Minggu, 09 Desember 2012

Biarkan

Aku menangkupkan kedua tanganku. Mengangkat wajahku dan menatap langit-langit kamar ini. Pipiku masih basah karena panjatan doa-doa dan lantunan kisahku yang ku ceritakan pada-Nya. Semua maaf yang kau ucapkan malam ini sudah cukup untuk membuatmu ku maafkan. Apa lagi yang dapat kulakukan padamu? Kau sudah menjadi rutinitas dalam kehidupanku, dalam pikiranku, dan dalam hatiku. Tapi entah mengapa, aku tidak dapat mencerna satupun kata "bersama" untuk kita malam ini. Mungkinkah aku terlalu marah? Atau kau sudah terlalu lelah? Atau yang lebih mungkin, kita telah bosan? Mungkin cinta ini telah berbeda.

Kau mungkin sedang terlelap dengan mimpi indahmu. Semoga. Ya, semoga. Ketika kau bertanya, siapa yang aku cintai selain kau. Satu jawaban pasti tanpa ragu, kau. Ya, kau! Tapi malam ini aku benar-benar tidak bisa lagi menjamah rindu yang saling bertaut seperti dulu. Tidak ada yang salah dengan malam ini. Hm.. Maksudku, tidak ada yang berubah malam ini. Hanya janji yang hampir saja tidak terpenuhi. Hati yang hampir saja dikecewakan lagi. Semua biasa.

Aku pernah melemparkan kata-kata tajam dan perlakuan buruk padamu, hingga kau lebih memilih diam dan tenggelam dalam duniamu tanpaku. Kau pun pernah melewatkan satu-dua janji yang kita sepakati. Hingga aku terjatuh dalam pikiran-pikiran buruk dan sakit hati yang sangat. Semua biasa. Biasa dalam kehidupan manusia.

Tapi malam ini berbeda. Entah mengapa.

Aku duduk di beranda rumahku menantikan kedatangan orang yang paling ku sayang. Seseorang yang benar-benar aku rindukan. Seminggu yang berat menahan segala cerita yang penat, untuk sekali saja tercurahkan kepada seseorang yang paling aku nantikan. Ya, aku menunggumu. Dengan sedikit make up dan dress yang membuatku merasa cantik, aku menatap senja yang lama-kelamaan turun ke dasar danau dan di gantikan rembulan. Berawal dari senyum yang melekat, debar jantung yang hebat, aku menunggumu di sambil menatap ke arah barat.

Dua jam berlalu dari pukul enam sore. Beberapa jam dari janji yang kita sepakati. Riasan yang sedikit luntur, senyum yang mulai menciut, debar jantung yang melambat, dan rindu yang mulai beku. Ini hal biasa. Aku terbiasa mengganggu akhir minggumu dengan sejuta keluhan yang menggunung. Mau bagaimana lagi, kita hanya dapat bertemu pada hari itu. Bila aku ingin mengeluhkan sesuatu, kau meluangkan waktu lewat ponsel biarpun sekedar mendengarku menangis tanpa alasan. Tapi kadang kau lupa satu hal, rindu yang harus diganti yang baru. Jangan dibiarkan menjadi basi dan menyebabkan penyakit.

Pukul 9 malam, deru knalpot mobil sedan terdengar dari luar pintu pagar. Tak lama ponselku berbunyi dan nampak namamu di layar. Aku tahu, itu kamu. Kau datang dengan sedikit kusut. Mungkin pekerjaanmu memang benar-benar merenggut kesenanganmu, meskipun ini akhir pekan. Aku berlari dan membukakan pintu gerbang. Aku mencoba untuk tersenyum senang, kau pun berusaha membalas senyumku dengan tulus meskipun ku rasakan senyum kita berdua itu palsu.

Kita berdua masuk ke ruangan dimana tersiapkan sebuah meja dan dua buah kursi dengan makanan telah dingin tersaji diatasnya. Kita berdua terduduk diatas kursi itu. Sunyi senyap yang merayap. Seribu maaf menggunung dihatimu. Begitu pula dihatiku. Ingin rasanya aku memukul dan membanting meja ini. Bukan atas salahmu, tapi ini juga salahku. Kita terdiam untuk sepuluh menit pertama. Beberapa kali kau menguapkan pandangan lelah. Terkantuk sedikit beberapa detik kemudian tersadar kembali, membuka mata dan memandangku dengan senyummu, mencoba menyembunyikan beratnya hari. Aku tersenyum, mencoba tulus. Tapi aku tahu, itu tadi semua palsu.

Kau mencoba berbicara, aku hanya tertunduk kemudian memalingkan pandangan. Kemudian kau membatalkan keinginanmu. Aku bangun, mataku nanar dan merah menahan air yang siap membanjiri malam ini. Kau meminta maaf. Berkali-kali meminta maaf. Aku memelukmu erat. Mencium bahumu yang bau keringat. Beratnya dunia yang kau panggul hari ini begitu terasa dari aromanya. Kau menautkan kedua tanganmu melingkupi tubuhku dan bertemu dibalik punggungku.

Tidak, sayang... Akulah yang bersalah. Aku tidak pernah mengerti begitu keras duniamu, dengan berbagai kemanjaan yang sulit sekali ku kendalikan dan emosi yang seringkali menjadikanmu sebagai pelampiasan. Aku, akulah yang tak pantas untukmu. Akhirnya malam ini kita habiskan dengan pelukan yang begitu lama. Pelukan yang melegakan nafasmu yang sekali saja minta ku mengerti. Dan kita saling melepas. Aku siap melepasmu. Mungkin ini yang terbaik untuk kita, biarpun kita lalui hari esok yang berbeda. Kita mungkin saling menyakiti, tapi kita saling mencintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar