Tuhan lebih banyak menyentuhku. Selalu menenangkanku. Memegangku erat dan memelukku dari segala arah. Aku selalu berdoa agar aku terlindungi dari mencintai sesuatu lebih dari mencintai-Nya. Aku selalu ingin buru-buru menemui-Nya. Biarkan aku bersama-Nya.
Kau segera meremas kertas itu dan melayangkan pandanganmu kesegala
arah. Tanganmu gemetar membayangkan isi dari kertas itu. Kau segera
membuka lemari dan memeriksa setiap helai lipatan dari tumpukan baju ku.
Kau berharap menemukan sebuah petunjuk lagi. Entah alamat atau mungkin
sebotol obat tidur yang masih utuh, yang artinya tidak aku minum
sekaligus.
Kau berlari menuju dapur dan menemukan sebuah ponsel yang sering kau lihat. Ya. Ponselku. Kau segera memeriksa pisau-pisau yang ada di dapur. Tapi ah! Kau kan jarang menyentuh dapur. Jadi kau tidak tahu berapa jumlah persisnya pisau yang ada di sana. Kau menoleh dimana biasanya semprotan anti serangga di letakkan. Kau segera mengambilnya, mengangkat dan kemudian mengguncangkannya. Isinya masih berat.
Kau kemudian naik ke loteng atas dan berusaha mencari apakah ada bekas atau sejuntai tali yang mengikat sesuatu. Oh tidak. Mengikat seseorang lebih tepatnya. Tapi kau tidak menemukan apa-apa.
Kemudian kau segera turun. Mengambil ponselmu dan memijit nomerku dari sana. Tak lama, ada suara dering keras berbunyi tak jauh dari tempatmu berdiri. Ah sial! Makimu sambil membanting ponselmu ke lantai hingga baterainya terlepas dari badan ponsel. Kau lupa, aku meninggalkan ponselku di atas meja dapur.
Kau segera mengambil ponselmu. Menghubungi orang-orang terdekat yang kita kenal. Tak ada satu pun yang mengetahui keberadaanku.
Kau terduduk lemas. Tangismu mulai pecah. Penyesalan yang amat mendalam. Penyesalan yang terlambat, pikirmu. Tak henti kau mengucap maaf dan menyebut namaku. Akhirnya kau terlelap bersama penyesalanmu yang begitu berat.
Kau berlari menuju dapur dan menemukan sebuah ponsel yang sering kau lihat. Ya. Ponselku. Kau segera memeriksa pisau-pisau yang ada di dapur. Tapi ah! Kau kan jarang menyentuh dapur. Jadi kau tidak tahu berapa jumlah persisnya pisau yang ada di sana. Kau menoleh dimana biasanya semprotan anti serangga di letakkan. Kau segera mengambilnya, mengangkat dan kemudian mengguncangkannya. Isinya masih berat.
Kau kemudian naik ke loteng atas dan berusaha mencari apakah ada bekas atau sejuntai tali yang mengikat sesuatu. Oh tidak. Mengikat seseorang lebih tepatnya. Tapi kau tidak menemukan apa-apa.
Kemudian kau segera turun. Mengambil ponselmu dan memijit nomerku dari sana. Tak lama, ada suara dering keras berbunyi tak jauh dari tempatmu berdiri. Ah sial! Makimu sambil membanting ponselmu ke lantai hingga baterainya terlepas dari badan ponsel. Kau lupa, aku meninggalkan ponselku di atas meja dapur.
Kau segera mengambil ponselmu. Menghubungi orang-orang terdekat yang kita kenal. Tak ada satu pun yang mengetahui keberadaanku.
Kau terduduk lemas. Tangismu mulai pecah. Penyesalan yang amat mendalam. Penyesalan yang terlambat, pikirmu. Tak henti kau mengucap maaf dan menyebut namaku. Akhirnya kau terlelap bersama penyesalanmu yang begitu berat.
Kau membuka mata, melihat sosokku sedang memeluk kitab suci dan berpakaian putih. Aku tersenyum, namun aku tidak bisa menyembunyikan mata sembabku. Kau berdiri dan setengah tidak percaya. Kau menangis kemudian mengucap maaf. Kau tertunduk begitu dalam. Aku tersenyum. Mengangkat dagumu dan tersenyum lagi. Kau seakan merasakan sentuhanku nyata.
"Maaf kan aku, Dek. Bukan maksudku untuk menyakitimu." Katamu sambil menahan air bah yang ada di kelopak matamu.
"Maafkan aku juga, Mas. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir. Aku hanya menenangkan diri sejenak. Bersama Tuhan." Jawabku tenang.
"Sumpah demi agama yang benar, Dek. Aku tidak pernah mengkhianatimu! Saat itu aku hanya menolongnya karena dia sedang sakit dan harus diantar kerumah sakit. Aku berbohong padamu bukan karena aku ingin menduakanmu. Aku hanya khawatir bila kau tahu, kau akan cemburu. Lalu kau menyimpannya begitu sakit dalam hatimu. Kalau kau sudah memikirkan sesuatu, kau akan malas makan. Aku tahu, kau punya penyakit maag, Dek. Aku tidak mau kamu sakit dan menderita hanya karena ini. Makanya aku berbohong. Bukan karena aku tidak mencintaimu dan bermaksud kembali padanya." Kau meyakinkanku begitu kuat.
"Iya, Mas. Aku mengerti. Maafkan aku jika aku kurang mempercayaimu. Seharusnya Suami istri haruslah saling percaya. Maafkan aku, Mas."
Lalu kita berpelukan. Mengeluarkan gundah yang selama ini tertahan lidah. Kau dan aku akan selalu menunggu dan mendapatkan maaf.