Sabtu, 14 November 2015

Tidurlah tidur...

Tidurlah tidur...
Ketika malam telah larut
Matahari turun ke laut
Malam dingin terasa menghangat
Dan siang terik terasa mengigil hebat

Kau berhasil memutar rasa
Selamat kepadamu, Manusia seperti dewa.

Sebentar lagi kau akan rasa karma,
Bila kau hanya ingin membolak-balik asa.

Namun aku menikmati sakit ini,
Entah mantra apa yang kau beri.

Aku masih memujamu
Dengan luka perih pilu
Bersamaan itu,
Aku membencimu dengan segala rasa rindu.

Tidurlah tidur...
Malam ini aku beri kau waktu.
Untuk pergi sebagai perampok perhatianku.
Atau tinggal sebagai penghuni tetap masa kini dan masa depanku.

Tidurlah tidur...
Kamu yang sedang berusaha berlalu,
Atau ingin menata hati dulu...

Sabtu, 07 November 2015

Surat Untuk Yin

Dear, Yin. Nani wo shiteimasuka?

"Good morning (with kissbye emoticon)" from you was my daily routine. Dan sekarang itu sedikit demi sedikit menghilang hari demi hari. Kenapa, Yin?

Whatever, yang penting kamu bahagia. Ini bukan gombalan, Yin. Aku tahu kamu sudah bahagia, tapi aku juga tahu ada beberapa hal yang membuat kamu masih kecewa atau marah. Tolong jangan, Yin. Aku sedih untuk tahu hal itu.

Kamu baik. Bahkan untuk semua orang. Aku mau bilang, "jadilah orang licik sesekali, Yin" supaya kamu tidak banyak dimanfaatkan orang. Kamu memang pintar dan cerdas. Tapi kamu naif, Yin. Pikiran positif itu bagus, tapi lebih bagus lagi disertai kewaspadaan. Kamu boleh mengalah, tapi kadang kamu musti egois, Yin.

Yin, maaf sekali lagi maaf. Aku pernah berjanji untuk tidak pergi. Tapi kamu tahu persis kenapa dan cobalah mengoreksi diri. Kamu tidak perlu penjelasan tentang hal itu, Yin. Intuisi kamu cukup kuat untuk menerkanya. Bukan. Kamu bukan tidak tahu, tapi kamu hanya tidak yakin bahwa intuisi kamu benar tentang hal ini. Dan aku yakin, intuisi kamu benar.

I am gonna miss you, Yin. Semoga kamu bahagia... Jangan boros-boros lagi ya. Jangan lupa sholat wajibnya.

Jangan blokir atau menghilang dari media sosial ya, Yin. Karena melalui itu aku masih bisa melihat kamu.

Aku tidak benar-benar menghilang, Yin. Aku masih ada di sekitar kamu, hanya saja kamu tidak akan menyadarinya. Dan kekhawatiranku akan jauh berkurang karena aku akan selalu menyentuh kamu, melalui doa. Percayalah, Yin... Aku tidak benar-benar pergi. Kamu tahu di mana bisa menemukanku. Kalau kamu kehabisan ide untuk menemukanku atau bahkan tidak mencariku, itu tidak apa-apa. Kadang tidak tahu apa-apa itu lebih baik daripada tahu apapun dan kamu tidak siap menghadapinya. Rasanya sama seperti penjelasan yang aku berikan sebelumnya. Masih ingat, Yin? "Kadang tidak ada sama sekali lebih baik daripada setengah-setengah".

Aku tidak benar-benar pergi, Yin. Aku akan sering menulis surat untukmu. Tentu saja surat yg tidak pernah aku kirimkan langsung ke tempatmu. Tapi surat yang melayang di udara. Kalau gelombang dan frekuensi kita sama, kamu akan tahu di mana akan menemukannya.

Yin, berbahagialah. Aku bahagia melihat kamu bahagia...

Salam hangat,

Yang

Sabtu, 31 Oktober 2015

Kafe Sunyi I: belum patah!

Ini adalah Kafe Sunyi. Tak jarang orang2 menyebutnya kafe patahati. Kafe ini menyediakan kopi panas sepanas masalah dan sepahit kenyataan. Hanya orang yang benar2 sakit pikiran dan hatinya yang tak dapat merasakan seberapa pahit kopi di kafe ini. Di kafe ini, dilarang menatap tajam, memperhatikan, menertawakan atau menghiraukan pengunjungnya. Meja-meja di kafe ini hanya disediakan sebuah kursi sebagai temannya. Dengan sekotak tissue dan sebuah tempat sampah kecil dibawahnya. Sebuah headphone yg terpasang menempel dengan kabel yg tersalurkan entah kemana. Musik di headphone itu bergaya klasik dan hanya berupa instrumen tanpa vokal. Semakin menyayat dan mati. Tika, ditunjukkan oleh seorang temannya tentang kesohoran kafe sunyi yg membatasi jumlah pengunjungnya agar tidak berubah menjadi kafe hingar bingar.
Tika baru saja mendapati berita anaknya tertangkap tangan membawa obat laknat sedangkan suaminya sudah tidak tau kemana rimbanya. Semua pedih dan pahit yang dia kecap akan dia bandingkan dengan kopi termasyur dari kafe ini. Tika memasuki sebuah kafe bertuliskan Kafe Sunyi. Warna kafenya cokelat tua dengan lampu redup yg mencahayakan sedikit ruangannya. Kemudian Tika membaca sebuah papan petunjuk yg bertanda panah " <-- Ladies" dan "gentlement -->".
Entah kenapa pemisahan ruangan ini membuat hati Tika sedikit tenang. Setidaknya, dia tidak perlu menangis ditengah lawan jenis lainnya yg tengah patahati. Yang akan menganggap remeh sebuah tangisan adalah sebuah kecengengan.
Kafe ini adalah kafe sunyi. Tidak boleh menatap tajam, memperhatikan, menertawakan atau menghiraukan pengunjungnya. Sunyi senyap kecuali beberapa isakan tangis yg tersisa. Wanita2 bermata nanar menatap cangkir kopi atau sekedar melayangkan pandangannya kelangit2 kafe. Selain itu, kafe ini melarang raungan tangisan yang akan mengubah kafe ini menjadi horor.
Tika duduk disebuah meja dan memesan kopi fenomenal itu. Tika masih menundukkan wajahnya dan menangis. Tak berapa lama, pesanannya datang. Kopi itu panas dan masih menggoyangkan uap. Tika mencoba meniup asapnya dan menyeruput kopi itu. Lalu Tika segera menyemburkan kopi itu kuat2. Tak tahan Tika dengan rasa dan panasnya. Tak berapa lama seorang pelayan kafe menaruh sebuah karton kecil dimeja Tika. Pelayan itu tersenyum lalu pergi. Karton kecil itu bertuliskan "SELAMAT! Hati anda belum patah dan belum mati". Tika kemudian mengembangkan senyum dan membayar kopi tersebut. Tika keluar dari kafe itu dengan perasaan tenang. Tika merasa beruntung Tuhan masih sangat menyayanginya. Memberikan sejumput kebahagiaan Lain dan segerombol kesabaran beserta segudang kekuatan. Dia lebih beruntung dari wanita2 didalam kafe sunyi itu. Yang begitu menikmati kopi pahit dan pastinya kenyataan hidup mereka jauh lebih pahit dari kopi itu.
Dengan penuh rasa syukur, Tika keluar dari kafe itu.
Meninggalkan kopi terpahit dan kafe tersenyap yg pernah ia sesap.
Karena ini adalah Kafe Sunyi.

Minggu, 14 Juni 2015

Alloh, apa itu takdir? Yang bagaimana takdir itu? Apakah takdir bisa ditawar?

Alloh, apakah adanya pelangi karena hujan terlebih dahulu?

Alloh, apakah rasa sakit itu bagian dari takdir?

Alloh, mengapa manusia tidak punya kemampuan menghapus ingatan? Mengapa takdirnya begitu?

Alloh-ku. Segala hak prerogatif-Mu sebegitu hebatnya hingga tiada terlawan dan tersembunyi.

Kamis, 14 Mei 2015

Senyuman manis bergigi rapi

Siapapun dia, dia hanya orang yang manis dan masih terlihat manja. Dia hanya seorang yang lancar membacakan rumus-rumus dan pembahasannya. Dia hanya manusia biasa. Biasa.

Aku mendengar sekilas kehebatannya. Bahkan kekurangannya. Dia hanya manusia biasa. Aku rasa, biasa saja. Biarpun dia lebih hebat dariku.

Seiring waktu berjalan, aku tidak bilang ini cinta. Bukan. Eh, belum. Mungkin. Sesekali mataku menangkap senyumnya yang manis. Tapi tetap manja. Awalnya biasa saja sampai aku beberapa kali menangkap senyumnya yang tulus dan terlepas begitu saja. Dia begitu cerdas, begitu berprestasi. Pula masih begitu biasa saja untuk dikagumi.

Entah bagaimana tetiba dia masuk ke dalam mimpi. Mimpi acak yang bahkan ketika aku membuka mata, aku perlu bertanya-tanya "kenapa harus dia? Kenapa mimpinya begitu?". Sebuah mimpi di mana aku hanya menggoda sensitifitasnya dengan mengatakan bahwa dia tidak dapat jatah makanan pengajar hari ini, kemudian dia mengejarku yang sedang membawa beberapa nasi kotak. Cukup. Hanya itu yg bisa aku ingat dari mimpiku semalam.

Hari ini, aku tidak berani menangkap senyumnya bahkan lewat cermin sekalipun. Kaku. Rasanya tidak mau lagi melihat senyum itu. Bukan karena senyum itu telah kehilangan rasa "manis"nya, hanya saja aku yang kehilangan kendali bila aku melihatnya lagi. Semua masih biasa saja. Masih bercanda. Namun satu hal yang berbeda, tiap dia mulai mengembangkan bibirnya hingga barisan giginya yang rapi mulai terlihat, aku tertawa sambil memalingkan muka. Masalahnya kami sedang tidak berdua. Kami beramai-ramai dengan teman lainnya. Aku tidak mau kalau-kalau mukaku memerah kemudian jadi bahan tertawaan.

Beberapa waktu, kami lalui berdua karena pengajar lainnya sedang ada urusan. Aku kaku. Kaku karena takut dan ngeri. Ngeri terhadap debar perasaanku sendiri. Untung saja, ponsel pintarnya menolong keadaan kami. Dia dibuat asik oleh ponsel pintarnya. Kami hanya bertukar beberapa tema obrolan sesekali. Sisanya, kami lalui waktu berdua dengan ponsel kami. Dia dengan aktifitas di ponselnya, dan aku bersama ponselku dengan kegiatan yang mengada-ada supaya terlihat asik dan sibuk sendiri seperti dia.

Tidak lama para pengajar lain datang, kemudian suasana mencair. Hatiku mencair. Menyenangkan sekali rasanya tertolong supaya detak jantung ini tidak secepat tadi. Aku hanya takut dia tiba-tiba bisa mendengar detak cepat jantungku karena aku merasa sangat terganggu oleh kecepatannya yang bertambah ketika dia tersenyum.

Dia kelelahan. Dia merebahkan badannya kemudian tertidur. Sambil berbincang dengan pengajar-pengajar lain, aku sesekali mencuri pandang kepada wajah lugunya. Aku pikir, aku akan berani memandang wajahnya karena dia tidak akan tersenyum sambil tidur. Hhmmm... Mungkin. Tapi nyatanya? Aku juga tidak sanggup berlama-lama menatap wajahnya yang tertidur sekalipun. Tapi aku juga tidak bisa menahan mataku yang ingin mencuri gambarnya untuk disimpan didalam otak, dua menit sekali. Seperti kecanduan.

Semua kebiasa-biasaan tadi benar-benar menjadi terbiasa. Sayangnya, "biasa" itu bukan sesuatu yang biasa. "Biasa" itu menjadi "biasa berdebar lebih cepat bila tidak sengaja bertemu pandang dan dia sedang tersenyum" atau menjadi "biasa kaku tanpa obrolan bila tidak sengaja hanya berdua" bahkan menjadi "biasa mencuri pandang ke arahnya". Menyebalkan!

Masalahnya bukan hanya sampai di situ. Beberapa waktu pernah aku habiskan untuk mencari tahu siapa dia. Oh, Tuhan! Bukan hanya aku saja yang berada dibalik kelabu atau asap yang mengintai kehebatannya. Banyak. Banyak. Selain itu, aku tau kebersamaan ini hanya sementara. Sebentar lagi akan selesai. Semoga saja tidak bertemu lagi. Rasanya seperti berkurang sensasinya bila orang yang kita idolakan tahu bahwa dia sedang diidolakan. Menjadi penggemar rahasia itu sederhana. Sekaligus rumit. Ingin selalu memantaunya tapi tidak ingin diketahui.

Kepada kamu yang memiliki senyum manis dengan gigi yang rapi, tetaplah tersenyum tanpa menoleh ke arahku. Agar aku bisa mengatur tingkah lakuku saat melihatnya.

Kepada kamu yang berwajah lugu saat tertidur kelelahan setelah mengajar, jangan cepat-cepat bangun. Tidurlah yang nyenyak agar kamu tidak sadar sedang dicuri pandang olehku.

Kepada kamu yang punya segudang penggemar, jangan pernah tahu siapa aku, sebagai salah satu penggemar rahasia terdekatmu.