: Mata, otak, dan lainnya.

Ketiga: Makan atau keluar bareng temen-temen. Ini cukup ampuh menurut gue. Lo bisa denger cerita-cerita mereka yang siapa tahu bisa jadi solusi dari masalah lo. Mereka adalah penghibur yang sangat baik saat lo butuh.

Keempat: Cara yang menurut gue paling ampuh. Sendirian. Nangis. Mengadu pada Tuhan. Siapa lagi yang akan lebih mengerti lo selain Dia? Dia sayang banget sama lo. Masalah lo bukan yang paling sulit yang jadi masalah nomer satu dunia. Bayangkan dibelahan dunia lain, ada orang yang sakit hati, sakit badan dan gak ada yang peduli sama dia datang disaat bersamaan. Kenapa gue bilang cara ini paling ampuh? Karena Tuhan-lah pencipta dan penulis nasib kita. Berceritalah pada-Nya. Dia selalu sayang sama lo. Mendengarkan lo, mengabulkan permohonan lo dan selalu ada buat lo. KAPAN PUN DIMANA PUN! Bayangkan, Sakit hati gak kalo di khianatin? Sakit hati gak kalo bertepuk sebelah tangan? Sakit hati gak kalo dicuekin? Padahal lo udah ngasih apapun yang diminta. Itu. Itu yang sering kita lakukan terhadap Tuhan. Tapi apa cinta Tuhan berubah? GAK SAMA SEKALI!

Bersedih itu manusiawi. Gue juga pernah sedih. Tapi putus asa itu nggak boleh. Gue nulis gini bukan berarti gue sok suci atau sok baik. Gue cuma share apa yang gue rasain. Gue juga pernah ngerasa kok seakan gak ada yang ngerti atau peduli sama gue. Setelah nangis dan beberapa saat merasa depresi, gue sadar akan beberapa hal diatas. Mungkin buat orang yang nyakitin hati lo, lo itu gak berharga. Lo juga akan ngerasa kayak gitu. Itu artinya lo udah terjebak dalam labirin pendek yang lo tau jalan keluarnya tapi lo gak mau keluar. Coba deh keluar dari labirin itu. Ini cuma masalah keberanian kok. Gue yakin, lo lebih berani dan percaya diri dibanding gue sendiri yang nulis ini. Karena gue butuh waktu cukup lama buat ngumpulin keberanian. Semangat!
Bismillah...
:D

Senin, 01 Oktober 2012

Jalan masing-masing

Kita berpegangan tangan sepanjang koridor beratapkan kanopi bening dengan dihiasi lampu-lampu penerangan disetiap tiang penyangganya. Beralih tempat dari Gedung M yang berwarna oranye menuju tempat parkir mobil. Langkahku melambat ketika melewati Kafe Blog dan kemudian berhenti beberapa langkah setelah mesin ATM yang berada tepat di sebelah Restoran Korea. Wajahmu penuh tanya dan heran. Aku menunduk. Segera menghela nafas panjang. Kemudian mengangkat kepalaku.
"Kita jalan masing-masing saja." lalu kau terdiam sejenak. Mencoba mencerna kalimatku barusan

"Hei! Aku akan mengantarmu seperti biasa"

Aku menoleh ke arahmu, "Maksudku, kita sudahi saja hubungan kita."
Kau melepas genggaman kita kemudian menatap penuh amarah ke arahku.

"Bercandamu tidak lucu, Mira!"

Kemudian aku tersenyum. "Kembali saja pada mantan pacarmu, yang kau temui kemarin di Detos. Yang kau bilang padaku kau harus mengantar ibumu berbelanja dan membatalkan pertemuan kita, padahal ibuku telah memasak makanan kesukaanmu sejak pagi".
Lalu aku berbelok menuju Takor. Meninggalkanmu yang masih mematung di situ.

Sabtu, 07 Juli 2012

Terimakasih, yang telah menyakiti :)


Kriiing... Kriiing... Kriiiing... Bunyi ponsel Santy terus berdering. Wajah Santy berubah menjadi kecewa dan agak kesal. Kemudian ia segera menolak panggilan masuk itu.
Biiipbipbiiip
Dari:
BIMO
Sayang, kamu lagi sibuk banget ya? Semangat ya, Sayang. Kamu pasti seneng banget karena kamu bakal ngeliput penulis yang sekaligus idola kamu. Jaga kondisinya jangan sampe sakit. Kalo kerjaannya udah selesai,hubungi aku ya. Aku kangen kamu :)
Santy kemudian menutup ponsel flipnya. Wajahnya masih kesal. Kemudian ia segera mematikan ponselnya dan memasukkan kedalam saku celananya.
"Kenapa gak diangkat, San? Dari cowok lo ya?" Tanya Okto kepada Santy. Santy hanya diam masih berwajah kesal dan tidak menjawab pertanyaan dari Okto.
"Kenapa gak diangkat, San? Kasian kan dari tadi telpon terus." Kata Okto sambil mengelap kameranya.
"Gapapa. Udah gak cocok aja. Sering berantem. Tadi aja sms buat cari masalah." Kata Santy sambil memperhatikan Okto yang sedang membersihkan kamera. Lalu Okto mendadak diam dan kemudian menengok kepada Santy yang duduk disebelahnya.
"Lho? Ada masalah apa? Eh, maaf. Bukan maksud gue buat ikut campur sih. Kali aja lo mau cerita sama gue siapa tau aja gue bisa bantu." Kata Okto menatap Santy. Santy kemudian memalingkan wajahnya ke arah depan. Menghindari pandangan Okto. Kemudian dia menoleh lagi kearah Okto dengan senyum lebar.
"Eh, gue lupa. Gue tadi bikin sandwich lho! Isi ikan tuna pedes. Buat kita. Kali aja lo suka" Kata Santy Riang.
"Wew! Itu mah gue suka banget, San! Favorit gue banget tuh! Kebetulan banget ya? Yah... Namanya rejeki mah emang gak kemana ya. Kebetulan gue laper, kebetulan juga lo bawain makanan kesukaan gue." Kata Okto ikut menyambut keceriaan Santy.
"Seneng deh kalo lo juga seneng." Kata Santy tersenyum lebar kemudian mengeluarkan sebungkus sandwich dari tasnya.
"Lho kok cuma satu? Lo mana?" Tanya Okto agak kaget.
"Oh ada kok. Tapi belom laper. Lo aja duluan" Kata Santy tersenyum manis sambil menyerahkan sebungkus roti lapis itu.
"Ah serius nih gapapa? Masa gue makan sendiri?" Kata Okto belum menyentuh roti lapis itu.
"Iya, serius. Di tas gue masih ada kok." Jawab Santy sambil menoleh kedalam tasnya.
"Okelah! Makasih, Santy. Baik banget sih loo!" Kata Okto sambil mencubit pipi Santy.
"Hahahaaa siplah, To." Jawab Santy disertai dengan senyum lebarnya. Wajahnya tidak dapat menyembunyikan kesenangan dan aura 'jatuh hati'nya kepada Okto.
         Riuh rendah suara-suara wartawan perlahan terdengar, rupanya sang narasumber yang ditunggu telah datang. Langkahnya begitu anggun. Gaun berwarna ungunya begitu cocok dengan dengan kulitnya yang kuning langsat dan sepatu hak tingginya yang berwarna magenta. Rambutnya yang diikat ekor kuda bergoyang-goyang saat kepalanya menoleh dan melempar senyum kepada para wartawan. Senyumnya manis, dipermanis dengan riasan yang tidak terlalu mencolok dan anting-anting panjang sedagu yang dia gunakan. Sungguh kemewahan yang dibungkus dengan kesederhanaan dan dipadu padankan dengan keanggunan yang sesuai, tidak berlebihan, dan berselera tinggi. Gadis anggun itu kemudian berjalan menuju tempat duduknya untuk melakukan konferensi pers sekaliguslaunching bukunya di negara kelahirannya ini. Gadis anggun itu sungguh menarik untuk dipandang. Sejuk dan menyenangkan. Dia sempat melempar senyum sebelum dia benar-benar duduk di bangkunya. Jepretan kamera tak henti-hentinya berkilatan bersamaan dan bergantian menghujani gadis manis itu.
"Selamat siang, teman-teman." Sekali lagi, gadis itu melempar senyuman kearah wartawan
"Siiiaaaang, mbaaak..." Seluruh orang diruangan itu serempak menjawab sapaannnya. Bahkan ada beberapa wartawan pria setengah berteriak menjawab sapaannnya dengan begitu bersemangat. Gadis manis itu pun melemparkan tawa kecilnya yang membuat orang yang memandangnya semakin bergetar.
Wawancarapun dimulai. Satu persatu pertanyaan wartawan diajukan. Beberapa kali Santy mengangkat tangannya dengan semangat namun dia belum juga mendapat giliran bertanya. Hingga sesi pertanyaan terakhirpun tiba, dengan sedikit kecewa namun harapannya untuk ditunjuk sebagai penanya terakhir masih besar. Tuhan mengabulkan permintaan Santy untuk bertanya langsung kepada idolanya itu. Tangannya gemetar. Dahinya kemudian berpeluh. Tak satupun kata-kata keluar dari mulutnya.
"Tenang, Mbak. Saya gak gigit kok. Dibawa santai aja kayak kita udah lama kenal ya..." Kata gadis manis itu dengan ramah dan tawa renyahnya menenangkan Santy. Santy kemudian tersenyum dan menarik nafas panjang.
"Hm.. Begini, mbak. Nama saya Santy. Saya dari stasiun tivi XYZ. Saya minta maaf, mbak. Sejujurnya saya begini karena saya sungguh mengidolakan mbak. saya suka sekali dengan cerita yang mbak buat. Hm... Pertanyaan saya sih simple, mbak. Saya cuma mau tahu bagaimana mbak bisa membuat cerita sedemikian bagus kemudian di filmkan dan menjadi sangat laris di Jepang dan Internasional. Sebelumnya, terimakasih ya, mbak. Saya senang sekali bertemu langsung dengan Mbak." Kata Santy kemudian duduk ditempatnya dan masih berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
Gadis itu pun tertawa kecil dan memberikan seyuman teramahnya kepada Santy. Okto tak hentinya berdecak kagum memandangi gadis itu dari kamera. Hal itu membuat Santy agak cemburu. Tapi apa boleh buat, gadis penulis itu adalah idolanya. Wajar saja semua orang terkagum-kagum.
"Ah, Mbak Santy ini bisa saja. Sebelumnya saya berterimakasih kepada Mbak Santy. Saya sungguh tersanjung. Tapi sungguh, cerita saya belum sempurna dan masih banyak kekurangan dimana-mana. Tapi sungguh terimakasih jika karya saya disukai. Baiklah. Kita mulai saja ceritanya. Hm... Dari mana ya? Singkatnya begini saja ya, dulu saya punya pacar. Dia baik. Baiiik sekali. Menurut saya dan setiap orang, kami pasangan yang cocok. Dia orang yang sabar menghadapi saya yang begitu gampang berubah emosinya. Ya saya juga sabar sih menghadapi dia yang cuek hahahaaa" Lalu suasana riuh oleh tawa.
"Dia orang yang pintar, cerdas, dan baik hati kepada semua orang. Saya bukan apa-apa dibanding dia. Begitu sempurna. Sampai suatu ketika, saya sudah mulai sulit menghubunginya. Saya hanya ingin dia menemani saya kekampus. Kebetulan juga keadaan keluarga saya juga sedang tidak 'adem'. Saya ingin menceritakan pada pacar saya dan berharap beban saya berkurang setelah bercerita padanya. Tapi dia bilang, dia mau mengantar ibunya ke tempat arisan. Yasudahlah ya, tentu saya tidak bisa berbuat apa-apa kan? Meskipun saya rindu setengah mati sama dia. Tapi kalau sudah menyangkut keluarga, saya tidak boleh mengganggu. Begitu etika yang saya pegang. Daripada saya mati gaya di rumah, saya mengajak teman saya untuk pergi jalan-jalan ke mall hanya untuk makan atau hanya untuk bercerita saja. Kami janjian untuk bertemu disuatu tempat di mall tersebut. Saya datang agak telat. Saya berjalan dibelakang seseorang yang baunya begitu khas dan saya kenal. Seorang laki-laki yang bergandengan tangan dengan seorang wanita berambut panjang. Saya terus mengikutinya. Sampai dia kemudian mendadak berhenti dan melepas tangan gadis itu 'Ifah??? Lagi ngapain disini?' kata pria itu. Sepertinya langkahnya terhenti karena berpapasan dengan seseorang dihadapannya. Lalu orang yang ada dihadapannya tersebut tidak menjawab. Gadis yang digandeng itu segera pergi dari mereka. Pergi entah kemana. Tiba-tiba orang yang diajak bicara pria itu mengintip kebelakang pria itu dan menyapa saya 'Tika?' Lalu dengan sangat terkejut, pria itu juga menoleh kebelakang. 'Cantika??? Sejak kapan kamu disitu?' kata pria itu. Lalu saya menjawab, 'Oh, Bimo. Sejak tadi gue dibelakang lo.' Ternyata pria itu adalah pacar saya. Kemudian saya tersenyum seolah tak terjadi apa-apa dan seolah saya tidak ada hubungan apa-apa dengannya. 'Duluan ya, Mo. Gue ada janji sama Ifah.' Lalu saya pergi. Sambil tersenyum didepan mantan pacar saya itu, saya pergi. Lalu saya menuju tempat yang jauh dari keramaian. Saya menangis sejadi-jadinya didepan teman saya itu. Disaat saya sungguh membutuhkan dia, dia malah melakukan hal ini. Sakit sekali rasanya. Saya pulang kerumah. Dirumah, saya mendapati mama saya menangis dan melihat selembar kertas yang saya baca ternyata surat perceraian kedua orang tua saya. Sungguh hari yang berat. Kemudian mantan pacar saya itu mencoba menghubungi saya. Hanya dengan SMS lho! Cuma SMS lho! Dia kemudian cuma bilang maaf sudah menyakiti saya. Tidak ada penjelasan lagi. Pikiran saya kacau. Hampir saya berfikir jalan pintas untuk mengakhirinya, namun saya teringat kepada Mama. Saya memutuskan untuk pindah ke Jepang. Tempat paman saya bersama Mama. Disana kami benar-benar berjuang untuk hidup. Karena ketika sampai disana, Bibiku tidak mengijinkan kami tinggal bersama. Saya dan Mama mencoba menyambung hidup dinegeri orang. Namun kami saling menguatkan. Sampai suatu ketika, saya benar-benar menguatkan niat saya untuk menjual naskah saya kepada rumah produksi disana. Tak ada satupun yang menerima. Saya sangat menyukai menulis dan membaca. Dari di Indonesia saya sudah menyusun naskah tersebut dan menyelesaikannya di Jepang. Kemudian, disebuah rumah produksi kecil yang baru berdiri, naskah saya diterima dan di filmkan. Dan ternyata film saya begitu diminati disana. Lalu di recycle oleh sebuah rumah produksi, dijadikan serial drama dan dijadikan film bioskop seperti yang telah anda lihat. Tentu saja saya sangat berterimakasih kepada Tuhan yang telah memberikan saya kebertuntungan dan memberikan Mama yang kuat juga kepada saya. Tak lupa saya berterimakasih pada mantan pacar saya dan selingkuhannya, eh, pacarnya yang sekarang. Karena kalau dia tidak menyakiti saya sedemikian rupa, saya tidak bakal berani untuk ke Jepang. Dan saya tidak akan ada disini. Biarlah. Orang baik hanya untuk orangyang baik juga kan? Ah, sudahlah! Itukan cerita empat tahun yang lalu. Bagaimana, Mbak Santy? Sudah cukup cerita saya?" Kata gadis itu sambil melempar senyum pada Santy. Santy terperangah. Mulutnya tak bergerak. Kemudian bersuara lirih.
"Si... Siapa nama Mbak yang sebenarnya?" Tanya Santy agak ragu-ragu.
"Hahahaaa baiklah. Nama Jepang saya dan tertulis di Film atau buku saya adalah Kirei Koshiya bukan? Nah, kirei itu artinya cantik. Nama Asli saya Cantika Komala Syahidah. Ya kalo diplesetin jadi Kirei Koshiya heheheee."
"La... Lalu, siapa nama pacar mbak?" Tanya Santy.
"Bimo." Kata Gadis itu.
"Empat tahun yang lalu?" Tanya Santy gugup.
"Ya, empat tahun yang lalu. Di sebuah mall di kota Semarang. Kenapa, Mbak Santy?" Tanya gadis itu. Santy kemudian berlari keluar ruangan. Bibirnya bergetar sambil mengingat-ingat kejadian empat tahun yang lalu.
"Bimo. Empat tahun yang lalu. Mall Sri ratu. Semarang." Kata-kata itu terus terngiang di pikiran Santy. Santy kemudian mengeluarkan ponselnya. Membuka tutup baterainya dan membuang kartu perdana dalam ponsel itu.

Oleh:   Tri Niasih Ati :) 

Minggu, 24 Juni 2012

Ah! Hanya dunia!


Aku berdiri di dekat jendela dilantai 3 ini. Setahun yang lalu aku berdiri didekat jendela kaca dari lantai 5 dan memandangi orang2 yang lalulalang dibawah seperti tidak punya masalah. Sedang aku berdiri disini, diseberang mereka. Menatap dan mengamati gerak-gerik mereka. Mereka tidak tahu. Mungkin tidak pernah mau tahu. Masalah yang dialami orang lain dan menghakimi kesalahan yang diperbuat orang lain, mendengarkan terlalu banyak perkataan media tak jarang pula ikut bersimpati. Ah! Dunia ini memang penuh kebohongan.
Aku masih menatap mereka dari jendela kaca di lantai 3 ini. Dimana setahun lalu diwaktu yang sama aku berada di lantai 5 namun di tempat dan keadaan yang berbeda. Aku memandangi ada seorang ibu membawa rantang makanan sambil menuntun anaknya memasuki gedung ini. Siapa yang ingin ditemui ibu dan anak kecil itu? Miris dan sungguh setia. Ah! Lagi-lagi dunia. Tidak tahu mengapa orang-orang sebaik mereka bisa datang ketempat ini. Kemudian ada beberapa wartawan dari media sedang berkumpul didepan pintu gerbang.  Identitas mereka terlihat jelas meski dari kejauhan dari peralatan yang mereka bawa. Pakaian seragam tempat bekerja, kamera, mikrofon, name tag, dan buku kecil serta ballpoint kecil disaku mereka. Mungkin akan ada yang mau masuk lagi ke gedung jahanam ini. Ah! Dunia! Siapa penghuni baru disini? Seberapa tenar dan pentingkah orang itu?
Tiba-tiba punggungku ada yang menyentuh sehingga membuyarkan lamunanku, lamunan dipinggir jendela kaca lantai 3 ini.
“Hei! Kerja yang benar! Jangan melamun terus! Sekarang saatnya makan. Istirahat sana!” Wanita berbadan tegap dan besar itu sedikit membentakku lalu menyuruhku untuk pergi ke ruang makan.
“iya, Bu.” Kataku sambil membungkuk.
Lalu temanku merangkul bahuku sambil menenangkanku.
“Kamu dimarahi lagi ya sama Si Mira itu? Ah! Sudah jangan diambil hati. Dia memang terkenal sebagai sipir tergalak disini. Ayo mari makan.” Lalu kami menuju tempat makan dan duduk berdekatan.
“Bagaimana keadaan anakmu?” Tanya temanku.
“oh, semoga dia baik-baik saja. Dia tinggal bersama tantenya.” Dalam hati aku sambil mengaminkan perkataanku tadi kepada temanku. Selama ini bila aku menanyakan keadaan anakku kepada adik iparku itu, dia selalu menjawab baik2 saja. Namun beberapa minggu ini ada yang mengganggu pikiranku. Tetanggaku datang menjengukku dan berkata bahwa dia pernah sesekali lewat rumah adik iparku itu dan melihat anakku sedang dipukuli dengan sapu sambil menyuruhnya mencuci baju. Hatiku teriris. Anakku baru kelas 3 SD sekarang. Disaat aku butuh bantuan, mengapa semua musti terjadi. Bahkan dari keluarga dekat sekalipun. Ah! Dunia!
“Tenang, aku yakin persidanganmu lancar dan kamu bisa bebas dari tempat laknat ini. Kamu tidak bersalah.” Kata temanku menguatkan.
“Amin.” Jawabku singkat. Masih terbayang si Upik anak ku yang masih kecil dan lucu itu. Miris sekali. Berkali-kali aku menjelaskan bahwa aku hanya membela diri dan tidak pernah sengaja melakukan hal itu, tapi dunia tidak percaya. Aku hanya seorang ibu yang hendak mempertahankan kesucian cintanya kepada almarhum suaminya yang hendak direnggut oleh atasannya sendiri diruang kantor yang sepi dimalam hari. Ruang kantor lantai 5. Aku hanya mencoba menjauhkan tubuhnya dariku. Jijik! Aku jijik membayangkannya. Rupanya aku terlalu keras mendorongnya sehingga dia terjengkang ke jendela yang terbuka itu. Dia jatuh! Ya! Jatuh! Dia mati. Biarlah dia mampus! Aku hina mengingatnya lagi. Tapi apa yang terjadi? Aku dituduh telah merencanakan hal ini. Karena aku dianggap menyimpan dendam terhadapnya, sering sakit hati karena dimarahi olehnya, gaji yang tidak sepadan dengan pekerjaan ataupun hal ini itu sampai aku dibilang wanita pelacur yang minta dijadikan istri muda dan dia menolak. Ah! Dunia! Berapa kali aku harus mengeluh tentangmu, dunia? Ah! Dunia ini hanya dunia. Dan aku percaya setiap keajaiban-Mu, Tuhan. Karena dunia ini hanya sebuah dunia. Setiap peristiwa pasti akan ada ujung dan tujuannya. Aku hanya percaya pada-Mu, Tuhan. Karena aku tidak percaya lagi pada dunia. Oh! Dunia! Ah! Hanya sebuah dunia!



Oleh: Tri Niasih Ati :)

Tidak perlu tahu


Andri datang kerumah Mita seusai pulang kerja. Dia membopong sesuatu yang besar dengan tangannya. Dilingkarkan tangannya namun jejarinya tidak dapat saling bersentuhan dan dia perlu beberapa kali memiringkan barang tersebut agar dia dapat melihat jalan didepannya. Besarnya barang tersebut membuat wajah Andri tidak terlihat. Mita keluar dan agak terkejut satu set bed cover berjalan kearahnya dan terhenti tepat didepan pintu rumah.
"Eh! Apaan nih, Ndri?" Tanya Mita pada Andri. Mita tahu itu Andri dari motor yang terparkir didepan pagar rumahnya. Itu milik Andri, Sahabatnya.
"Panci buat bikin presto. Ya, Bed Cover laaah, Mitaaa. Cakep-cakep tapi oneng." Cibir Andri yang masih sibuk menaikkan bed cover yang melorot dari pelukannya.
"Gue tau ini bed cover. Tapi buat apaan? Mau ngekos disini lo? Sorry kagak terima cowok kecuali yang cakep." Jawab Mita
"Udah ah! Minggir dulu! Gue mau masuk. Berat nih!" Lalu Andri mendorong Mita sehingga Mita terpaksa minggir dari bibir pintu.
"Perasaan yang punya rumah gue deh. Kenapa gue yang diusir? Sekarang udah nggak jaman Pria menjajah wanita!" Kata Mita sambil mengikuti arah langkah Andri dan duduk disebelahnya.
"Kompeni kali jajah menjajah! Udah, ayo bantuin gue bungkus ini." Kata Andri sambil duduk dan meletakkan bed cover yang sedari tadi digendongnya.
"Buat apaan sih, Ndri?" Tanya Mita mulai kesal dengan pertanyaan yang sama tapi tidak juga mendapat jawaban.
"Buat dipaketin" KAta Andri singkat sambil mengeluarkan kertas kado dari tas ranselnya.
"Lo punya usaha sampingan yak?" Tanya Mita bingung.
"Usaha apaan?" Jawab Andri masih sibuk dengan bed covernya.
"Ya jadi tukang maketin barang." Jawab Mita sambil memperhatikan gerakan tangan Andri yang sibuk menjamah bed cover itu.
"Ta, pinjem selotip sama gunting dong" Andri kemudian menoleh kearah Mita. Muka Mita mendadak sebal. Bibirnya mencang-mencong menandakan ketidaksukaannya. Mita lalu bangkit kemudian tak lama datang kembali dengan gunting dan selotip pesanan Andri.
"Buat apa dan buat siapa sih, Ndri?" Tanya Mita sambil memberikan gunting dan selotip pada Andri.
"Pegang ini deh, Ta. Tolong." JAwab Andri sambil memegang bungkus kado dan menyodorkan gunting pada Mita.
"Andriiii!!!! Pertanyaan gue nggak dijawab deh!" Kata Mita mulai kesal.
"Ya buat dipaketin, Mita. Nih, Gunting sebelah sini." KAta Andri sambil menunjuk kertas kado yang setengahnya sudah dia pasang rapi ke setengah bed cover tersebut.
"Andri! Gue bunuh diri nih kalo lo ngga jawab pertanyaan gue!" KAta Mita sambil mengambil gunting dan mendekatkan pada lehernya.
"Mita! Yang bener aja lo! Masa mau bunuh diri pake gagang gunting??? Kebalik tuh!" Kata Andri kemudian membetulkan posisi gunting tersebut yang ada dipegangan Mita.
"Andriiii!" Lalu Mita mencubit dan menggelitiki Andri sekenanya. Tawa pun tergelak di ruangan itu.
"Hahahaaa Kalo lo mau bunuh diri, jangan depan gue ya, Ta. Nanti lo malah ngga selamat. Udah ah! Ayo bantuin gue bungkus ini." Kata Andri menyudahi becandaan itu dan kembali sibuk dengan bed covernya.
"Abisnya gue sebel! PErtanyaan gue nggak dijawab-jawab!" Kata Mita kemudian ikut menjamah benda besar itu.
"Ntar kalo mau wawancara ya, Mbak. Saya sibuk." JAwab Andri sambil mengangkat kelima jari kirinya ke hadapan Mita.
"Sok seleb!" Kata Mita kemudian ikut asik menyelimuti benda tersebut dengan kertas kado berwarna hijau.
Setelah setengah jam berkutat dengan benda besar berwarna hijau itu, akhirnya Andri dan Mita menyandarkan dirinya ketembok. Dipandanginya hasil kerja mereka yang penuh tembel sana-sini.
"Jelek banget, Ndri. Nggak bakat lo jadi tukang maketin barang." Kata Mita sambil membolak-balik bed cover hasil kerja keras mereka.
"Lebih parahnya, lo sebagai cewek bukannya ngebenerin kerjaan gue, malah salah ngegunting miring-miring kayak poni ababil" KAta Andri sambil menyibak rambut Mita.
"Ah! Apaan sih lo!" Kata Mita sebal rambutnya berantakan.
"Eh, Lo belom mandi ya, Ta? Ampun deh! Gimana mau dapet cowok lo? Minimal, muka lo tuh dibenerin!" Kata Andri sambil melongok melihat wajah Mita.
"Mumpung libur, Ndri. Lagian, hemat air kali. Dalam rangka mencegah global warming." Kata Mita membantah.
"Ta, kalo lo mandi bakalan banyak cowok yang suka sama lo." Kata Andri
"Ngaruhnya apa?" Tanya Mita
"Ya lo cakepan dikitlah. Minimal wangi." Jawab Andri.
"Nah, kan! Nanti kalo gue mandi, bakalan terjadi Gombal Warning kayak barusan." Jawab Mita.
"Aahahhaa" Andri kemudian tertawa dan mengacak-acak rambut Mita.
"Andriiii! Lepasin ah!" Kata Mita menyingkirkan tangan Andri dari kepalanya.
"Buruan mandi sana! Anterin gue yuk. Gue mau kirim ini lewat jasa pengiriman paket." Kata Andri meminta pada Mita.
"Ngapain pake mandi? Hayuk ajalah kita berangkat sekarang." Jawab Mita.
"Etdah! Kali aja ada cowok siwer bilang lo cakep karena lo wangi. Jadinya lo bisa boongin dia buat jadi cowok lo." Kata Andri sambil mendorong-dorong bahu Mita.
"Au ah!" Kata Mita yang akhirnya beranjak dari tempat duduknya.
"Nah gitu donk. Kan kalo lo punya cowok enak. Gue kagak perlu khawatir lo nyasar2 atau kelaperan dimana gitu. Jadinya gue gak perlu jemput lo." KAta Andri sambil tersenyum melihat Mita berdiri.
"Kagak ikhlas lo ya? Lagian, gue kagak butuh cowok!" Kata Mita menoleh kepada Andri dan kemudian berjalan menuju kamar mandi. "Lagian gue gak butuh cowok selama ada lo, Ndri..." Mita berbicara lirih membelakangi ANdri.
Kemudian mereka menuju tempat jasa pengiriman paket dengan menggunakan motor Andri. Gerimis pun mulai membasahi kota Bekasi. Andri mempercepat laju motornya untuk segera mencapai tujuan agar hasil karyanya tidak rusak oleh hujan. Sesampainya disana, Andri menulis di secarik kertas nama pengirim dan  alamat yang akan dikirimkan.
"Eh eh, bentar! Kok nama pengirimnya gue sih? Kan lo yang mau ngirim." Mita terkejut ketika Andri memasukkan namanya sebagai pengirim. Lalu Andri tersenyum dan menunjukkan kepada siapa benda itu dikirim.
"Ratih? Ini buat Ratih? Kok?" Mita tambah bingung.
"Iya, Ta. Maaf gue pake nama lo. Ini buat Ratih, seminggu yang lalu dia nikah." Kata Andri kemudian tersenyum lagi, namun matanya sayu.
"Apa??? Ratih nikah??? Kok bisa??? Lo kan... Dia kan..." Mita sulit berkata-kata
"Please ya, Ta. Boleh kan gue pinjem nama lo. Gue gak mau Ratih tau gue yang kirim ini." Kata Andri melembut.
"Tapi kenapa ngga nama lo aja?" Tanya Mita kepada Andri.
"Lo tau kan perasaan kami berdua gimana. Tapi ya kami ngga bisa aja bersatu. Please ya, Ta. Jangan tanya apa-apa lagi. Gue seneng kok kalo dia bahagia." Kata Andri kemudian pergi membayar tagihan pengiriman tersebut.
Tak berapa lama kemudian Andri kembali pada Mita. Kemudian Andri mengantar Mita pulang. Hujan makin deras mengguyur Bekasi pada sore itu. Sesampainya dirumah Mita, mereka duduk di ruang tamu. Mita pergi ke dapur dan menyeduhkan 2 gelas teh manis hangat dan kembali pada Andri sembari memberi Andri handuk untuk mengeringkan kepalanya. Mita kembali duduk disebelah Andri.
"Kenapa lo ngga cerita, Ndri?" tanya Mita kepada Andri dengan sedikit lirih. Andri hanya tersenyum tanpa menjawab apa-apa.
"Jadi, cuma buat ini lo pulang cepet dari kerjaan lo? Ujan-ujan kerumah gue dan..." Mita tidak melanjutkan perkataannya karena kemudian Andri menoleh padanya. Wajahnya terlalu sendu untuk dipandang. Mita tidak tahu harus bagaimana. Entah mengapa Mita juga merasakan sakit yang dirasakan Andri. Tidak tahu mengapa. Perih sekali rasanya melihat Andri seperti itu. Marah dan sedih menjadi satu.
"Ta, bantuin gue ya. Bantuin gue lupain Ratih. Bantuin gue, Ta." Andri pun menunduk. Mita tidak tahu harus berbuat apa. Mita hanya dapat mengelus-elus bahu Andri dan menggenggam tangannya tanda peduli.
"Cukup gue yang tahu rasa sayang gue sama Ratih kayak gimana, Ta. Bahkan Ratih pun gak perlu tahu. Gue ikhlas. Gue pengen dia bahagia. Makasih, Ta. Makasih... Maafin gue udah ngerepotin lo." Lalu Andripun menyandarkan kelapanya di pundak Mita.
"Iya, Ndri. Gue ngerti perasaan lo..." Kata Mita merangkul Andri."Dan lo juga gak perlu tahu kalo gue sayang sama lo, karena gue ikhlas sayang sama lo. Gak perlu pamrih atau balas..." Mita berkata dalam hati. Dan hujan melarutkan keheningan dua orang sahabat yang memiliki perasaan yang sama dalam keadaan yang berbeda. 



Oleh: Tri Niasih Ati :)