Selasa, 25 Desember 2012

I love to be me!

Pernah gak ngerasain lo pengen banget mengalahkan seseorang karena suatu hal. Lo pengen ngebuktiin kalo lo bisa melakukan hal yang kayak dia lakukan. Mungkin untuk bisa dihargai dan gak dianggap enteng. Bisa jadi karena lo punya alasan supaya lo gak bisa atau bisa dibandingin sama orang itu.

Gue pernah! Sekarang mungkin tepatnya. Gue gak pengen dibandingin. Tapi kalopun harus dibandingin, gue bisalah sejajar sama dia, paling tidak. Sifat nothing to lose gue emang kadang bikin gue dalam masalah. Kadang gue juga mikir, hal yang gue lakuin itu gak penting-penting amat. Jangankan ada yang bandingin, malah jangan-jangan usaha gue gak dilirik sama sekali. Kembali lagi, lalu tujuan gue apa untuk melakukannya? Kebanggaan kah? Kemampuan kah? Atau hanya ingin dilihat dan gak dianggap remeh?

Gue gak suka dianggap remeh! Gue akan melakukan apa yang orang lain bilang kalo gue gak akan bisa melakukan itu. Tapi untuk yang kali ini otak gue mikir. Kenapa gue mau melakukannya? Damn! Ternyata gue hanya pengen gak dianggap remeh dan berani dibandingkan. Sesuatu yang gue lakukan adalah seseorang yang bukan gue banget! Usaha sekeras apapun yang gue lakuin cuma bikin gue makin gak nyaman.

Bukan gue mau nyerah dan membatasi diri, tapi gue sadar. Ini bukan gue. Sedangkan gue melakukan hal inipun gue lakukan bukan karena untuk kebaikan, tapi lebih ke keangkuhan dan kesombongan karena gak mau diremehin atau gak mau merasa terkalahkan. Padahal gue harus sadar, gue bisa mengalahkan orang itu. Tapi dibidang gue sendiri. Yang apa adanya gue. Ya yang jelas yang dengan tujuan yang baik. Mungkin dia bisa hebat dengan melakukan hal itu. Ya! Gue akui dia hebat! Karena dia bisa melakukan hal yang gak bisa gue lakukan.

Tapi ketidak nyamanan itu benar-benar mengganggu. Gue bukan tipe orang yang memaksakan kenyamanan. Maka gue memutuskan untuk berhenti melakukan seperti yang orang lain lakukan. Gue memutuskan gue akan hebat dengan bidang gue sendiri. Gue gak mau merasa hebat dengan berhasil melakukan apa yang dia lakukan juga. Gue hanya follower dia donk? Bukan pesaing dia. Sorry to say, gue lebih nyaman dengan diri gue yang gak bisa melakukan apa yang lo lakukan tapi hebat sama hal yang lo gak bisa lakukan. (sama aja niatnya. heheheee)

 
Intinya, gue merasa bodoh karena mau mengalahkan dia dengan "cara dia". I don't need that way! Kalo gue emang gak bisa jadi pecinta alam yang sanggup menaklukan gunung, kenapa gue harus? Karena gak mau dibandingin? Pwih! Picik banget pikiran lo, Trini! Setiap orang itu beda dengan kemampuan masing-masing! Just love your self... :)

Jumat, 14 Desember 2012

Tuhan, Berikan aku waktu

                                   Biarlah bayangmu menghilang,
                                  Menimbun rindu hingga tak terbilang.
                                 Entah apa yang harus ku perbuat, Sayang...

Tak pernah behenti memikirkanmu, dalam kerjap berat mataku. Sedikit kata cinta yang ku desahkan di doa-doa yang kupanjatkan sekarang. Riuh rendah semua orang berlari di sekitarku seolah-olah mereka sedang dikejar sesuatu. Samar-samar ku melihat wajah-wajah mereka, tapi tak ada yang ku kenal. Ah! Kepalaku sakit, Sayang...

Rasanya berat sekali menolehkan kepalaku. Basah. Semua berputar-putar menghilangkan pandangan. Tapi kerinduan ini masih membengkak, baru sampai tenggorokan kata maaf ini merangkak. Namun badan ini lemah. Pikiranku masih lelah. Tapi dimana kamu, Sayang?

Sesaat orang-orang berpakaian putih itu berwajah cemas. Mereka turun dari kendaraan yang bersirine sangat keras. Mereka berlari. Sesekali mereka menoleh kearahku. Siapakah mereka, Sayang?


Dari sela cairan merah yang jatuh melumuri sedikit keningku, menutupi pandanganku, aku melihat sebuah tulisan besar, UGD. Aku rindu kamu, Sayang...

Tuhan, masih ada satu janji yang ku letakkan. Janji di saku jaketku. Sebuah cincin emas bermata berlian. Untuk gadis brilian, yang sedang menungguku disebuah rumah dengan halaman teduh.
Tuhan... Sampaikan cintaku padanya. Terutama maafku, yang selalu meninggalkan realisasi janji di setiap janji yang ku buat. Seandainya aku masih diberi waktu, aku akan bersujud mencium keningnya yang penuh kesabaran kepadaku.

Rabu, 12 Desember 2012

Tentang hujan

Menatap langit sambil berdoa dan berharap dia tidak datang saat ini. Harap-harap cemas mengenai masalah yang akan muncul bila dia datang. Perempuan itu menutup matanya kuat-kuat sambil berkomat-kamit mengucap doa semoga dia tidak datang. Setidaknya untuk sekarang. Atau segalanya yang dia rencanakan akan berantakan. Dengan gaun indah dan riasan tipis yang membuatnya terlihat berbeda hari ini, menanti janji dengan seorang kekasih. Menikmati sedikit makanan hasil masakan yang dia pelajari selama sebulan penuh hanya untuk kedatangan kekasih itu. Pertemuan yang mungkin saja akan menentukan masa depannya. Tapi, perempuan itu tidak berharap dan tidak menyangka bila ada tamu tak diundang tersebut akan datang. Sebuah pertanda yang ditunjukkan Tuhan kepadanya membuat ia meminta Sang Pemilik untuk menjaga itu. Setidaknya tidak untuk kali ini, di waktu ini. Maka ketika dia datang, hancurlah harapannya untuk dapat bersantap di taman romantis yang telah ia susun dekorasinya.

*********************************************************************************************************

Tidak juga anak ini. Dengan baju dekilnya, dia masih di lapangan sepak bola. Melihat anak-anak lainnya berlari bersama orang tuanya. Bazar yang diadakan oleh kelurahan ini cukup menggiurkannya untuk membawa sekardus barang dagangannya. Riuh orang-orang yang lewat dan tak ada satupun yang melihat badan kurusnya dengan sebuah kardus dagangannya yang belum satupun terjual. Anak itu hanya ingin sedikit uang tambahan untuk membeli buku tulis. Buku yang ia gunakan sejak tahun ajaran yang lalu sudah hampir habis.Ada yang sangat disukainya, anak itu sering bermain dan tertawa lepas dengannya. Akhir-akhir ini dia jarang datang. Apa mungkin dia lupa pada anak ini? Atau dia memiliki teman lain? Namun untuk hari ini, anak itu tidak ingin dia datang. Sangat tidak ingin. Anak itu tidak ingin dia datang. Bila dia datang, dia harus berlari kemana? Anak itu tak ingin dia datang dan melihatnya dalam keadaan seperti ini. Ini bukan waktu yang tepat untuk bermain, kata anak tersebut menatap ke atas dengan polosnya. Tapi takdir tetaplah tak dapat dilawan. Dia datang. Anak itu kemudian segera berdiri sambil membawa kardus dagangannya yang belum laku satupun. Dia datang, dan anak kecil itu tak tahu harus lari kemana lagi. Dia sedang tidak ingin bermain.

**********************************************************************************************************

Peluhnya yang sudah membanjiri badannya yang legam oleh matahari seusai menanam bibit. Mata pencahariannya. Pendapatan baginya dan penghidupan bagi keluarganya. Pria itu masih menaruh harapan semoga dia datang. Datang membawa kegembiraan. Membawa kabar baik bahwa dia akan membantu ladangnya untuk berhasil panen dan memberi kesenangan padanya dan keluarganya yang sudah lama dalam keadaan kekurangan. Dia harus datang. Sudah berbulan-bulan dia tidak datang. Kali ini dia harus datang. Bila tidak, semakin panjang penantiannya dalam kelaparan di kala malam. Dan akhirnya ketika dia datang, rumputpun ikut bertasbih dan bertahmid dalam kesyukuran yang besar.

***********************************************************************************************************

Tersesatnya keluarga musafir itu di padang pasir yang begitu luas membuat mereka kehabisan perbekalan. Oase yang mereka lihat dari jarak jauh ternyata hanya fata,organa belaka hasil imaji pikiran mereka yang telah diseret dehidrasi yang sangat. Bayi dalam susuan ibunya pun ikut menangis, padahal dia masih bisa menyusu pada ibunya. Mungkin perasaan ibunya tersampaikan bahwa mereka dalam kesulitan. Dua anak mereka yang telah remaja dan berbadan besar juga tak kalah letihnya menuntun unta yang telah kehabisan cadangan di punuknya. Hanya ayah mereka yang menguatkan iman dan berusaha terlihat baik-baik saja agar bisa meyakinkan keluarganya bahwa ia masih jaya memimpin keluarga. Namun tak dipungkiri, dalam hatinya meminta Yang Maha Kasih membiarkan dia datang. Sekali saja. Sebentar saja. Untuk keberlangsungan hidup keluarganya. Untuk sampai di kota selanjutnya. Berharap dia datang. Dan ketika dia datang, sejuta syukur terucap disertai tangis bahagia karena kehidupan mereka berhasil di perpanjang. Dia datang. YAng paling diharapkan.
Tuhan, terimakasih telah menghadirkan dia. Hujan yang sejuk...

***********************************************************************************************************

"Dan lihatlah sayang, hujan turun membasahi seolah ku berair mata..." Firasat -Rectoverso-

Minggu, 09 Desember 2012

Biarkan

Aku menangkupkan kedua tanganku. Mengangkat wajahku dan menatap langit-langit kamar ini. Pipiku masih basah karena panjatan doa-doa dan lantunan kisahku yang ku ceritakan pada-Nya. Semua maaf yang kau ucapkan malam ini sudah cukup untuk membuatmu ku maafkan. Apa lagi yang dapat kulakukan padamu? Kau sudah menjadi rutinitas dalam kehidupanku, dalam pikiranku, dan dalam hatiku. Tapi entah mengapa, aku tidak dapat mencerna satupun kata "bersama" untuk kita malam ini. Mungkinkah aku terlalu marah? Atau kau sudah terlalu lelah? Atau yang lebih mungkin, kita telah bosan? Mungkin cinta ini telah berbeda.

Kau mungkin sedang terlelap dengan mimpi indahmu. Semoga. Ya, semoga. Ketika kau bertanya, siapa yang aku cintai selain kau. Satu jawaban pasti tanpa ragu, kau. Ya, kau! Tapi malam ini aku benar-benar tidak bisa lagi menjamah rindu yang saling bertaut seperti dulu. Tidak ada yang salah dengan malam ini. Hm.. Maksudku, tidak ada yang berubah malam ini. Hanya janji yang hampir saja tidak terpenuhi. Hati yang hampir saja dikecewakan lagi. Semua biasa.

Aku pernah melemparkan kata-kata tajam dan perlakuan buruk padamu, hingga kau lebih memilih diam dan tenggelam dalam duniamu tanpaku. Kau pun pernah melewatkan satu-dua janji yang kita sepakati. Hingga aku terjatuh dalam pikiran-pikiran buruk dan sakit hati yang sangat. Semua biasa. Biasa dalam kehidupan manusia.

Tapi malam ini berbeda. Entah mengapa.

Aku duduk di beranda rumahku menantikan kedatangan orang yang paling ku sayang. Seseorang yang benar-benar aku rindukan. Seminggu yang berat menahan segala cerita yang penat, untuk sekali saja tercurahkan kepada seseorang yang paling aku nantikan. Ya, aku menunggumu. Dengan sedikit make up dan dress yang membuatku merasa cantik, aku menatap senja yang lama-kelamaan turun ke dasar danau dan di gantikan rembulan. Berawal dari senyum yang melekat, debar jantung yang hebat, aku menunggumu di sambil menatap ke arah barat.

Dua jam berlalu dari pukul enam sore. Beberapa jam dari janji yang kita sepakati. Riasan yang sedikit luntur, senyum yang mulai menciut, debar jantung yang melambat, dan rindu yang mulai beku. Ini hal biasa. Aku terbiasa mengganggu akhir minggumu dengan sejuta keluhan yang menggunung. Mau bagaimana lagi, kita hanya dapat bertemu pada hari itu. Bila aku ingin mengeluhkan sesuatu, kau meluangkan waktu lewat ponsel biarpun sekedar mendengarku menangis tanpa alasan. Tapi kadang kau lupa satu hal, rindu yang harus diganti yang baru. Jangan dibiarkan menjadi basi dan menyebabkan penyakit.

Pukul 9 malam, deru knalpot mobil sedan terdengar dari luar pintu pagar. Tak lama ponselku berbunyi dan nampak namamu di layar. Aku tahu, itu kamu. Kau datang dengan sedikit kusut. Mungkin pekerjaanmu memang benar-benar merenggut kesenanganmu, meskipun ini akhir pekan. Aku berlari dan membukakan pintu gerbang. Aku mencoba untuk tersenyum senang, kau pun berusaha membalas senyumku dengan tulus meskipun ku rasakan senyum kita berdua itu palsu.

Kita berdua masuk ke ruangan dimana tersiapkan sebuah meja dan dua buah kursi dengan makanan telah dingin tersaji diatasnya. Kita berdua terduduk diatas kursi itu. Sunyi senyap yang merayap. Seribu maaf menggunung dihatimu. Begitu pula dihatiku. Ingin rasanya aku memukul dan membanting meja ini. Bukan atas salahmu, tapi ini juga salahku. Kita terdiam untuk sepuluh menit pertama. Beberapa kali kau menguapkan pandangan lelah. Terkantuk sedikit beberapa detik kemudian tersadar kembali, membuka mata dan memandangku dengan senyummu, mencoba menyembunyikan beratnya hari. Aku tersenyum, mencoba tulus. Tapi aku tahu, itu tadi semua palsu.

Kau mencoba berbicara, aku hanya tertunduk kemudian memalingkan pandangan. Kemudian kau membatalkan keinginanmu. Aku bangun, mataku nanar dan merah menahan air yang siap membanjiri malam ini. Kau meminta maaf. Berkali-kali meminta maaf. Aku memelukmu erat. Mencium bahumu yang bau keringat. Beratnya dunia yang kau panggul hari ini begitu terasa dari aromanya. Kau menautkan kedua tanganmu melingkupi tubuhku dan bertemu dibalik punggungku.

Tidak, sayang... Akulah yang bersalah. Aku tidak pernah mengerti begitu keras duniamu, dengan berbagai kemanjaan yang sulit sekali ku kendalikan dan emosi yang seringkali menjadikanmu sebagai pelampiasan. Aku, akulah yang tak pantas untukmu. Akhirnya malam ini kita habiskan dengan pelukan yang begitu lama. Pelukan yang melegakan nafasmu yang sekali saja minta ku mengerti. Dan kita saling melepas. Aku siap melepasmu. Mungkin ini yang terbaik untuk kita, biarpun kita lalui hari esok yang berbeda. Kita mungkin saling menyakiti, tapi kita saling mencintai.