Selasa, 24 Mei 2016

Surat untuk Yin XI

Hello, Yin...

Sudah tidak ada kabar lagi sekarang. Di mana kamu?

Yin, pernah berjanji sama orang? Bagaimana kalau janji kamu itu malah menyakiti diri sendiri. Itu namanya risiko, bukan? Lalu, bagaimana kamu bertahan? Biasanya kamu punya logika untuk itu.

Yin...

Jumat, 20 Mei 2016

Surat Untuk Yin X

Hello, Yin... Apa kabarnya kamu? Lama tidak ada kabar.

Yin, aku punya temen baru di kantor. Namanya Cok Gede Reza Nugraha Putra. Panjang ya namanya? Pasti dia lelah waktu menghitamkan lembar jawaban bagian biodata pas UAN dulu. Hihihiii

Dia orangnya lucu tau, Yin. Awalnya dia pendiam, lama-lama keluar aslinya. Suaranya kalem dan pelan. Sampe aku malu ini yang laki aku apa dia...  -__-"

Biarpun begitu, kalo ngomong suka nusuk biar dikata becanda juga. Masaaaa bosnya sendiri, Pak Adam Maulana, pas bilang, "Cok, kok lu bisa sih baca tulisan itu. Gila, mata lu tajem amat. Gw aja ga bisa."
Dan kamu tau dia jawab apa? "Udah tua sih." dengan muka datar, suara pelan dan berlalu begitu saja sambil membereskan kertas. Pak Adam itu masih muda, Yiiiin! Masih muda! Hahahaaa

Melihat mereka berdua itu seru, Yin! Mereka becanda melulu. Kebanyakan sih becandain Si Reza. Si Reza itu tau-tau makan jeruk atau jajanan yang aku bawa terus dia bagi-bagiin ke orang-orang. Emangnya makanannya siapa... -_-"
So far, he is a nice guy. Satu lagi, dia orangnya sabaaaaaarrrr banget. Dapat pressure  dari mana-mana tapi tetap dihadapi dengan dingin. Muka dingin. Tangan dingin. Ekspresi dingin. Hati dingin. #eeeaaaa

Taaaaapiiiiiiiii, kalo badmood-nya udah muncul, dia ngeselin banget. Rasanya pengen aku jorokin ke rel kereta deh, Yin. Masaaaa ada aku, dia pake headset kayak ga ada orang di sebelahnya. Dieeeeem aja. (Gataunya diem-diem terus bau kentut)

Anyway, how was your day, Yin? Good? I hope so...

Minggu, 15 Mei 2016

Surat untuk Yin IX

Yin, terimakasih untuk tetap mengikuti.

Yin, ada yang pernah bertanya padaku, "mengapa kamu suka mendaki gunung? Kepuasan apa yang didapat?"
Aku menjawab, bukan mengenai meraih puncaknya. Melainkan mengenai perjalanannya. Apapun bisa terjadi dalam perjalanannya. Susah, senang, sedih, puas maupun kecewa.

Sebenarnya, itu tidak sepenuhnya benar, Yin. Itu hanya sebagian kecil dari alasan yang benar. Sebenarnya adalah ke gunung adalah pelarianku. Meskipun sesungguhnya di sana aku tidak benar-benar berlari. Malah sering berhenti. Heheheee

Aku tidak akan berhenti berlari. Aku bahkan tidak tahu kapan akan berhenti berlari. Aku hanya ingin memastikan, aku berhenti berlari karena alasan yang tepat.

Semoga selanjutnya, gunung bukanlah tempat untuk pelarian, tapi tempat untuk menambah kebahagiaan. Semoga...

Ohiya, Yin. Sekali lagi terimakasih tetap membaca. ;)

Sabtu, 14 Mei 2016

Surat untuk Yin VIII

Hello, Yin. Long time no see. Apa kabarnya kamu? Sudah lama sekali tidak ada kabar.

Yin, aku ada cerita nih. Dibaca yak.

"Di suatu kota yang perniagaannya baik, berbatasan langsung dengan desa yang hasil buminya melimpah dan berkualitas tinggi. Penduduk kedua daerah ini tidak semuanya bahagia. Mereka saling bersaing untuk membuat daerahnya lebih tinggi citranya daripada yang lain. Di sana hiduplah seorang badut lucu. Dia bisa melihat kebahagiaan ditengah kesulitan dan bisa membuat tawa ditengah kesedihan dan kemarahan. Dia sering dipanggil oleh warga dua daerah itu untuk menghibur mereka atau sanak saudara mereka yang sedang dalam kesedihan. Dengan kemampuannya, kesedihan jenis apapun dapat diubah menjadi senyum dan keadaan menjadi lebih baik dan lebih positif.

Suatu ketika, sepulangnya dari kota di tengah malam, setelah menciptakan lawakan dan tawa segar ditengah kesedihan mendalam dari seorang anak saudagar kaya, Sang Badut mendapatkan penghasilan yang cukup banyak. Dia berjalan sendiri menuju rumahnya. Entah kenapa dia tidak mau diantar oleh pengawal Sang Saudagar. Dia hanya sedang ingin sendiri, namun tanpa ingin menunjukkan suasana hatinya, Sang Badut bilang bahwa dia ingin pergi ke suatu tempat untuk melawak lagi.

Ditengah malam berjalan sendiri, Sang Badut melihat ke atas. Langitnya begitu indah. Bintang-bintangnya tidak terlalu banyak dan bulan benderang hampir bundar sempurna. Sang Badut menghentikan langkahnya sejenak. Sang Badut tersenyum. Tatapannya syahdu. Lalu dia berjalan beberapa langkah menuju reruntuhan tembok dan duduk bersandar di sana. Dia meluruskan kaki dan menghela nafas panjang kemudian menundukkan kepalanya. Tidak, dia tidak lelah. Tapi entah apa yang dia rasakan.

Perlahan, pipinya hangat dialiri air mata. Perlahan, dia menangis dan perlahan air matanya semakin deras.

Mungkin ini sebabnya ia ingin sendiri. Bahkan dia sendiri tak tahu bahwa dia akan menangis. Siapa yang tidak tertawa melihat tingkahnya? Badut paling tersohor di dua daerah. Tidak pernah melengkungkan bibirnya secara terbalik ke bawah, tidak pernah melepas senyum-tawa, tidak pernah ada duka di sorot matanya, akhirnya menangis sendirian setelah membentuk gelak tawa dari kesedihan orang lain.

Tangisnya semakin deras. Badannya semakin lemas. Riasannya luntur. Terlihatlah wajah aslinya. Matanya sayu, bibir tipisnya segaris, dan pipinya mengendur. Berjuta kesedihan dia tumpahkan malam itu. Tidak ada yang melihat dan tidak ada yang peduli. Namun dia tidak merasa menyakiti diri sendiri. Dia hanya ingin sendiri. Dia tetap manusia yang bisa menangis, kecewa dan tersakiti. Meskipun tidak ada yang ambil pusing.

Setelah puas menangis sendiri, Sang Badut merias wajahnya lagi dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sang Badut siap bertopeng lagi. Sang Badut masih mencari, mencari orang yang dapat melihat wajah aslinya... Sampai kapanpun, dia takkan memperlihatkan wajah aslinya sampai ada yang percaya bahwa dia juga manusia."

Gimana, Yin? Jangan lupa komentarnya ya. Hubungi segera setelah baca ini yaaa... ;)