Jumat, 02 November 2012

Menunggu Maaf III



Tuhan lebih banyak menyentuhku. Selalu menenangkanku. Memegangku erat dan memelukku dari segala arah. Aku selalu berdoa agar aku terlindungi dari mencintai sesuatu lebih dari mencintai-Nya. Aku selalu ingin buru-buru menemui-Nya. Biarkan aku bersama-Nya.
    Kau segera meremas kertas itu dan melayangkan pandanganmu kesegala arah. Tanganmu gemetar membayangkan isi dari kertas itu. Kau segera membuka lemari dan memeriksa setiap helai lipatan dari tumpukan baju ku. Kau berharap menemukan sebuah petunjuk lagi. Entah alamat atau mungkin sebotol obat tidur yang masih utuh, yang artinya tidak aku minum sekaligus.
    Kau berlari menuju dapur dan menemukan sebuah ponsel yang sering kau lihat. Ya. Ponselku. Kau segera memeriksa pisau-pisau yang ada di dapur. Tapi ah! Kau kan jarang menyentuh dapur. Jadi kau tidak tahu berapa jumlah persisnya pisau yang ada di sana. Kau menoleh dimana biasanya semprotan anti serangga di letakkan. Kau segera mengambilnya, mengangkat dan kemudian mengguncangkannya. Isinya masih berat.
Kau kemudian naik ke loteng atas dan berusaha mencari apakah ada bekas atau sejuntai tali yang mengikat sesuatu. Oh tidak. Mengikat seseorang lebih tepatnya. Tapi kau tidak menemukan apa-apa.
     Kemudian kau segera turun. Mengambil ponselmu dan memijit nomerku dari sana. Tak lama, ada suara dering keras berbunyi tak jauh dari tempatmu berdiri. Ah sial! Makimu sambil membanting ponselmu ke lantai hingga baterainya terlepas dari badan ponsel. Kau lupa, aku meninggalkan ponselku di atas meja dapur.
     Kau segera mengambil ponselmu. Menghubungi orang-orang terdekat yang kita kenal. Tak ada satu pun yang mengetahui keberadaanku.
Kau terduduk lemas. Tangismu mulai pecah. Penyesalan yang amat mendalam. Penyesalan yang terlambat, pikirmu. Tak henti kau mengucap maaf dan menyebut namaku. Akhirnya kau terlelap bersama penyesalanmu yang begitu berat.
   Kau membuka mata, melihat sosokku sedang memeluk kitab suci dan berpakaian putih. Aku tersenyum, namun aku tidak bisa menyembunyikan mata sembabku. Kau berdiri dan setengah tidak percaya. Kau menangis kemudian mengucap maaf. Kau tertunduk begitu dalam. Aku tersenyum. Mengangkat dagumu dan tersenyum lagi. Kau seakan merasakan sentuhanku nyata.
"Maaf kan aku, Dek. Bukan maksudku untuk menyakitimu." Katamu sambil menahan air bah yang ada di kelopak matamu.
"Maafkan aku juga, Mas. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Aku hanya menenangkan diri sejenak. Bersama Tuhan." Jawabku tenang.
"Sumpah demi agama yang benar, Dek. Aku tidak pernah mengkhianatimu! Saat itu aku hanya menolongnya karena dia sedang sakit dan harus diantar kerumah sakit. Aku berbohong padamu bukan karena aku ingin menduakanmu. Aku hanya khawatir bila kau tahu, kau akan cemburu. Lalu kau menyimpannya begitu sakit dalam hatimu. Kalau kau sudah memikirkan sesuatu, kau akan malas makan. Aku tahu, kau punya penyakit maag, Dek. Aku tidak mau kamu sakit dan menderita hanya karena ini. Makanya aku berbohong. Bukan karena aku tidak mencintaimu dan bermaksud kembali padanya." Kau meyakinkanku begitu kuat.
"Iya, Mas. Aku mengerti. Maafkan aku jika aku kurang mempercayaimu. Seharusnya Suami istri haruslah saling percaya. Maafkan aku, Mas."
Lalu kita berpelukan. Mengeluarkan gundah yang selama ini tertahan lidah. Kau dan aku akan selalu menunggu dan mendapatkan maaf.

Kamis, 01 November 2012

Menunggu maaf II

"Mas, segeralah pulang." Kata Marni.
"Iya, iya. Sabar. Mas mau ada rapat dulu nanti siang. Sudah ya. Assalamualaikum." Lalu Rudi segera mematikan ponselnya.
Ah, Marni. Mungkin dia terlalu rindu padaku makanya dia sering menelponku dan memintaku pulang. Tapi tenang, Marni. Aku sedang mencari uang. Perusahaan besar ini mulai tertarik dengan proyekku. Kapan lagi aku mendapat kesempatan untuk hal ini. Lagi pula, kau kan bisa menunggu. Yah biarpun sudah tiga hari aku tidak pulang, hari bersamamu lebih banyak dibanding dengan hari dimana aku harus rapat dan mendapatkan proyek ini. Pikir Rudi dalam hati. Rudi kemudian melakukan rapat internal untuk persiapan rapat besar nanti malam.

Rapat yang diimpi-impikan Rudi telah selesai. Mereka beralih kepembicaraan santai dan saling melempar joke. Suasana kerja yang akrab dan menyenangkan membuat angan Rudi mengenai pekerjaannya akan berjalan sangat lancar. Rudi kemudian menyalakan ponselnya. Beberapa pesan singkat langsung menyerang masuk ke ponselnya. Tapi dia tidak segera menggubrisnya. Kemudian tak lama, Ponselnya berdering. Nama Marni tertera dilayarnya. Masih saja, Rudi hanya sekedar menengoknya dan membiarkannya menyala-nyala tanpa getar dan tanpa respon.

Tak terasa, berjam-jam telah berlalu. Hari sudah beranjak hampir tengah malam. Semua peserta rapat saling berpamitan pulang. Rudi kemudian memanggil taksi. Baru saja dia masuk kedalam, ia teringat dengan ponselnya yang sedari tadi dia biarkan. Terlihat dilayarnya ada 40 kali panggilan tak terjawab yang berasal dari satu nama, Marni. Rudi masih tersenyum-senyum membayangkan  betapa besar kerinduan dan kecemburuan Marni terhadap pekerjaannya yang akan segera membuatnya sukses itu. Kemudian jarinya beralih ke pesan masuk. Betapa hatinya berguncang. Wajahnya Suram. Dan matanya tidak bergeming dari tulisan di pesan singkat itu. Pesan singkat yang terkirim sejak sembilan jam yang lalu.
Innalillahi wa innailahirojiun. telah berpulang Ibundamu, sang mertuaku tersayang, Mas.