Rabu, 11 Oktober 2017

New experience

Apa ini namanya? Setiap membayangkannya atau mengingat atau menemukan hal serupa, badanku gemetar, jemari tangan dan kaki dingin, perut terasa melilit dan tidak bisa tidur. Menangis tidak karuan itu pasti. Apalagi bengong. Hampir dipastikan tiap duduk atau sedang hening. Pasti bengong.

Aku memberanikan diri bercerita kepada beberapa orang terdekat. Mereka responsif. Tapi itu masih belum membuatku tenang.

Salah satu temanku menyarankan agar aku tidak menunda ke psikolog. Dulu, aku tidak berani ke psikolog. Seakan-akan aku memiliki gangguan kejiwaan berat kalau aku ke sana. Tapi sayangnya, kadang orang sekitar ikut mengamini mitos itu. Seringkali, apa yang aku ceritakan pada mereka dianggap hanyalah sisi emosionalku yang berlebihan. Yang kelewat lembek. Mereka tidak  tau, masalah itu memang sangat kecil, tapi bagiku tidak. Aku merasa tidak punya pendukung dan merasa di remehkan.

Untung ada temanku yang menyarankan aku untuk menemui psikolog. Akhirnya Aku ikuti. Aku memberanikan diri bercerita pada beliau. Dan baiklah, aku didiagnosa trauma yang mengakibatkan aku depresi.

Aku perlu beberapa kali berkunjung lagi. Well, setidaknya ada orang yang tidak menganggap remeh ceritaku.

Ini mudah. Seperti kamu sakit kepala dan tidak tahan lagi, makanya kamu ke dokter. Seperti itu saja. Tidak ada sugesti lebih.

Kamis, 07 September 2017

Today's mood

Feel 'lil bit upset and down lately. When you really love something but you seem can not reach it...
Orang-orang bertanya kenapa saya ikut kelas private latihan vokal, jawaban saya mudah : karena saya suka dan saya mau tahu sampai di mana kemampuan saya. Sudah. Segitu aja kok. Saya gak muluk-muluk mau jadi penyanyi atau bersuara bagus. Cukup enak didengar. Seorang teman saya pernah bilang, kalau suaranya biasa saja bisa terdengar lebih enak kalau tepat nada dibandingkan yang suara merdu tapi tidak pitch. Maka jadilah saya ikut kelas latihan vokal.
Selama latihan vokal, guru vokal saya meyakinkan saya bahwa suara saya punya ciri khas dan ada bakat untuk merdu. Namun saya perlu sangat banyak berlatih sendiri. Karena latihan di kelas waktunya terbatas. Dan beliau bilang, jangan menyerah.
Setelah beberapa bulan saya ikut kelas latihan vokal, saya merasa ada kemajuan. Dari yang buta nada, jadi sedikit melek nada. Kata guru vokal saya, kekurangan saya adalah tidak pitch saat bernyanyi. Musik pengiring tidak selaras dengan vokal saya. Saya berlatih untuk terus bisa seperti yang beliau maksudkan. Sulit. Susaaah... Saya tidak punya basic musik. Guru vokal saya benar-benar sabar untuk melatih pendengaran saya supaya bisa menyelaraskan apa yang saya dengar dengan vokal yang saya produksi. Demi Tuhan... Sulit. Kadang saya pitch kadang kalau juga melenceng.
Teman-teman kantor saya sering jadi korban. Saya suka bernyanyi di kantor. Hahahaha mereka diam saja, entah saya memang menghibur atau mengganggu. Tapi kata salah satu rekan saya, suara saya menjadi lebih mendingan dibandingkan sebelumnya. Saya bersyukur ada yang memperhatikan. Meskipun dia tidak memuji. Setidaknya saya tau perkembangan saya.
Tapi tidak belakangan ini. Saya merasa ingin menyerah saja. Meskipun berkali-kali guru vokal saya meyakinkan saya bahwa saya masih belajar dan tak perlu khawatir. Karena banyak orang berlatih bertahun-tahun bahkan penyanyi profesional sekalipun. Untuk meyakinkan itu, saya mencoba mengajak beberapa teman saya yang bisa memainkan alat musik untuk bergabung dalam project saya sebelum saya ikut suami ke luar negeri untuk bekerja.
Tapi sekali lagi, saya seperti ingin menyerah. Saya seperti tidak mendapat penghargaan atau dukungan dari orang terdekat. Saya berfikir, saya memang tidak berbakat. Lebih baik saya menyerah saja. Lagipula, apa gunanya saya latihan vokal kalau tidak berniat jadi penyanyi? Dulu waktu memutuskan untuk ikut kelas vokal, saya punya idealisme bahwa saya memang suka bernyanyi dan saya ingin bisa bernyanyi dengan cara yang benar. Bukan untuk dijual atau dipuji. Kalaupun mendapatkan kedua hal itu, itu adalah bonus.
Masih mencari semangat...
Entah hanya lelah dan bosan, atau sudah sadar diri...

Sabtu, 26 Agustus 2017

Teman

I am f*ing sleepy, but my eyes in full power af.



Jadilah berlanjut untuk randomly search blog apa aja. Nemulah ke sebuah blog yang penulisnya (dan terlihat dari tulisannya) adalah seorang yang kalem, pemikir tapi cerewet dalam ide. Semakin kebawah-bawah, sepertinya dia menulis di blog itu hanya untuk menumpahkan isi pikirannya yang terlalu cerewet tapi bukan kepribadiannya berkata-kata banyak lewat suara. Melainkan lewat aksara saja.


Sebenarnya, sama seperti tulisan-tulisan di blog ini. Sebuah tempat rahasia yang terbuka. Hanya yang peduli dan yg penasaran yang tahu tempat ini.

Hampir semua orang (nyaris 90%) tidak percaya sebenarnya saya ini orang yang tertutup dan pemalu. Ya. Saya.

Dalam bergaul, saya cukup talkative dan sering melempar jokes ngasal untuk mencairkan suasana.

Semakin kedalam, saya memilih teman-teman dekat untuk saya ajak bicara masalah agak serius. Seperti masa depan, pendidikan, atau gosip orang-orang sekitar. Orang-orang ini ada di lapis kedua terluar dari lingkaran kepercayaan saya.

Masuk ke dalam lagi, dari lapis kedua tadi, ada beberapa yang masuk seleksi teman baik yang saya jadikan tempat berbagi banyak hal. Terutama tentang pasangan. Teman-teman inilah yang kalau sudah bertemu dan ngobrol lama-lama tapi masih kuat telpon lebih dari sejam setelah pertemuan. Intensitas bertemu dengan mereka lebih jarang tapi lebih lama karena biasanya begitu saya ada masalah, saya langsung menghubungi mereka meskipun tanpa harus bertemu.


Lapis yang lebih dalam, saya memilih orang-orang terbatas. Orang-orang tempat saya bercerita sebagianbesar masalah hidup saya. Hampir semua. Termasuk terbuka masalah keluarga atau hal-hal yang tidak bisa saya ceritakan kepada orang lain. Saya menyebut mereka One call away comrades. Mereka-mereka ini levelnya sudah setara keluarga untuk saya. Pertemuan kadang intens kadang mendadak. Tergantung seberapa butuh dan rindunya kepada mereka. Kapanpun mereka minta saya mendengarkan cerita mereka, saya pasti pasang panca indera untuk tau cerita mereka. Mereka benar-benar orang-orang terbaik. Mereka ikhlas. Tidak menghakimi dan berpikiran terbuka. Kadang ada yang ekstrim dan frontal sih. Tapi logika dan perasaan sama-sama ditimbang. Mereka istimewa. Saya tidak suka menceritakan masalah keluarga kepada siapapun. Sama sekali tidak suka. Termasuk kepada mereka. Namun ada hal-hal di mana saya tidak tahan diam maka saya akan datang pada mereka.


Lapis terakhir, kepercayaan saya untuk tahu seberapa saya suka, benci, dendam dan cinta. Yang tahu saya tersenyum ikhlas dan perilaku saya sedang tidak berdrama atau sekedar mencoba menghindari masalah, cuma satu. Yang saya percaya tanpa ragu tiada khianat. Meskipun saya seringkali berkhianat dan pada akhirnya saya kembali mengemis-ngemis agar saya tidak dibenci atau dilupakan. Satu-satunya tempat lari dan bersedih. Seberapa dalam luka atau seberapa sayangnya hati saya terhadap sesuatu/seseorang, hanya Dia. Iya. Dia. Tuhan.


Tri

Jumat, 25 Agustus 2017

Apa itu bahagia?

"Tapi kamu bahagia gak?"


Pernah gak ada orang bertanya seperti itu ke kamu? Terus kamu jawab apa?


Pernah gak kepikiran definisi bahagia itu apa?

Sampai detik ini saya masih belum bisa mendefinisikan bahagia itu apa. Saya pernah memposting tulisan tentang kebahagian juga sebelumnya. Tapi akhir-akhir ini saya kepikiran tentang sebenarnya apa sih itu bahagia. Dulu, ketika saya sedang bersama seseorang, saya pernah mengeluhkan sikapnya terhadap saya kepada teman saya. Lalu teman saya bertanya pada saya, "Tapi lu bahagia gak sama dia?"
Saya langsung bingung mendefinisikan bahagia itu apa. Saya tidak berani menjawab apa-apa.


Lalu saya mulai dapat mendekati definisi bahagia. Hmmm... hanya mendekati. Saya mendapat definisi ini dari teman kerja saya, Riska Mulyadi namanya. Yang kemudian arti bahagia tersebut saya kaitkan kepada pengalaman saya yang lalu-lalu.


Riska pernah bilang, "Gue sebenernya udah gak betah kerja di sini. Udah gak jelas blaablaablaa... *Sensor*"
Kemudian dia melanjutkan, "Tapi yang bikin gue bertahan adalah kalian. Di sini (Maksudnya tempat makan siang-Red) gue bisa cerita-cerita, ketawa-ketawa, terus ngadepin masalah sama kalian-kalian ini. Suasana ini yang belum bisa kebeli sama gaji gede yang ada di perusahaan lain."



Dari situ saya menyetujui perkataannya. Bahwa bahagia itu kenyamanan. Bukan tidak pernah kami saling menyakiti, tapi entah kenapa kami tetap nyaman berteman. Bisa dibilang kepercayaan itu mengambil bagian yang cukup besar dari kenyamanan yang pada akhirnya saya definisikan sebagai bahagia.


Bukan hanya sekedar tertawa atau bekerja bersama, tapi kenyamanan itu hasil dari kepercayaan yang diolah bersama dengan proses tawa-kecewa-sedih yang kemudian mendatangkan rasa "betah" untuk berlama-lama dan bertahan. Fondasi kebahagiaan menurut saya adalah kepercayaan. Mengapa? Apakah kamu mau menjalin hubungan (pertemanan, bisnis atau keluarga) tanpa didasari rasa percaya?

Bahkan, membuat akad (perjanjian) juga berlandaskan kepercayaan kan? Kamu percaya lawan main kamu itu akan menepati janjinya dalam kerjasama ini. Lalu kalau kamu sudah tidak percaya dia? Apa kamu masih mau menjalankan kerjasama dengannya? Kalau sudah terlanjur kerjasama, apa hati kamu akan tenang tanpa kepercayaan? Kalau hati kamu tidak tenang kan kamu tidak bahagia.


Jadi, apa sih bahagia itu sebenarnya?







Tri Niasih Ati



Senin, 19 Juni 2017

Hati yang baru

Tuhan beri kamu hati, lalu dihancurkan manusia lain. Dengan hati-hati, kamu susun pecahan-pecahan hati itu agar berbentuk kembali. Kemudian dihancurkan kembali oleh manusia (yang sama) hingga berkeping-keping. Serpihan ini sudah tidak bisa kamu satukan lagi butiran-butirannya.

Lalu Tuhan beri kamu hati yang baru lagi. Lalu manusia lain menghancurkannya lagi. Kamu mencoba merapikannya lagi. Hingga hati ini hancur lagi dan tidak dapat kamu rapikan kembali. Kamu marah dan bosan dengan siklus yang sama.

Lalu Tuhan membuatkan hati yang baru lagi untuk kamu. Kali ini kamu sadar, manusia lain tidak berhak kamu beri hati. Akhirnya kamu minta Tuhan mengambil hati kamu. Hingga kamu tidak punya hati lagi untuk sakit.

Biar Tuhan yg menggenggam hati kamu. Dia-lah yang berhak atas hati kamu.

Tak apa.

Senin, 22 Mei 2017

Bahagia itu dari kamu

Saya sebelumnya tidak tahu akan memberikan judul apa pada tulisan ini.


Di antara kamu pasti pernah merasa terlalu baik untuk disakiti dan terlalu suci untuk dihinakan. Tapi semuanya itu sebenarnya tidak bisa dihindarkan. Bisa saja kamu sudah melakukan segala hal yang menurut kamu terbaik --mungkin saja orang lain tidak bisa melakukannya-- dan kamu berharap hasil yang didapat juga terbaik. Tapi jangankan hasil baik, seringkali kamu mendapatkan hasil yang terburuk bahkan lebih buruk dari orang yang tidak melakukan apa-apa. Di mana yang salah? Kenapa kita tetap berbuat baik kalau pada akhirnya sakit hati juga. Kadang saya menganggap kalau menjadi orang yang tidak punya hati itu merupakan salah satu perasaan yang sangat menyenangkan. Kamu tidak perlu memikirkan perasaan orang lain, seperti yang orang lain lakukan kepada kamu.

Kamu pasti pernah sangat setia kepada pasangan kamu. Lalu kamu melakukan apa saja untuk menjaga dia. Tapi dengan mudahnya dia mengkhianati kamu seolah-olah kamu itu akan memaafkan dia dan kamu tidak punya hati untuk tersakiti. Orang-orang seperti itu sulit membedakan mana baik hati dan mana tidak punya hati. Siapapun pernah disakiti. Saya tidak bisa berbicara tentang hal positif di sini. Saya jujur. Saya tidak munafik. Ini menyakitkan dan rasanya benci itupun seakan tersangkut di tenggorokan yang bahkan membuat seakan udara saja sulit untuk lewat. Menangis sejadi-jadinya pun tidak akan mengubah keadaan. Tidak. Sakit itu tetap sakit.

Terlebih, bila orang lain mengatakan kalau sakit hati itu berlebihan dan menganggap hal itu sebagai hal yang biasa. Rasanya berlipat-lipat. Seharusnya  mereka itu tidak berdebat dengan ukuran "Rasa". Jika "Rasa" punya ukuran pasti, maka tidak ada ragam rasa makanan atau minuman yang beredar di sekitar kita. Iya kan? Kamu pasti merasakan orang tersebut meremehkan rasa kecewa kamu, marah kamu, dan sakit hatinya kamu. Itu bikin kamu trauma untuk mengungkapkan kepada mereka seberapa tidak sukanya kamu. Pada akhirnya kamu hanya akan memendamnya dan membuat ini jd bom waktu yang pasti juga akan merugikan diri sendiri.

Ada beberapa orang bilang saya berbuat jahat pada Si X. Saya hanya mngernyitkan dahi. Beberapa orang yang kenal dekat dengan saya pasti tidak akan bilang itu. Mereka pasti tahu, sebelum saya berbuat jahat atau menyakiti orang lain, mereka harus bertanya kepada si objek yang tersakiti itu, pernah berbuat apa terhadap saya.


Saya masih berfikir, mana yang lebih mudah: menjadi orang yang tidak punya hati untuk marah atau orang yang tidak punya perasaan dan tidak peduli keadaan orang lain?


Saya tidak mau munafik, sekali lagi. Setelah banyak hal yang terjadi, saya selalu membuat langkah pencegahan agar tidak terjadi lagi. Di saat terjebak dengan kesalahan yang sama, rasa sakitnya jadi beda. Rasa sakitnya bukan karena perbuatannya. Lebih kepada rasa menyalahkan diri sendiri kenapa hal ini bisa terjadi lagi. Apa selama ini ujian dari Tuhan mengenai hal ini belum juga dapat saya lalui? Bisa dibilang hal ini terjadi lagi karena saya belum lulus ujian. Sejujurnya, saya menulis ini sambil menahan rasa dongkol di tenggorokan dan sedikit banyak mengeluarkan air mata.




Tapi ada hal yang saya pelajari. Kita bisa sakit hati karena hal yang sama. Kita bisa jatuh lagi dalam kesalahan yang sama. Tapi ada yang berbeda, yaitu cara penyelesaiannya. Kamu pasti memilih cara penyelesaian yang berbeda dibanding sakit hati yang sebelumnya. Semoga kamu, saya, dia, mereka dan terutama kita, bisa meminimalisir sakit hati. di mulai dari sebelum terjadinya, saat terjadinya dan setelah kejadiannya.



Saya tidak akan bilang, "Jangan sensitif. Biar gak gampang sakit hati." Itu tidak adil. Saya cuma mau bilang, "menangislah lebih keras. Terjatuhlah lebih dalam. Bersedihlah lebih pilu. Tapi berjanjilah untuk terbang lebih tinggi. Untuk lompat lebih jauh. Dan untuk berfikir lebih licik."


Bahagia itu dari kamu...

Senin, 27 Februari 2017

Jadi perempuan itu harus kuat

Jadi perempuan itu harus kuat.

Hari ini saya datang lebih pagi. Seperti biasa rute transportasi saya menuju kantor itu adalah dengan berjalan kaki menuju Stasiun Pondok Cina kemudian menaiki kereta. Turun di Stasiun Tanjung Barat dan melanjutkannya dengan transportasi umum berbasis online. Saya menunggu beberapa saat sampai ada pengendara yang menelepon. Beberapa saat saya melihat layar ponsel, saya berfikir ulang untuk membatalkan pesanan dan mencari pengendara baru. Tidak berapa lama, ponsel saya berdering. Suara seorang wanita ada di seberang sana. Dia bilang, dialah pengendara yang akan mengantar saya ketempat tujuan saya. Setelah menutup telepon, saya menjadi penasaran. apakah saya salah lihat. Sebab yang tertera di layar ponsel saya itu adalah nama yang biasa digunakan untuk laki-laki. Terutama ada nama "Putra". Tapi kemudian saya berfikir positif. Mungkin memang orang tuanya memiliki maksud lain memberinya nama seperti itu.


Ketika tiba, pengendara itu meminta maaf dan berkata "Maaf ya, Mbak. yang ada di akun itu nama suami saya. Nanti mohon dikasih bintang 5 aja ya." saya sih tidak mengapa. Malah lebih nyaman dengan pengemudi wanita. Tidak seperti yang sering dicibir orang. Dia mengendarai motor dengan baik, benar dan tidak lambat. Semuanya pas. Dia sangat ramah. Namun tidak mencoba sok kenal-sok dekat dengan mengobrol pajang lebar. Semuanya serba pas.


Tapi bukan itu intinya. Bukankah sebenarnya tidak dilarang bilamana wanita melamar pekerjaan menjadi ojek online? Tapi mengapa dia memilih menggunakan/menggantikan suaminya? Saya tidak berani bertanya. Saya hanya menerka-nerka.


Jadi perempuan itu harus kuat. Saya tidak tahu kenapa dia menggantikan suaminya. Mungkin saja suaminya sedang bekerja di luar kota sehingga akun ojek online itu sayang untuk dibuat menganggur. Atau lebih buruk, suaminya sedang sakit atau mengalami sesuatu sehingga harus menggantikannya bekerja. aku jadi teringat pada teman-teman satu kamr kosku. Mereka wanita kuat. Mereka membiayai keluarga mereka di kampung halaman mereka. Bahkan ada yang sedang mengalami musibah, Ibundanya meninggal dunia.

Bagaimana kalau perempuan lemah? Siapa yang akan memeluk anak-anak mereka saat hujan dan rumah bocor. Sedangkan sang ayah sedang pergi ke atas menaiki atap untuk membenahi genteng. Atau saat suami yang pergi jauh karena tugas, pertaruhannya nyawa. Maka perempuan kuatlah yang mengantar anak-anak tidur, sekolah, memasak, mendidik, menggendong, merawat dan sebagainya. Bagaimana tidak perempuan harus kuat? Iya kalau selamanya suami diberikan kesehatan dan umur panjang. Yang lebih parah, iya kalau suami tetap bertanggungjawab dan tetap setia? Kalau tidak?



Bagaimana kamu bercita-cita menjadi perempuan lemah? Kamu harus kuat. Seorang saudara pernah berpesan, "Kesabaran perempuan itu harus lebih luas dari samudera." sampai detik barusan saya baru sadar akan maknanya.

Kamis, 16 Februari 2017

Kamu yang mana?

Hello kamu, iya kamu.


Aku tau. Ketika kamu baca tulisan di blog ini, kamu tidak tau sebenarnya aku juga memantau statistik pengunjung di blogku. Aku gak tau kamu mampir ke Blog ini untuk apa. Mungkin kamu juga tidak pernah sadar kalau di pojok kiri atas ada tulisan "Tempat curhat terbuka yang rahasia. Hanya yang peduli dan yang penasaranlah yang tahu. Kamu yang mana?"


Nah, sekarang sadar gak? Yaaa... gak masalah sih. Gak papa. Nggak mengganggu juga keberadaannya. Cuma penasaran aja. Kamu masuk bagian yang mana?

Aku yah, kalo aku. Cuma dua tipe orang yang aku cari tau secara diam-diam:

- Pertama, pastinya orang yang aku suka. Yang satu ini tuh rasanya gimana ya... nyaman aja gitu. Melihat dan mengawasi dari jauh tanpa diketahui orang yang bersangkutan. Bebas. Aku bisa lihat dia tanpa dia merasa diperhatikan. Dia bisa bergerak bebas yang mana "keaslian" itu lah membuat aku bisa mengagumi dia. Jangan khawatir, kadang juga aku punya hobi menjadi penggemar rahasia seseorang.

- Kedua, tentu saja orang yang punya tendensi membuat aku marah. Misalnya, Mantannya si pacar. Aku suka mau tau apa sih yang dia lakukan sekarang? Apa sih kehebatan dia? Bagaimana sih kepribadian dia? Dia sedang mengalami apa? Ya sejenis itu.Intinya, kedua alasan tadi merupakan cabang dari pernyataan pojok kiri blog. Kepada orang yang aku suka, Pasti akan memeriksa cerita-cerita tentangnya sebagai kepedulian dan aku akan datang membantunya saat ia mengalami kesedihan atau keburukan. Itupun kalau aku punya keberanian untuk menemuinya. Dan untuk orang-orang yang tidak aku suka, aku mencari tau karena penasaran. Iya, penasaran. Menarik untuk diteliti, kadang ditertawakan dan dihina.

Lalu, kamu termasuk yang mana?

Selasa, 24 Januari 2017

Lagi?

Pernah sakit hati? Pasti pernah.
Pernah merasa diremehkan? Jelas pernah.
Pernah ingin menyerah? Iya!
Pernah sangat menikmati rasa sakit? Well, yeah.
Pernah merasa menjadi pilihan kedua? Duh, apalagi ini!
Pernah merasa tidak punya kelebihan apa-apa? Hmm... kadang-kadang.
Pernah merasa dibandingkan? Secara tersirat, iya!
Pernah dijadikan bahan tertawaan karena kamu belum bisa apa-apa? Hu'uh!
Pernah merasa tidak penting? nggak... Eh, pernah...
Pernah merasa tidak seberuntung orang lain? Tidak bisa dipungkiri!
Pernah ingin lari ke tempat di mana tidak ada orang yang mengenal kita dan kita kenal? Sering!
Pernah merasa sendiri dan tidak akan ada yang sempurna mengerti? IYES!


Semua itu pernah dirasakan bukan? Bagaimana kalau mengalaminya lagi? Berulang-ulang. Ini seperti sebuah siklus kehidupan yang sepertinya memang sebuah prosedur yang harus dilalui. Tapi rasa sakitnya meningkat lho! Pasti tidak sama dengan sebelumnya. Rasanya, seperti ingin marah. Berantakan. Tidak bisa dijelaskan. Lebih melegakan disimpan sendiri sampai hilang rasanya. Tidak perlu banyak orang tahu. Kadang, tidak perlu ada yang tahu. Sebagian, akan menasehati. Sebagian lagi mencoba membantu karena merasa kasihan. Sebagian besarnya, ingin tahu dan memasang topeng kepedulian. Yang lebih parah, tidak sedikit yang menghakimi dan menyalahkan. Hanya sedikit yang bersedia mendengarkan, memeluk, menguatkan, menggenggam tangan, dan mengajak melaluinya bersama.


Pernah jatuh cinta? Pernah!
Dengan siapa? Diri sendiri.


Menyadari kalau ternyata diri sendiri sekuat dan sehebat itu. :)

Jumat, 20 Januari 2017

Same shit different people

Mungkin, idiom yang sering didengar adalah same shit different day. CMIIW, artinya, kerjaan atau kejadian yang sama seperti sebelumnya tapi terjadi atau dilakukan lagi di hari berbeda (selanjutnya).

Kayaknya serupa dengan same shit different people. Perilaku sama, kejadian sama, atau perbuatan yang sama, yang dilakukan oleh orang yang sebelumnya, terjadi (dilakukan) lagi oleh orang yang berbeda.

Entah semacam karma atau memang sebuah ujian yang kalau kamu belum lulus dari ujian itu maka kamu akan diuji dengan ujian yang sama berkali-kali sampai kamu lulus.

Kadang, sampai terlintas dibenak apakah memang kamu itu pantas nerima ini karena kamu kena karma? Atau kamu memang pantas dapat perlakuan itu berkali-kali karena memang kapasitas kamu gak naik-naik. Segitu-segitu aja. Iya gak sih?

Pasti terlintas pikiran "dosa apa gue sampe ngalamin hal kayak gini lagi?" atau "ya ampun. Padahal gue udah pernah beberapa kali ngalamin yang kayak gini. Masih aja ngalamin lagi dan tidak ada tindakan korektifnya. Oke. Fine"

Yasudahlah. Kalau dua-duanya terjadi, intinya kamu disuruh koreksi diri. Hidup itu gak sendiri.

Selasa, 17 Januari 2017

Takut terhadap diri sendiri

Pernah kebayang gak kalo ketemu orang lain yang notabene itu adalah cerminan diri kita sendiri?

Bagaimana rasanya? Ngeri? Seru? Lucu? Atau aneh?

Baru-baru ini terpikir rasanya bagaimana kalau bertemu dengan diri sendiri. Dengan segala sifat buruk atau sifat terjahat yang ada dalam diri sendiri. Sifat jahat apa yang paling kamu takutkan?
Aku? Aku bukan seorang pemaaf yang baik. Lebih tepatnya, seorang pendendam yang oportunis. sebenarnya tidak berniat untuk balas dendam. Hanya saja bila dapat kesempatan, kalau bisa membalas lebih pahit kenapa harus memaafkan? Hahahahaaa

Aku suka menghitung kesalahan orang. Kesal? Marah? Kecewa? Pasti! Tapi aku bisa menahannya. Aku hanya membiarkan mereka merasa terlena terhadap kesenangan menyakiti dan seolah-olah aku memang orang baik hati yang tidak punya hati disakiti namun selalu berbuat baik.

Aku tidak pernah berencana untuk balas dendam. Tapi kesempatan itu seringkali datang. Pada saat balas dendam itu terjadi, aku sudah tidak punya perasaan lagi untuk peduli. Secara tidak sadar ternyata aku sedang membalas dendam. Itu berjalan begitu saja. Mengalir sesuai takdir. Tidak pernah direncanakan. Aku hanya berharap mereka tahu rasanya perbuatan yang pernah mereka lakukan kepadaku. Kalau yang aku lakukan itu lebih dari yang pernah mereka perbuat padaku, yaaa well... Itu hanya kebetulan. Kebetulan yang selalu terjadi. Ketika mereka menganggap aku "tidak punya hati" karena tidak pernah sakit hati (read: selalu memaafkan) karena kesalahan mereka, maka seperti itulah aku pula saat membalas mereka. Tidak punya hati.

Aku sering membiarkan orang percaya bahwa aku percaya kebohongan mereka. Mereka merasa telah berhasil membohongiku. Menurut kalian, siapa yang sebenarnya berbohong? Mereka yang membohongiku atau aku yang berhasil membuat mereka percaya bahwa aku telah mereka bohongi? Hahahaaa

Sebenarnya, aku tidak sejahat itu. Aku bukan pembenci yang baik. Tapi aku juga tidak munafik. Aku membiarkan waktu yang menjawab. Kadang, aku membiarkan waktu membunuh mereka dengan rasa bersalah atau rasa kehilangan. Mungkin aku bukan orang yang terbaik. Tapi aku pastikan, mereka akan mendapat kehilangan besar bila aku tidak ada.

Karma itu ada. Bukan aku yang membuatnya. Kesempatan itupun ada. Dan sekali lagi, bukan aku yg menciptakan. Bila kesempatan membalas karma itu datang, dipastikan itu bukan unsur kesengajaan. Tapi rasa sakit yg aku buat, itu pasti hasil ketidakbaikan mereka dimasalalu. Aku tidak suka menyakiti orang. Bila mereka tersakiti oleh ku, tanyalah mereka. Pernah berbuat apa dulu terhadapku. Mudah.

Aku selalu memberi maaf, pula peringatan. Jika masih diulang, itu berarti aku sedang diremehkan. Baiklah. Jujur saja, aku suka diremehkan. Aku suka membalas mereka yg meremehkan. Cara membalas dendam kepada orang yg meremehkan adalah membuktikan kalau mereka itu salah.

Aku seperti mengeluh sekaligus menikmati rasa sakit. Sebab buatku, yang terakhir tertawalah yang menjadi pemenang.

Mengutip lirik lagu Kerispatih yang judulnya Tapi Bukan Aku : "sebab rasaku tlah mati untuk menyadarinya".

Masih terpikir begitu ngeri bila aku bertemu dengan orang sejahat itu. Ya. Diriku sendiri.

Kamis, 12 Januari 2017

Dear Joan,

Dear Joan,

Terimakasih sudah kembali. Terimakasih sudah menjadi teman baik. Terimakasih sudah akan menjadi teman hidup.

Dear Joan,

Terimakasih atas segala tawa yang kembali. Terimakasih telah membuka hati. Terimakasih atas keringanan perasaan. Terimakasih atas prasangka buruk yang terhilangkan. Terimakasih atas keraguan yg terjawab.

Dear Joan,

Terimakasih atas Ibu dan Bapak baru untukku. Begitu sergap dan pengkode keras. Terimakasih atas tetangga-tetangga yg heboh saat pertamakali bertemu. Terimakasih atas teman-teman kemlu yg super. Terimakasih Cikuray yang indah.

Dear Joan,

Terimakasih kecupan kening saat kita berpisah untuk bertemu lagi. Terimakasih, sahabat jadi cinta.

Terimakasih... :)