Kamis, 04 Desember 2014

Menghadap langit

Setiap kali aku merasa gagal dan kecewa, aku selalu menolehkan wajahku ke langit. Selain agar airmata tidak dengan mudahnya jatuh, aku selalu meyakinkan diri bahwa dibelahan bumi yang lain, ada kesempatan untukku. Ada kehidupan penuh kebahagian untukku, dan ada yang berdoa atas namaku...

Jumat, 14 November 2014

Aku pamit dalam hati

Hingga matahari tenggelam, kita masih bertanya, "mengapa kita bertemu?". Tautan jemari sesekali merasa gerah dan licin karena begitu erat mengikat. Tidak. Tidak. Aku tidak akan pergi. Longgarkanlah sejenak.

Tapi nyatanya, ketika kau mulai membuka jemari, aku malah enggan memberi ruang pada udara disela jari kita.

Aku masih melayangkan pertanyaan pada tempat ini, "Mengapa...?" tapi aku tidak dapat melanjutkannya. Karena aku terlalu banyak menyelipkan "mengapa?" dalam penyesalan. Aku lebih senang memandangmu yang siluetnya dibentuk sempurna oleh senja yang turun.

Tapi kau lebih sedih berpisah dengan mentari, yang bisa kau temui lagi esok pagi.

Aku masih bertanya, "mengapa?" dengan berbagai rangkaian ragam kata yang menyertainya. Tapi yang hanya mampu aku tuturkan hanya "mengapa?".

Dibelaian udara yang menyapu lembah ini, aku pamit dalam hati.

Berharap kau lebih baik menjaga diri.
Lebih kuat berdiri.
Terbiasa menyendiri.
Atau lebih dapat mandiri.

Aku pamit dalam hati.
Entah karna tak kuasa,
Atau kau terlalu asik oleh leluasa...

Tentang kita (?)

Tentang kita

Kita adalah kata yang diukir diatas pasir,
  Yang hilang disapu angin.

Kita adalah cahaya lampu yang mencoba pijar,
       Kemudian diusir mentari yang lebih benderang.
Bahkan kita, bisa tergantikan oleh cahaya-cahaya lain.


Kita adalah mahkota bunga yang merekah,
  Hingga batas waktunya.

Kita adalah lembaran kertas yang tercoret-moret,

   Kemudian menjadi bekas.



Kita adalah bara yang tercelup dalam salju.

Kita adalah semu...

Senin, 10 November 2014

Mbak Diah-ku

Kakiku berjalan terpincang ketika memasuki rumah. Aku menyeret tasku hingga menimbulkan bunyi yang tidak menyenangkan. Aku membuka pintu yang belum terkunci. Mbak Diah, kakak perempuanku, pasti dia masih menungguku pulang dari kantor. Aku tahu dia pasti khawatir. Masalahnya, sudah nyaris tengah malam dan aku baru saja menginjakkan kaki ke rumah.

Seorang wanita dengan baju daster sederhana keluar dari kamarnya sambil mengikat rambutnya. Dia terdiam di depan pintu kamarnya sambil melihat aku yang lunglai menjatuhkan diri ke sofa.
"Kok malam banget pulangnya? Itu. Itu kenapa celana kamu sobek begitu?" kata Mbak Diah menunjuk ke celanaku yang robek dibagian lutut. Belum aku jawab pertanyaannya, dia datang mendekat dan menyibak tirai dibelakang sofa tempatku duduk.
"Lho? Motormu kemana? Kamu pulang naik apa?" raut wajahnya makin menyiratkan kecemasan.
"Besok saja ceritanya ya, Mbak. Aku capek." kemudian aku mengumpulkan tenagaku untuk berdiri menuju kamar mandi dan bersiap untuk beristirahat.

*************

Aku bersiap ke kantor menggunakan rok pendek. Aku tidak suka sebenarnya. Tapi ini terpaksa karena lututku diperban tebal. Mbak Diah mendekatiku dan duduk di tempat tidurku yang letaknya tepat disebelah meja rias dan lemari pakaianku.
"Kamu kenapa tho, dek?"
"Semalam kan aku lembur, Mbak. Aku agak ngantuk. Capek deh rasanya. Tadinya mau pulang naik taksi saja dan motornya ku tinggal di kantor. Tapi akhir bulan. Sayang uangnya. Jadi kupaksakan ngelaju naik motor. Eeeh... Karena ngantuk, aku malah nabrak pagar kantor. Untungnya nggak parah pagarnya. Jadi aku ndak usah ganti. Tapi akunya jatuh dekat semak duri." Aku menjelaskan kejadian semalam pada Mbak Diah.
"Lha terus? Kamu pulang piye?"
Aku kemudian terdiam. Aku berhenti menyapukan bedak dipipiku. Mbak Diah menyadarkan lamunanku dengan mendekatkan wajahnya padaku sehinhga membuatku kaget.
"Iiih Mbak Diah ki opo tho? Aku kaget." kataku sambil menjauhkan wajah dari Mbak Diah.
"Wong kamunya ditanya malah bengong. Mbak pikir kamu kesambet" kata Mbak Diah yang juga menjauhkan wajahnya dariku dan kembali duduk seperti semula.
"Semalam itu ada teman kantorku yang menolongku, Mbak. Tapi aku ga kenal siapa. Aku cuma tahu dia bekerja disitu. Beda divisi soalnya. Aku diobati, Mbak... Hmmm... Maksudku, aku diantar ke dokter. Aku kan bilang ndak mau. Soalnya uangku cekak. Malu nanti ga bisa bayar. Eh tapi dianya maksa. Aku di gendong, Mbak. Aku sampe malu sama bapak satpamnya. Aku digendong sampai ke motornya. Gak jauh kok dari tempatku jatuh. Wong disitu tinggal kami bertiga yg belum pulang. Aku, dia, sama pak satpam yang lagi jaga. Setelah sampai di motornya, dia nyuruh aku nunggu sebentar. Ternyata dia balik lagi buat ngangkat motorku ke pinggir dan menitipkannya di pos satpam. Abis itu, yaaa gitu. Aku dibawa ke dokter, dia yang bayar. Mungkin dia tahu ini akhir bulan kali yaaa. Dan tahu betul alasan kenapa aku gak mau dibawa kedokter. Hahahaaa" kami tertawa bersamaan dan Mbak Diah mendorong bahuku, "Ah! Kamu itu! Terus? Terus?" kata Mbak Diah antusias.
"Yo wis aku pulang. Dianter dia juga."
"Yasudah. Jangan lupa nanti di kantor temui dia ya. Bawain apa kek. Roti atau makanan buat tanda terimakasih." kata Mbak Diah sambil berdiri meninggalkanku. Sebelum keluar dari kamarku, Mbak Diah berhenti dan membalikkan badan menghadapku.
"Sekarang sakitan mana? Sakitan fisik terluka tapi ada yang peduli? Atau sakitan hati ada yang punya tapi ga peduli?"
Aku cuma diam.

**************

"Kamu kenapa senyum-senyum?" Kata Mbak Diah.
"Tadi aku makan siang bareng, Mbak."
"Sama siapa?" Mbak Diah keheranan.
"Sama Dedi. Yang itu. Yang pernah aku ceritain" kataku sumringah.
"Jiyeeee... Seneng banget" kata Mbak Diah menggodaku.
"Apaan siiih Mbaaak..." kataku sambil membenamkan diri ke bantal. Aku pura-pura tidur agar Mbak Diah pergi meninggalkanku sendiri di kamar. Aku mau menghayalkan Dedi, lagi.

******************

Aku menyeret tasku hingga menimbulkan bunyi yang tidak menyenangkan. Aku membuka pintu yang belum terkunci. Aku terduduk lunglai di sofa seusai pulang dari kantor. Hari ini berat. Berat sekali bagiku. Mbak Diah keluar dari kamarnya sambil membenahi rambutnya yang cantik terurai.
"Lho? Ada apa kamu? Kok kecut gitu?" tanya Mbak Diah keheranan sambil mendekatiku. Aku tidak berani mengangkat wajahku. Aku masih tertunduk lesu. Kemudian Mbak Diah duduk disebelahku. Memandangku sejenak dalam diam. Aku terisak dan segera menyerbu ke badan Mbak Diah hingga dia mendaratkan punggungnya pada sofa dengan mendadak. Aku memeluk Mbak Diah erat. Aku menangis dengan nafas berat. Mbak Diah masih terdiam. Masih belum membalas pelukanku. Air mata hangat mengalir menyentuh bahunya. Perlahan, kedua tangannya melingkar di badanku. Melewati punggungku dan berakhir pada bahuku. Dia menepuknya pelan-pelan. Hingga isakku mereda.
Kemudian aku berhenti memeluknya. Menjauhkan diri darinya. Menghapus sisa-sisa luka hati yang masih mengalir di pipi.
"Mbak Diah dulu pernah bilang sama aku. Kalo kita itu terlalu banyak punya persediaan plester luka. Ada luka disana-sini, ditempel terus. Sampai akhirnya ga sadar kalau kita udah jadi mumi. Dan Mbak Diah menyarankan aku untuk aku menghindari penyebab luka itu kan daripada sibuk menambal luka dengan plester "maaf". Sudah, Mbak... Aku sudah pergi dari sumber luka..." kataku sambil menenangkan diri. Mbak Diah membelai rambutku.
"Mbak Diah juga pernah bilangkan, kalau aku terlalu sering disakiti sampai lupa bagaimana dibahagiakan? Mbak Diah juga dulu mengingatkan aku, suatu hari nanti, aku akan menganggap orang yang hanya ingin berjabat tangan saja adalah cinta? Mbak Diah benar...... Mbak Diah benar.... Dan Dedi.... Dedi....... Hanya ingin berjabat tangan, Mbak....... Bukan menjaga tangan......" kemudian aku terisak dan Mbak Diah memelukku erat.

Malam ini suram. Menyisakan isak yang membuat bahagia tenggelam...

*****************

Ketika malam menjerat,
   Dan sela-sela jari saling terisi merapat.

Aku jelas mengingat,
Genggamanmu yang hangat...

Tapi waktu menjawab cepat,

Kita bukan untuk saling mengikat....

Rabu, 05 November 2014

Rasakan

Kemudian kenyataan pergi.

Membiarkanmu tanpa pilihan.
Karena pilihan-pilihan itu ada tapi kamu pergi.

    Menyisakanmu dikesendirian lagi.



     Rasakanlah mati. Mulai dari dalam hati.

Selasa, 04 November 2014

Ya, kamu!

Kamu...

Ya, kamu! Palsu!

Mungkin bukan hanya satu, kamu mungkin menebar seribu.
Ah kamu!

Masih berani mencoba beradu?

Pergi sebelum ku tombak bambu!

Selasa, 28 Oktober 2014

Tengah malam

Ada sesal yang terselip...

       Ada kecewa yang terasa...
Ada bodoh yang masih tersimpan...

Ada sakit yang menyesakkan...

    Ada rindu yang harus direlakan...
Kamu, yang terlewatkan.

Aku, masih berusaha melewatkan.

Minggu, 14 September 2014

Apa itu kebahagiaan?

Saya terbangun dan di depan mata saya ada sebuah tulisan "The Geography of Bliss" dan "Erwin Weiner". Ohiya, itu adalah sebuah buku. Buku yang saya beli beberapa minggu yang lalu. Saya memejamkan mata kembali. Berharap kenikmatan tidur bisa membuat saya lupa akan tanggungjawab saya. Ah, ternyata tidak. Saya gagal untuk membuat perasaan saya bahagia. Saya gagal untuk melupakan tanggungjawab, saya gagal untuk kembali tidur. Saya membuka mata dan memiringkan badan saya ke kiri sehingga terlihat buku tebal berwarna merah kecoklatan tadi. Saya mengambilnya. Kemudian membacanya sambil tiduran.

Buku "The Geography of Bliss" karya Erwin Weiner adalah buku yang saya beli beberepa minggu yang lalu saat saya merasa sangat penat dan kesepian --ya, kesepian. Anggap saja begitu-- di rumah. Secara tiba-tiba saya ingin pergi keluar rumah dan menuju suatu tempat untuk membeli salah satu aksesoris elektronik yang saya punya. Tidak dapat dipungkiri, tempat pertama dan yang paling lama saya kunjungi adalah toko buku. Sebuah toko buku kecil dengan pengunjung -- ya, pengunjung. Karena sebagian mereka hanya ingin datang dan membaca. Tidak membeli buku-- lebih sedikit dibanding dengan pegawai-pegawai toko tersebut. Toko buku ini sudah banyak ditinggalkan orang-orang. Selain koleksinya yang tidak lengkap, toko buku ini juga menjual aksesoris atau Stationery lebih dari setengah dari total isi tokonya. Saya berkeliling dari satu rak buku ke rak buku yang lainnya. Mengabsen satu per satu buku yang ada disitu. Mana tahu saya akan membeli salah satu dari mereka. Beberapa buku memberhentikan jari saya dan menyuruhnya untuk membaca sinopsisnya atau mengambilnya untuk dibaca secara detil. Bila saya beruntung, saya akan mendapati buku yang telah dibuka segelnya dan saya bisa membaca sebagian isinya. Saya berjalan lagi menuju rak buku yang lainnya. Saya rasa saya akan membeli buku novel itu, buku novel yang pernah direkomendasikan oleh salah satu teman. Katanya bagus. Tapi entah. Kemudian saya menuju rak buku berputar. Tidak tidak. Bukan rak buku yang bergerak memutar, tapi kita bisa berjalan memutarinya 360 derajat untuk melihat isi rak buku yang lebih tepatnya beberapa papan disusun pada tiang penyangga berbentuk silinder yang besar. Ada sebuah buku misteri dan buku detektif. Baru-baru ini saya memang menyukainya. Sebagai pengurangan rasa sensitif saya terhadap perbandingan drama di televisi dengan kenyataan yang terjadi. Intinya supaya saya lebih suka berfikir hal lain selain perasaan. Saya menemukan buku ini. Buku dengan judul aneh, Geografi??? Buku yang sudah tidak tersegel plastik itu masih cukup bagus untuk dibilang bekas dan tidak menarik untuk dibilang baru karena sudah tanpa segel. Di sampul buku ini tertulis "The Geography of Bliss. Kisah seorang penggerutu yang berkeliling dunia mencari negara paling membahagiakan" Karya Eric Weiner. Katakan pada saya para pecinta buku, atau para pecinta jalan-jalan, pasti kalian akan mengernyitkan dahi ketika melihat judul tersebut. Sedikit takjub dan diluar pikiran biasa. Yah. Biasanya, buku membahas tentang bagaimana cara mencari bahagia. Bukan negara mana. Tak jauh dari judul itu, ada tulisan "New York Times Best Seller". Dengan Tagline yang dipasang, saya rasa sudah cukup alasan saya membeli buku itu. Hm.. Tunggu sebentar. Saya kemudian membaca sebagian komentar mengenai buku tersebut yang tercetak diawal halaman dan disampul paling belakang. Rata-rata buku ini membuat mereka takjub dan berfikir ulang mengenai kebahagiaan. Mereka berpendapat bahwa penulis buku ini adalah seorang pelawak yang filosofis atau filsuf yang humoris. Pada kenyataannya adalah dia seorang koresponden asing untuk National Public Radio. Akhirnya saya membeli buku tanpa segel ini. Karena tinggal satu-satunya dan saya butuh hiburan. Baiklah, saya tidak akan menceritakan lebih lanjut tentang buku ini. Anda bisa membelinya sendiri. :p

Meskipun komentar dalam buku tersebut bilang kalau buku ini memiliki humor, tapi entah mengapa saya kurang mendapatkan sensasinya. Entah memang selera humor saya yang rendah atau memang selera humor yang berbeda yang dimiliki buku ini? Tapi saya tidak begitu mendapatkan sensasi seperti apa yang diceritakan dalam komentar buku ini. Tapi satu hal yang sangat menarik. Di buku ini kan berjanji untuk membicarakan tempat mencari kebahagiaan. Mulai dari Eropa hingga Asia, dijelajahi si penulis. Jujur, saya suka buku ini. Diluar humor yang sepertinya otak saya tidak sampai untuk lelucon-lelucon cerdas. Penulis, Eric, Mendatangi negara Belanda untuk bertemu Prof. Ruut Veenhoven: Bapak Riset Kebahagiaan. Jangan heran, ini serius. Beliau punya Database Kebahagiaan Dunia (World Database Happiness). Saya tidak tahu apa isinya secara persis. Tapi kalau tidak salah tangkap, disana juga terdapat peta negara-negara yang bahagia.

Kita tidak akan membicarakan negara itu. Sekarang saya bertanya, menurut Anda, Apakah kebahagiaan itu? Apa ukurannya yang membuat itu disebut kebahagiaan? Ukuran? Ya, saya hanya ingin mengukur secara eksak. Mungkin saja mendapatkan rumus pasti. Saya bukan Albert Einsten yang juara pintarnya. Tapi saya tidak kalah kepo sama dia yang suka main rumus-rumus. Saya tidak suka matematika. Saya benci angka-angka. Tapi saya orang yang sangat penasaran. Penasaran menyebabkan saya punya bahan bakar untuk mencari tahu. Bukan saya sok pintar. Tapi hanya mencoba merumuskan bagaimana bahagia itu terbentuk. Apakah faktor eksternal dan lingkungan berpengaruh pada kebahagiaan? Bila lingkungan Anda sedang rusuh, hati anda yang tenang juga ikutan rusuh, maka mungkin fungsi matematika untuk kebahagiaan Anda adalah
f(x)= Li - Mo
Dimana x adalah kebahagiaan, Li adalah Faktor Lingkungan, dan Mo adalah Mood --anggap saja begitu.
Mengapa saya meletakkan lingkungan ada di depan? Karena biasanya bilangan yang didepan pasti lebih besar dibanding bilangan pengurangnya. Bila bilangan pengurangnya lebih besar, maka akan menghasilkan angka negatif. Atau jawaban dalam fungsi ini adalah tidak bahagia.

Lalu bagaimana dengan yang kebahagiaannya tidak terpengaruh oleh faktor lingkungan? Ya Rumus fungsi matematikanya tinggal dibalik aja. heheheee
Tapi untuk hasilnya, saya rasa akan berbeda. Karena apabila Mo > Li belum tentu menciptakan kebahagiaan pada Li. Oke begini:
Jika f(x)= Li - Mo, misalkan kita masukan angka Li = 5 dan Mo = 1, maka
f(x) = 5-1
x = 4 --> Hasil positif. (mungkin) Bahagia.
Tapi kalau dibalik fungsinya: f(x)= Mo - Li, misalkan masukkan angka Mo = 5 dan Li = 1,
f(x) = 5-1
x = 4 --> hasilnya positif.
Namun dengan hasil positif itu apakah berarti mood seseorang yang tidak terpengaruh lingungan akan benar mutlak bahagia? Atau karena Mood seseorang yang bahagia, bisa merubah lingkungannya jadi bahagia juga? Bisa jadi. Bisa juga tidak. Wah, kalau yang satu ini pasti harus dibuat penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitannya. Saya udahan deh. Lagi gak mau skripsi-skripsian dulu. hehehee

Baiklah. Seperti yang disebut diawal, ukuran kebahagiaan itu berbeda-beda. Bahkan batasannya untuk orang yang sama juga berbeda. Misalnya, seseorang akan bahagia jika mendapatkan sebuah buku tulis. Tapi bila dia mendapatkan tiga? Pasti lebih bahagia lagi, pikir kita. Bagaimana jika tidak? Jika dia memang benar-benar bahagia bila hanya memiliki satu buku tulis untuk melengkapi raknya yang kecil agar bisa penuh hingga ujung. Jika dia mendapatkan tiga? Maka dia akan memperoleh masalah baru: "Dimana saya akan meletakkan dua buku ini?"

Oke. Kita menemukan masalah lagi. Selain mencari makna sesungguhnya akan kebahagiaan, mencari rumus pastinya,kita juga mendapat masalah bila "kebahagiaan" itu datang dengan jumlah yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Entah lebih kecil atau lebih besar. Berpengaruhkah pada level kebahagiaan? Level kepuasan, mungkin. Tapi apakah kebahagiaan itu hanya berhenti pada kata "puas"? Lalu bagaimana dengan sifat dasar manusia yang tidak pernah merasa puas? Ada yang  bilang, dengan bersyukur, kita akan puas dengan apa yang sudah kita terima. Saya setuju. Tapi tidak membuat saya berhenti mencari yang lebih baik. Kalau hari ini saya bisa mendapat satu buah stroberi hanya dengan berjalan satu menit, niscaya besok saya akan berjalan satu jam untuk mendapatkan buah stroberi yang lebih banyak.

Katanya, kebahagiaan itu asalnya dari diri sendiri. Katanya. Kalau kebahagiaan hadir dari diri sendiri, kenapa bisa terpengaruh oleh lingkungan? Mungkin sebagian Anda akan menjawab, saya tidak terpengaruh oleh lingkungan. Oke. Itu pendapat Anda, saya hargai. Namun hargai saya juga jika tidak begitu yakin. Misalnya, Anda mendapatkan uang sebesar Rp 20 juta. Kemudian terjadi -Naudzubillahiminjalik- masalah dalam lingkungan Anda, kemudian orang-orang akan melirik Anda yang memiliki uang sebanyak itu untuk dapat memberikan mereka bantuan. Tentu Anda --bila Anda baik hati-- akan memberinya dengan senang hati. Nilai kebahagiaan Anda bertambah. Itu artinya, kebahagiaan Anda juga dipengaruhi lingkungan bukan? Pengaruh lingkungan bukan hanya mengenai hal negatif saja. Lalu, jika Anda sedikit kikir, pasti Anda tidak akan nyaman tidur sambil memeluk uang Anda. Takut kalau-kalau lingkungan mulai beringas dan merebut kebahagiaan Anda.

Ketika saya sedang sedih atau sedang ada masalah, saya mencoba membahagiakan diri sendiri dulu. Karena katanya, kebahagiaan kan asalnya dari diri sendiri. Saya mencoba memakan cokelat --terimakasih Tuhan, saya tidak alergi cokelat--, katanya cokelat dapat menjadi penahan sakit, hal ini dikarenakan cokelat  dapat mengeluarkan senyawa endorphine yang membuat perasaan menjadi lebih tenang. Endorphine adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitary di kepala kita. Cokelat yang dapat membuat mood lebih baik hal ini dikarenakan kandungan caffeine, theobromine, methyl-xanthine dan phenylethylalanine dipercaya dapat memperbaiki mood sehingga mampu menurunkan tekanan darah. Lalu? Seketika saya bahagia? Tidak! Saya suka makanan pedas. Saya coba membuat makanan pedas. Untuk sementara saya bisa melupakan masalah saya, karena ketika saya merasa kewalahan oleh pedas, hanya satu hal yang saya ingat yaitu: AIR!

Jalan-jalan? Bisakah membuat kebahagiaan muncul? Mungkin. Karena kita bisa menghirup lebih banyak udara dibanding jika kita termenung didalam kamar sampai ketiduran. Otak ita butuh lebih banyak oksigen untuk bisa berfikir lebih baik. Kita juga bisa membuka pikiran lebih luas dan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Nah ini yang saya kelompokkan jadi sebuah kebahagiaan: Interaksi! Interaksi bukan hanya dengan orang lain, interaksi dengan Tuhan juga.

Menangis? Tidak menyelesaikan masalah. Setidaknya menurunkan emosi dan tekanan darah. Jadi bahagia? Tidak juga. Hanya merasa lega. Berarti kebahagiaan itu bukan hanya kepuasan? Kelegaan juga? Bedanya? Saya lihat dikamus, kedua kata ini saling mengartikan. Lega bisa dikatakan puas, dan puas bisa mengartikan lega. Kalau saya, lebih mengelompokkan mereka ke dalam bahagia. Bukan pengertian dari bahagia itu sendiri. Bisa jadi, ada sebuah luka dan kekecewaan dalam hati saya yang malah membuat saya lega dan puas. Misalnya apa ya? Hmmm... Siapa yang tidak kecewa kalah bertanding? Tapi saya pernah merasa lega karena saya kalah bertanding... Lebih tepatnya, bukan saya saja. Tapi teman-teman saya yang lain juga tidak ada yang menang. Hahahaaa! Jahat? Tidak! Hanya bahagia. Karena teman-teman saya tidak membuat saya minder. :p

Bagaimana jika rumus tadi kita tambahkan saja dengan Sudut Pandang? Tidak pasti memang. Tapi saya rasa mood itu memang dipengaruhi sudut pandang. Jika sudut pandang memiliki satuan atau angka bilangan tetap, maka mood dan lingkungan tidak berpengaruh. Bila lingkungan Anda sedang buruk, bila Anda memandangnya dari sudut pandang kekacauan, pasti mood Anda ikut kacau. Bila diri Anda sedang bahagia, sudut pandang Anda akan positif. Bila Anda sedang sedih, maka lingkungan Anda akan merespon. Saya ingat suatu kalimat bijak, "Ingatlah, bila kita menghadapi masalah, maka beberapa orang akan peduli dan sisanya hanya ingin tahu" dan saya rasa saya mau menambahkan sedikit, "beberapa orang yang hanya ingin tahu itu ada yang bersimpati dan ada yang akan menyalahkanmu"

Oke. Kita coba buat rumusnya saja. Misalnya
f(x)= (Li-Mo) . SP

dengan SP adalah sudut pandang dan nilainya harus selalu 0 (nol). Mengapa? Agar Sudut Pandang bisa menetralkan semua hasil dari fungsi. Tidak negatif dan tidak pula positif. Lha berarti tidak bahagia donk? Menurut saya, kebahagiaan itu kebutuhan. Hasilnya akan pas bila butuh satu dan mendapatkan satu --> 1-1 = 0. Bila malah berkurang 3? cari bagaimanapun biar nggak minus 3. Yaitu usaha (menambah). Bila kelebihan 3? Cari bagaimanapun caranya biar 3 itu jadi 1, dengan berbagi (pengurangan).
Saya yakin, kenetralan tidak menimbulkan kecenderungan dan bisa membuat kita bisa berfikir lebih jernih. Berfikir jernih bisa membuat kita tidak goyah (bukan tidak terpengaruh) oleh keadaan lingkungan dan membuat lingkungan yang kacau bisa jadi rukun lagi bila memang kita penjernih diantara yang keruh.


Ah! Saya sudah terlalu banyak bicara.


Lalu? Apa itu kebahagiaan?

Sabtu, 26 Juli 2014

Menunggu mati?


Seringkali, ketika kau merasa tidak dihargai, tidak diperjuangkan atau tidak mendapatkan sesuatu yg layak. Kau cenderung menyalahkan dirimu sendiri. Bahwa ini adalah kesalahan dan kekuranganmu. Seringkali, kau sudah merasa cukup terhianati meskipun tanpa adanya orang ketiga. Karena kecewanya harapan yang dimuluk-mulukkan tapi pahit diwujudkan.

Seringkali ketika kau sudah berusaha sekuat tenaga, kau berdoa disetiap sujud, tapi kau dipukul mundur oleh kalimat "realistis saja".
Apa gunanya tujuan? Apa fungsi harapan? Apa yang selama ini dipertahankan?
Kau berlari sendiri. Ya... Sendiri... Dengan satu kaki.
Kau menangis, tanpa ada yang peduli. Kau meraung, memohon, bahkan mengiba. Tapi tidak ada secuilpun rasa yang kemudian tergugah. Lalu untuk apa?

Sepertinya kau menunggu waktu, kawan. Waktu untuk kau mati. Tenang saja. Kau bukan beban. Makanya kau tak ada yang menangisi. Percuma kau menangis. Beberapa orang menganggap hal ini kemerdekaan.
Tenggorokanmu tercekat oleh kecewa yang tak bisa naik dan keluar sebagai air mata.
Apa kau lihat-lihat kemari? Kau mau mati?

Matilah! Kau sendiri saja tidak mengasihani diri sendiri. Bagaimana orang lain hendak kau mintai hati nurani?

Tidak ada hasil besar tanpa keputusan besar. Putuskan saja. Berhenti atau mati.

Selasa, 27 Mei 2014

Kaki-kaki sahabatku

Tak tuk tak tuk tak tuk
Bunyi langkah kaki yang agak terburu-buru. Alas kaki berwarna terang, begitu sepertinya, mengkilap dengan bagian belakang lebih tinggi sehingga kaki milik nona itu menjadi berjinjit, mengkilap disapu cahaya matahari siang. Ada pula yang menggunakan sendal jepit, sepatu yang kelihatannya ringan digunakan untuk berlari, atau ada pula yang tanpa alas kaki sepertiku. Aku tidak pernah mengenal warna-warna. Aku tidak pernah tahu untuk itu.

Seringkali aku hanya mampu melihat kaki-kaki yang melintas begitu bebasnya di depan mataku, tanpa aku tahu siapa pemiliknya. Berbagai bentuk, warna dan tempo langkah, kunikmati setiap hari hingga sore tiba. Aku tidak membayangkan apa-apa. Aku tidak berharap apa-apa. Menikmatinya sudah merupakan rutinitasku.

Hari ini terik sekali. Aku berterimakasih pada matahari, sahabatku. Dia mau muncul dengan berani melawan awan. Setelah kemarin bertarung bersama petir dan runtuhan air yang banyak sekali membuatku agak menggigil. Yah, panas terik lebih baik dibandingkan basah kuyup.

Ada malaikat yang selalu berputar-putar di sekitar kepalaku. Aku mencoba memberitahu orang yang lewat di hadapanku bahwa aku punya teman yang menawan, bersih dan cemerlang. Aku ingin mereka melambatkan tempo kaki mereka yang kadang terlalu cepat melewati kepalaku. Aku tidak marah. Aku hanya ingin mengenalkan sahabatku yang bernama Malaikat. Aku ingin mereka juga melihat keajaiban ini.

Kadang kala, aku melihat seseorang berjalan sambil menangis. Berjalan menunduk dengan tempo jalan yang lambat. Matanya sembab entah kenapa. Bahunya naik turun terisak. Aku rasa dia lapar atau merasakan sakit. Sebab aku akan melakukan itu jika perutku benar-benar kosong atau ada orang yang tidak sengaja menendang kepalaku.

Ketika sahabatku, Matahari, mulai pamit kembali kedalam tanah, aku senang sekali. Nenek dan adikku datang dengan senyuman dan pastinya sebungkus nasi. Aku sangat bahagia. Aku tidak menangis hari ini. Aku bermain seharian dengan kaki-kaki yang melangkah kesana kemari dan matahari yang sudah tidak lagi marah kepadaku. Dia tersenyum sepanjang hari.

Nenekku sudah tua sekali. Badannya bungkuk dan kulitnya sudah keriput. Adik perempuanku beberapa tahun lebih muda dariku. Wajahnya lelah sekali. Tidak ada sedikit senyum yang tersisa. Aku rasa hari ini terlalu berat untuk mereka yang mencari uang.

Akhirnya ikatan kaki dan tanganku dilepaskan. Aku dibopong Nenek dan adikku. Berjalan menuju tumpukan kardus yang biasa kami tiduri bertiga. Nenek mulai membuka nasi bungkus yang dibawanya. Aku melihat tangannya mulai mengumpulkan nasi dan mengepalkannya sambil membuka mulutnya yang memberikan isyarat bahwa aku harus melakukan hal yang sama, membuka mulutku lebar-lebar.

Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan nenek dan adikku. Mereka bercakap-cakap sambil tersenyum, sesekali menoleh kepadaku. Akupun melakukan hal yang sama, tersenyum hingga membuat gigi-gigiku terlihat dan nasi yang aku kunyah minggir sedikit ke luar pipiku.

Aku tidak dapat mengerti apa-apa. Karena aku tidak dapat mendengar satupun bunyi. Aku tidak dapat menceritakan apa yang terjadi pada hariku, karena aku tidak bisa mengeluarkan satu bunyipun dari tenggorokkanku. Aku sudah seperti ini. Tidak bisa berjalan dan tidak bisa membantu nenek dan adikku. Karena aku tidak bisa berfikir dengan pola fikir seperti mereka. Kaki dan tanganku selalu diikat ke sebuah tiang dekat terminal bus sebelum nenek dan adikku membawa jualannya untuk dijajakan. Mereka sangat menyayangiku. Mereka tidak mau kehilanganku. Mereka takut aku pergi dan menghilang. Maka aku diikat dan mereka bisa tenang mencari uang.

Tidak apa-apa. Aku tidak marah kepada Tuhan. Aku diberikan nenek, adik, matahari, udara, air -yang mungkin sering tidak bersahabat denganku karena sering membuatku kedinginan-, langkah kaki yang indah, senyuman, kadang usapan hangat dari beberapa orang yang lewat disekitarku. Tuhan menyayangiku. Kalian juga kan? Sebab Tuhan juga menyayangi nenek dan adikku.



Insipred by: Lakhan.
http://m.news.viva.co.id/news/read/507484-derita-anak-cacat-di-india--diikat-di-tiang-halte-agar-tak-hilang