Selasa, 15 Oktober 2013

Selamat kecewa...



Ketika lo merasa dikecewakan orang lain, kemudian lo mengutuk orang itu. Bahkan kadang lo menyalahkan diri sendiri karena selalu dikecewakan berulang-ulang dan dalam sedalam-dalamnya. Benci pada orang yang mengecewakan dan kepada diri sendiri yang merasa bodoh.

Coba merenung lagi, niscaya lo akan ngerasa lebih kecewa sama diri lo. Saat lo mendapati bahwa lo belum dapat membahagiakan orang-orang yang dengan sekuat tenaga memberikan kebahagiaan buat lo, berdoa buat lo dan ada buat lo. Seperti: orangtua, adik/kakak, keluarga dan teman2. Tundukkan kepala lo, bukan untuk bersedih karena dikecewakan. Tapi tundukkan kepala lo karena lo malu belum bisa membahagiakan mereka. Dan sekarang, angkat kepala lo dan lihat mereka mau memeluk lo dalam keadaan yang bagaimanapun dan apa adanya. Selamat! Lo harus menyadari, lebih banyak orang yang mau membuat dan dibuat bahagia. Maju dan injak setiap bayangan hitam yang bikin lo kecewa.

Ingat! Bayangan itu bergerak sesuai dengan gerakan lo, bukan lo yang digerakkan bayangan. :)
Yoroshiku,
Tri Niasih Ati

Sabtu, 27 Juli 2013

Cukuplah bagiku

Cukuplah bagiku Alloh...


Aku masih terisak dan tersiksa. Sampai aku tertidur dan kemudian terbangun oleh rasa sakit yang menyesakkan.
Pikiran buruk macam apa ini! Tidak juga tersudahi rasa sakit yang merejang kegembiraan.

I'm not that important.


Lelehan air hangat terus mengalir biarpun bola matanya sudah memprotes rasa perih dan kelopaknya sudah menebal.

Dalam kubikel kecil yang disebut kamar dan dalam kungkungan persegi panjang empuk bernama kasur, aku merasakan sebuah dunia hampa udara. Sesak.


I'm not that important.


Dunia ini terlalu besarkah untuk seorang yang meringkuk dikamar tanpa terpikirkan perasaannya? Atau terlalu banyak orang hebatkah sehingga tidak ada keistimewaan yang bisa kuselipkan mengenai namaku?


Mungkin sejarah teralu panjang untuk kukutipkan sepenggal ceritaku. Mungkin juga masa depan terlalu jauh untuk kejar dengan lari. Atau mungkin tidak ada tempat untuk orang yang sedikit iri hati ini?


I'm not that Important.




Aku kemudian keluar. Melihat sebuah kotak elektronik yang dapat menayangkan gambar bergerak dan bersuara.
Seseorang dengan sebuah alat yang didorongnya. Bentuknya seperti gerobak. Tapi itu alat bantu berjalannya. Kedua kakinya tidak menapak sempurna. Sebelah kanan membengkok kekiri, begitu juga sebaliknya.
Dia berjalan tertatih. Sulit sekali sepertinya.
Kepalanya terangguk-angguk tak tentu. Tanpa dia sengaja pastinya. Setiap dia bicara, perlu energi besar untuk mengeluarkan kata-kata agar jelas didengar. Tak jarang, dia harus mengulangi kalimat itu karena lawan bicaranya tidak mengerti apa yang dia maksud. Dia tidak cacat. Hanya saja dia tidak sepertiku. Setelah selesai bercakap dengan dengan lawan bicaranya, dia mengucapkan hamdalah dan salam tanda dia berpamitan.
Rasanya...


Aku seperti orang yang tidak tahu berterimakasih.



Cukuplah bagiku Engkau, Ya Alloh...


Lelaki yang belum pernah kutemui

Dia, adalah lelaki yang belum pernah kutemui. Banyak sudah cerita yang kudengar tentangnya.
Dia, adalah lelaki yang belum pernah kutemui. Tapi aku rasa, aku sangat menyukainya.
Dia, adalah lelaki yang sama sekali belum pernah kuketahui, tapi mengapa hatiku bisa terpaut padanya?
Dia, adalah lelaki yang telah beristri...


Begitu kecewanya aku dengan keadaan yang merundungku oleh sekitarku. Serasa tidak adil atas apa yang telah kulakukan. Apa aku pantas mendapatkan ini? Oh, tidak! Jangan bilang iya! Aku tidak pernah melakukan hal ini kepada orang lain. Tapi mengapa aku tidak mendapatkan perlakuan yang baik? Ya setidaknya setara atas apa yang aku lakukan kepada orang itu. Marah, kecewa dan sedih memuncak hingga membuat mataku basah dan tenggorokanku berat hanya untuk sekedar menelan ludah.

Aku ingin menari hingga kakiku terluka, Aku ingin berteriak hingga suaraku habis, aku ingin menangis hingga air mataku kering. Tapi aku hanya menatap nanar keatas langit sambil menggigit pilu.

Sampai pada sebuah cerita tentang seorang lelaki yang membuatku terpaut hati.

Diceritakanlah oleh seseorang, bahwa ada seorang lelaki begitu berani, kuat dan tangguh. Betapa tidak dalam pikiranku terbesit dia adalah orang yang menyeramkan dan menebar ngeri bagi musuhnya. Ya! Itu memang benar!

Suatu ketika, sebelum lelaki itu meninggal, lelaki itu membuat wasiat kepada sahabatnya untuk melakukan suatu kebiasaannya. Lelaki itu meminta sahabatnya untuk memberi makan seorang pengemis tua di ujung pasar. Tidak hanya sekedar memberikannya makan, tapi juga harus menyuapinya. Karena pengemis itu begitu tua dan buta.

Sesampainya di tempat yang telah diwasiatkan oleh lelaki itu, sahabatnya kemudian duduk di sebelah pengemis tua itu. Pengemis tua itu terus berteriak. Dari mulutnya keluar kalimat-kalimat kasar yang tidak pantas didengar. Kalimat-kalimat provokatif yang sungguh membuat hati ingin memukulnya.

Setelah beberapa suapan, pengemis itu menghentikan makan dan "orasi"nya. Pengemis itu memegang tangan yang menyuapinya sedari tadi.
"Tunggu sebentar. Kau bukan orang yang yang biasa menyuapiku. Siapa kamu?" Tanya pengemis tua itu.
"Tidak. Aku adalah orang yang biasa menyuapimu, Pak." Kata orang itu.
"Jangan mencoba menipuku! Aku memang buta. Tapi aku tidak mati rasa." Bantah pengemis itu.
"Darimana kau tahu aku bukanlah yang biasa menyuapimu, Pak tua?" Tanya orang itu.
"Orang yang biasa menyuapiku bertangan lembut. Dia biasa menyuapiku perlahan dengan makanan yang halus dan sentuhan yang tidak kasar." Lalu terdengar suara tangis yang tertahan dari sisi sang pengemis itu.
"Mengapa kau menangis? Dimana orang yang biasa menyuapiku? Siapa orang itu?" Tanya pengemis itu agak memaksa.
"Orang itu adalah Muhammad. Orang yang selama ini kau teriaki sebagai pembohong besar dan ahli sihir. Beliau sudah tiada. Dan beliau yang memerintahkanku untuk tetap menyuapimu, Pak Tua..." Desir padang pasir lebih nyata dibanding riuhnya lalulalang orang sekitar mereka.

Sebuah tangis pecah dan pertobatan terwujud...

Muhammad... Seorang lelaki yang kuat namun lembut. Seorang lelaki yang tidak menuntut apa yang telah dia perbuat kepada orang lain agar berlaku sama pada dirinya.
Muhammad... Seorang lelaki yang begitu ditakuti sekaligus begitu dikagumi.


Muhammad... Seorang lelaki yang belum pernah kutemui, tapi mengapa aku bisa terpaut hati?

Rabu, 05 Juni 2013

Terakhir

Dapatkah aku memelukmu untuk terakhir kali?

Terakhir kalinya merasakan nyamannya hatimu.



Terakhir kali merasakan sejuknya jiwamu.
Terakhir kalinya mendapatkan apa yang biasa aku dapatkan, yang kini akan hilang...


When you're gone...

Minggu, 12 Mei 2013

Suatu hari untuk suatu hal

Suatu hari, akan ku katakan suatu hal. Hal yang sangat penting. Hari itu akan segera datang. Hari dimana aku akan mengatakannya dengan sangat serius dan bersungguh-sungguh. Suatu hal dimana saat ini aku masih mempersiapkan diri dan mental untuk mengatakannya. Suatu hal yang sangat tidak ingin ku katakan. Suatu hal dimana masih ku latih dalam rasa yang disebut ikhlas. Suatu hal mengenai kerelaan. Suatu hal yang mungkin harus kuterima atau ku pertarungkan. Suatu hal yang bahkan sangat tidak ingin kutanyakan atau kunyatakan. Tapi, suatu hari, aku akan mengatakan suatu hal itu. Tentang keadaan di ujung tanduk. Tentang kita. Suatu hal, yang masih ku persiapkan kesiapannya untuk dirasakan. Bekasi, 12 Mei 2013. 21:34 WIB.

Sabtu, 20 April 2013

Topeng

Selalu ingin tampil dan menjadi orang yang menyenangkan untuk setiap orang? Menjadi orang yang menyenangkan untuk orang yang juga menyenangkan bagi kita adalah sebuah timbal balik. Menjadi orang yang menyenangkan untuk orang yang tidak menyenangkan untuk kita adalah suatu kesabaran yang hebat. Tapi sampai kapan harus jadi joker yang selalu memasang wajah tersenyum atau seorang pelawak yang harus selalu tampil lucu setiap pertemuan? Bukankah itu melelahkan? Sudahlah, bukan berarti aku menyarankan untuk bersikap blak-blakan atau frontal. Setidaknya masih menjaga etika pergaulan. Mungkin sudah saatnya sejenak mundur dari hingar bingar panggung sandiwara yang tidak setiap kali berakhir bahagia. Saatnya menjadi sunyi untuk sejenak meraba kembali senyum yang terlalu banyak terbuang secara palsu. Atau menjadi diam dan tidak banyak bersuara. Untuk sementara, aku pergi dan bersembunyi. Hanya untuk melepaskan topeng. Ya... Sementara...

Kamis, 11 April 2013

Pengejar Angin



Aku yang sering berlari, kemudian merasa lelah.
Menggapai-gapai apa yang kurasakan tapi semu.
Aku mulai melambatkan langkah.
Pengejar angin, itulah aku.


Menyusuri dedaunan jatuh,
Berharap ada keajaiban sayap tumbuh.
Tersandung, mencoba melompat, mendaki kaki bukit,
Kemudian jatuh dan jatuh tahan sakit.


Tapi aku sang Pengejar angin.
Ini bukan mimpi.
Apa yang ku ingin,
tidak mungkin terjadi.


Ini bukan negeri dongeng,
Dengan kebaikan hati kau bisa jadi peri.
Kau coba tahan cengeng,
Yang kau temui hanya nyeri.


Aku, Sang Pengejar Angin.

Bukan siapa-siapa...


Untitled

Dear,


Karena gue gak pernah bisa menjadi siapa-siapa. Gue hanya bisa jadi diri gue sendiri...

Minggu, 07 April 2013

Jika Aku...




Jika Aku menghayalkan langit,
aku ingin menjadi bidadari yang menengok ke bumi lewat awan,
mengawasi langkahmu yang terkejar hujan.



Jika aku memandang bintang,
aku ingin menjadi bintang paling terang
agar kau dengan mudah menemukanku dan membimbingmu melihat tanah agar tidak terjatuh.


Namun nyatanya,
aku tidak mejadi siapa-siapa.
Aku bahkan tak punya alasan untuk dapat kau pikirkan...

Minggu, 27 Januari 2013

Menyerah


Firasat ini rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli, ku terus berlari...


Aku masih memejamkan mataku di atas kasur. Menghadapkan tubuhku ke langit-langit kamar. Ranjang ini begitu setia dengan air mata yang mengalir berjam-jam. Aku tidak tahu... Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Seharusnya semua baik-baik saja. Seharusnya semua berjalan lancar. Bilapun ada hambatan, bukan ini... Bukan mengenai ini.

Lagu "Firasat" oleh Dee Lestari mengalun pilu di telingaku lewat earphone yang terhubung dengan MP3 Player ku. Mengantarkan air mataku mengalir melintasi wajahku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku berteriak dalam doa dan berkata "Tuhan! Bantu aku!". Isi pikiranku sangat buruk. Perasaanku campur aduk. Dan pastinya otakku tidak bisa berpikir jernih. "Tuhan, haruskah hamba berhenti? Atau hamba bersabar sekali lagi?"

Aku memang masih naif untuk membedakan antara sabar dan bodoh. Tapi apakah aku terlalu tuli dan buta untuk tahu kenyataan yang ada? "Oh, Tuhan. Hamba menyerah..." Tetiba tangisku makin terisak dalam pejam mataku yang sulit ku buka. Aku enggan melihat dunia. Enggan menghadapi kenyataan. Inilah bentuk saat aku menyerah. Menjadi zombi yang bergerak tanpa tujuan.

"Tuhan, kali ini hamba benar-benar menyerah... Tetap dekap aku, Tuhan..."

Rabu, 16 Januari 2013

"Gift"


Gue membuka pintu kamar kos dengan berat hati. Gue berjalan lunglai seolah tenaga gue habis entah untuk apa. Gue cuma bisa ngeliatin kamar gue yang kayak kapal pecah. Berantakan banget! Tapi ya gitu, gak ada daya untuk ngeberesinnya. Lebih tepatnya, gak ada usaha dan niat. Gue ngebanting badan di kasur. Berharap beban gue hilang setidaknya berkurang ikut terbang bersama hembusan nafas berat yang gue keluarkan.

"A Gift". It is "A Gift", Friend. Temen gue pernah bilang gini, "Memang gak mudah punya "Gift" yang dikasih Tuhan. "Gift" ini bisa jadi penolong kalo dipake dengan benar. Tapi bisa membahayakan pemiliknya kalo nggak bisa digunakan dengan baik."

Kadang gue ngerasa capek sama "Gift" ini. Terserah sih mau percaya apa nggak. Dulu temen deket gue pernah bilang kalo "Gift" gue belom kebuka. Nanti akan ada saatnya. Dan saat yang dikatakan temen gue datang bertahap, gue gak menyadarinya.

Masih kebayang beberapa kejadian saat gue ngeliat sepeda lewat depan rumah dan terlintas dalam kepala gue sebuah gambaran sepeda itu tertabrak motor, dan apa yang gue liat di fikiran gue beberapa detik sebelum kejadian itu terjadi benar terjadi. Gue seolah gak menganggap itu hal yang penting. Kemudian ketika suatu kejadian dimana gue ngingetin temen gue untuk memajukan motornya sampai pintu gerbang sekolah.dan tunggu gue disana. Tapi dia tetep kukuh untuk ngeboncengin gue dari parkiran. Alhasil, pas depan pintu gerbang kami terjatuh. Dia jatuh tertimpa motor sedangkan gue entah kenapa berdiri tegak tanpa terluka sekalipun. Gue cuma bisa ngeliatin temen gue tanpa berkata apa-apa. Seolah hal itu udah pernah gue liat sebelumnya.

Perasaan gue gak enak. Rasanya pengen nangis. Gak tau kenapa. Tapi gue bener-bener nangis. Masih dengan tanpa alasan. Jantung gue berdebar gak nentu. Entah kenapa. Gue cuma pengen nangis. Gue nangis sesenggukan. Akhirnya gue berdoa dan berserah pada Tuhan apapun yang akan terjadi.

Pagi ini, mata gue sembab. Bekas nangis semalem masih membekas di kantong mata gue. Pagi ini telpon gue berbunyi. Ada nama nyokap tertera di layar. Nyokap dengan suara agak tertahan berkata, "Nik, Pulang ya... Bapak sakit."
Oh, Tuhan... Ternyata ini yang membuat gue gak tenang dari semalem. Gue pun gak buang waktu buat siap-siap pulang. Gue telpon pacar gue untuk mengantar gue pulang.

Ketika di mobil, gue memandangi dia dalam-dalam. Bukan karena kesedihan dan kekhawatiran yang gue rasakan terhadap kesehatan Bapak. Tapi entah kenapa gue merasakan kalo gue bukanlah berakhir pada dia, pacar gue. Perasaan yang sama yang pernah gue rasain dulu. Tiba-tiba gue bilang, "Nanti kalo lo nikah, dengan siapapun, jangan lupa bawain lagu 'I will survive' ya, lo kan jago maen bass tuh." Kemudian pacar gue cuma mengernyitkan dahi dan berkata, "Apaan sih." Dan tak berapa lama, gue putus sama dia.

Banyak Kejadian dimana perasaan gue gak enak, mendadak pengen nangis atau seperti ada sesuatu yang akan terjadi dan itu adalah hal buruk. Seseorang pernah bilang sama gue, gue punya bibit untuk memiliki "Gift" dari Tuhan. Tinggal tunggu waktu.

Tapi sejujurnya, kadang gue merasa nggak nyaman dengan hal ini. Terlebih ketika gue gak tau apa yang bakalan terjadi tapi perasaan tersebut udah dateng sama gue sebelum kerjadian itu terjadi. Terkadang juga gue merasa gak enak dekat dengan seseorang. Seperti ada sesuatu yang salah dengan orang itu. Hal itu bikin gue mendadak agak segan buat deket dia dan nggak sengaja menjauh. Kadang gue paksakan diri buat ngelawan perasaan itu. Tapi pada akhirnya gue tahu kenapa gue dulu pernah punya prasangka gak enak sama dia.

 Tuhan, bukan aku tidak menerima "Pemberian" ini. Hanya saja mentalku tidak siap. Atau tidak akan pernah siap? Beberapa teman ada yang mengetahui mengenai hal ini. Kadang lelah mengetahui sesuatu yang buruk tapi tidak mau memberitahu hal buruk itu kepada teman karena ingin teman itu bisa lebih dewasa dan lebih baik apabila mengalami hal itu. Kadang lelah dan penat menembus kepala gue dengan berat. Menembus dimensi yang seharusnya dilalui lorong waktu tapi gue buka dalam bayangan.

Tuhan, kuatkan hamba-Mu ini.... Terimakasih atas pemberian yang sangat berharga. Semoga berguna untuk banyak orang dan tidak merugikan. Aamiin.



Senin, 14 Januari 2013

To: A

Dear A, Where have you been?

A, aku memanggilmu dalam kegelapan yang ku coba usiri dengan canda dan tawa dengan sahabat. A, apakah kau mendengarku? Aku melempar pesan sunyi ke udara dan berharap seseorang dapat menangkapnya dan menanyakan keadaan ku, dan aku masih berharap kaulah orang itu, A.

A, waktu yang selama ini berteman dengan ku sekarang berbalik arah. Kau tahu, A? Dia berbalik menyerang dengan batasan-batasan yang dulu dapat ku tembus kini aku harus dikejarnya tanpa tawar menawar.

A, pertanyaan-pertanyaan yang biasanya menjadi lelucon kini menjadi pedang yang siap menyayatku dan menikamku dalam-dalam. A, mengertikah kau? Dimanakah kau, A? Aku ingin sejenak merebahkan tangisku, setidaknya ditelingamu, A. Tidak harus di pundakmu. Karena mungkin pundakmu sudah terlalu berat menahan beban.

A, pilihan-pilihan yang ku susun telah diporak-porandakan oleh sebuah kenyataan. Kenyataan dimana aku harus menyusun ulang segala mimpiku. A, tapi aku sudah terlanjur memilih, tidak mungkin aku mundur. Tapi kenyataan menyuruhku untuk jalan ditempat, A. Bagaimana ini, A?

A, dapatkah kau mendengar pesan sunyiku?

A, Dimana dirimu?