Saya terbangun dan di depan mata saya ada sebuah tulisan "The Geography of Bliss" dan "Erwin Weiner".
Ohiya, itu adalah sebuah buku. Buku yang saya beli beberapa minggu yang
lalu. Saya memejamkan mata kembali. Berharap kenikmatan tidur bisa
membuat saya lupa akan tanggungjawab saya. Ah, ternyata tidak. Saya
gagal untuk membuat perasaan saya bahagia. Saya gagal untuk melupakan
tanggungjawab, saya gagal untuk kembali tidur. Saya membuka mata dan
memiringkan badan saya ke kiri sehingga terlihat buku tebal berwarna
merah kecoklatan tadi. Saya mengambilnya. Kemudian membacanya sambil
tiduran.
Buku "The Geography of Bliss" karya Erwin
Weiner adalah buku yang saya beli beberepa minggu yang lalu saat saya
merasa sangat penat dan kesepian --ya, kesepian. Anggap saja begitu-- di
rumah. Secara tiba-tiba saya ingin pergi keluar rumah dan menuju suatu
tempat untuk membeli salah satu aksesoris elektronik yang saya punya.
Tidak dapat dipungkiri, tempat pertama dan yang paling lama saya
kunjungi adalah toko buku. Sebuah toko buku kecil dengan pengunjung --
ya, pengunjung. Karena sebagian mereka hanya ingin datang dan membaca.
Tidak membeli buku-- lebih sedikit dibanding dengan pegawai-pegawai toko
tersebut. Toko buku ini sudah banyak ditinggalkan orang-orang. Selain
koleksinya yang tidak lengkap, toko buku ini juga menjual aksesoris atau
Stationery lebih dari setengah dari total isi tokonya. Saya
berkeliling dari satu rak buku ke rak buku yang lainnya. Mengabsen satu
per satu buku yang ada disitu. Mana tahu saya akan membeli salah satu
dari mereka. Beberapa buku memberhentikan jari saya dan menyuruhnya
untuk membaca sinopsisnya atau mengambilnya untuk dibaca secara detil.
Bila saya beruntung, saya akan mendapati buku yang telah dibuka segelnya
dan saya bisa membaca sebagian isinya. Saya berjalan lagi menuju rak
buku yang lainnya. Saya rasa saya akan membeli buku novel itu, buku
novel yang pernah direkomendasikan oleh salah satu teman. Katanya bagus.
Tapi entah. Kemudian saya menuju rak buku berputar. Tidak tidak. Bukan
rak buku yang bergerak memutar, tapi kita bisa berjalan memutarinya 360
derajat untuk melihat isi rak buku yang lebih tepatnya beberapa papan
disusun pada tiang penyangga berbentuk silinder yang besar. Ada sebuah
buku misteri dan buku detektif. Baru-baru ini saya memang menyukainya.
Sebagai pengurangan rasa sensitif saya terhadap perbandingan drama di
televisi dengan kenyataan yang terjadi. Intinya supaya saya lebih suka
berfikir hal lain selain perasaan. Saya menemukan buku ini. Buku dengan
judul aneh, Geografi??? Buku yang sudah tidak tersegel plastik itu masih
cukup bagus untuk dibilang bekas dan tidak menarik untuk dibilang baru
karena sudah tanpa segel. Di sampul buku ini tertulis "The Geography of Bliss. Kisah seorang penggerutu yang berkeliling dunia mencari negara paling membahagiakan"
Karya Eric Weiner. Katakan pada saya para pecinta buku, atau para
pecinta jalan-jalan, pasti kalian akan mengernyitkan dahi ketika melihat
judul tersebut. Sedikit takjub dan diluar pikiran biasa. Yah. Biasanya,
buku membahas tentang bagaimana cara mencari bahagia. Bukan negara
mana. Tak jauh dari judul itu, ada tulisan "New York Times Best Seller". Dengan Tagline
yang dipasang, saya rasa sudah cukup alasan saya membeli buku itu. Hm..
Tunggu sebentar. Saya kemudian membaca sebagian komentar mengenai buku
tersebut yang tercetak diawal halaman dan disampul paling belakang.
Rata-rata buku ini membuat mereka takjub dan berfikir ulang mengenai
kebahagiaan. Mereka berpendapat bahwa penulis buku ini adalah seorang
pelawak yang filosofis atau filsuf yang humoris. Pada kenyataannya
adalah dia seorang koresponden asing untuk National Public Radio.
Akhirnya saya membeli buku tanpa segel ini. Karena tinggal satu-satunya
dan saya butuh hiburan. Baiklah, saya tidak akan menceritakan lebih
lanjut tentang buku ini. Anda bisa membelinya sendiri. :p
Meskipun
komentar dalam buku tersebut bilang kalau buku ini memiliki humor, tapi
entah mengapa saya kurang mendapatkan sensasinya. Entah memang selera
humor saya yang rendah atau memang selera humor yang berbeda yang
dimiliki buku ini? Tapi saya tidak begitu mendapatkan sensasi seperti
apa yang diceritakan dalam komentar buku ini. Tapi satu hal yang sangat
menarik. Di buku ini kan berjanji untuk membicarakan tempat
mencari kebahagiaan. Mulai dari Eropa hingga Asia, dijelajahi si
penulis. Jujur, saya suka buku ini. Diluar humor yang sepertinya otak
saya tidak sampai untuk lelucon-lelucon cerdas. Penulis, Eric,
Mendatangi negara Belanda untuk bertemu Prof. Ruut Veenhoven: Bapak
Riset Kebahagiaan. Jangan heran, ini serius. Beliau punya Database
Kebahagiaan Dunia (World Database Happiness). Saya tidak tahu apa
isinya secara persis. Tapi kalau tidak salah tangkap, disana juga
terdapat peta negara-negara yang bahagia.
Kita tidak
akan membicarakan negara itu. Sekarang saya bertanya, menurut Anda,
Apakah kebahagiaan itu? Apa ukurannya yang membuat itu disebut
kebahagiaan? Ukuran? Ya, saya hanya ingin mengukur secara eksak. Mungkin
saja mendapatkan rumus pasti. Saya bukan Albert Einsten yang juara
pintarnya. Tapi saya tidak kalah kepo sama dia yang suka main
rumus-rumus. Saya tidak suka matematika. Saya benci angka-angka. Tapi
saya orang yang sangat penasaran. Penasaran menyebabkan saya punya bahan
bakar untuk mencari tahu. Bukan saya sok pintar. Tapi hanya mencoba
merumuskan bagaimana bahagia itu terbentuk. Apakah faktor eksternal dan
lingkungan berpengaruh pada kebahagiaan? Bila lingkungan Anda sedang
rusuh, hati anda yang tenang juga ikutan rusuh, maka mungkin fungsi
matematika untuk kebahagiaan Anda adalah
f(x)= Li - Mo
Dimana x adalah kebahagiaan, Li adalah Faktor Lingkungan, dan Mo adalah Mood --anggap saja begitu.
Mengapa
saya meletakkan lingkungan ada di depan? Karena biasanya bilangan yang
didepan pasti lebih besar dibanding bilangan pengurangnya. Bila bilangan
pengurangnya lebih besar, maka akan menghasilkan angka negatif. Atau
jawaban dalam fungsi ini adalah tidak bahagia.
Lalu
bagaimana dengan yang kebahagiaannya tidak terpengaruh oleh faktor
lingkungan? Ya Rumus fungsi matematikanya tinggal dibalik aja. heheheee
Tapi untuk hasilnya, saya rasa akan berbeda. Karena apabila Mo > Li belum tentu menciptakan kebahagiaan pada Li. Oke begini:
Jika f(x)= Li - Mo, misalkan kita masukan angka Li = 5 dan Mo = 1, maka
f(x) = 5-1
x = 4 --> Hasil positif. (mungkin) Bahagia.
Tapi kalau dibalik fungsinya: f(x)= Mo - Li, misalkan masukkan angka Mo = 5 dan Li = 1,
f(x) = 5-1
x = 4 --> hasilnya positif.
Namun
dengan hasil positif itu apakah berarti mood seseorang yang tidak
terpengaruh lingungan akan benar mutlak bahagia? Atau karena Mood
seseorang yang bahagia, bisa merubah lingkungannya jadi bahagia juga?
Bisa jadi. Bisa juga tidak. Wah, kalau yang satu ini pasti harus dibuat
penelitian lebih lanjut mengenai keterkaitannya. Saya udahan deh. Lagi gak mau skripsi-skripsian dulu. hehehee
Baiklah.
Seperti yang disebut diawal, ukuran kebahagiaan itu berbeda-beda.
Bahkan batasannya untuk orang yang sama juga berbeda. Misalnya,
seseorang akan bahagia jika mendapatkan sebuah buku tulis. Tapi bila dia
mendapatkan tiga? Pasti lebih bahagia lagi, pikir kita. Bagaimana jika
tidak? Jika dia memang benar-benar bahagia bila hanya memiliki satu buku
tulis untuk melengkapi raknya yang kecil agar bisa penuh hingga ujung.
Jika dia mendapatkan tiga? Maka dia akan memperoleh masalah baru:
"Dimana saya akan meletakkan dua buku ini?"
Oke. Kita
menemukan masalah lagi. Selain mencari makna sesungguhnya akan
kebahagiaan, mencari rumus pastinya,kita juga mendapat masalah bila
"kebahagiaan" itu datang dengan jumlah yang tidak sesuai dengan
keinginan kita. Entah lebih kecil atau lebih besar. Berpengaruhkah pada
level kebahagiaan? Level kepuasan, mungkin. Tapi apakah kebahagiaan itu
hanya berhenti pada kata "puas"? Lalu bagaimana dengan sifat dasar
manusia yang tidak pernah merasa puas? Ada yang bilang, dengan
bersyukur, kita akan puas dengan apa yang sudah kita terima. Saya
setuju. Tapi tidak membuat saya berhenti mencari yang lebih baik. Kalau
hari ini saya bisa mendapat satu buah stroberi hanya dengan berjalan
satu menit, niscaya besok saya akan berjalan satu jam untuk mendapatkan
buah stroberi yang lebih banyak.
Katanya, kebahagiaan
itu asalnya dari diri sendiri. Katanya. Kalau kebahagiaan hadir dari
diri sendiri, kenapa bisa terpengaruh oleh lingkungan? Mungkin sebagian
Anda akan menjawab, saya tidak terpengaruh oleh lingkungan. Oke. Itu
pendapat Anda, saya hargai. Namun hargai saya juga jika tidak begitu
yakin. Misalnya, Anda mendapatkan uang sebesar Rp 20 juta. Kemudian
terjadi -Naudzubillahiminjalik- masalah dalam lingkungan Anda, kemudian
orang-orang akan melirik Anda yang memiliki uang sebanyak itu untuk
dapat memberikan mereka bantuan. Tentu Anda --bila Anda baik hati-- akan
memberinya dengan senang hati. Nilai kebahagiaan Anda bertambah. Itu
artinya, kebahagiaan Anda juga dipengaruhi lingkungan bukan? Pengaruh
lingkungan bukan hanya mengenai hal negatif saja. Lalu, jika Anda
sedikit kikir, pasti Anda tidak akan nyaman tidur sambil memeluk uang
Anda. Takut kalau-kalau lingkungan mulai beringas dan merebut
kebahagiaan Anda.
Ketika saya sedang sedih atau sedang
ada masalah, saya mencoba membahagiakan diri sendiri dulu. Karena
katanya, kebahagiaan kan asalnya dari diri sendiri. Saya mencoba memakan
cokelat --terimakasih Tuhan, saya tidak alergi cokelat--, katanya
cokelat dapat menjadi penahan sakit, hal ini dikarenakan cokelat dapat
mengeluarkan senyawa endorphine yang membuat perasaan menjadi lebih
tenang. Endorphine adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitary di kepala kita. Cokelat
yang dapat membuat mood lebih baik hal ini dikarenakan kandungan
caffeine, theobromine, methyl-xanthine dan phenylethylalanine dipercaya
dapat memperbaiki mood sehingga mampu menurunkan tekanan darah. Lalu?
Seketika saya bahagia? Tidak! Saya suka makanan pedas. Saya coba membuat
makanan pedas. Untuk sementara saya bisa melupakan masalah saya, karena
ketika saya merasa kewalahan oleh pedas, hanya satu hal yang saya ingat
yaitu: AIR!
Jalan-jalan? Bisakah membuat kebahagiaan
muncul? Mungkin. Karena kita bisa menghirup lebih banyak udara dibanding
jika kita termenung didalam kamar sampai ketiduran. Otak ita butuh
lebih banyak oksigen untuk bisa berfikir lebih baik. Kita juga bisa
membuka pikiran lebih luas dan berinteraksi dengan lebih banyak orang.
Nah ini yang saya kelompokkan jadi sebuah kebahagiaan: Interaksi!
Interaksi bukan hanya dengan orang lain, interaksi dengan Tuhan juga.
Menangis?
Tidak menyelesaikan masalah. Setidaknya menurunkan emosi dan tekanan
darah. Jadi bahagia? Tidak juga. Hanya merasa lega. Berarti kebahagiaan
itu bukan hanya kepuasan? Kelegaan juga? Bedanya? Saya lihat dikamus,
kedua kata ini saling mengartikan. Lega bisa dikatakan puas, dan puas
bisa mengartikan lega. Kalau saya, lebih mengelompokkan mereka ke dalam
bahagia. Bukan pengertian dari bahagia itu sendiri. Bisa jadi, ada
sebuah luka dan kekecewaan dalam hati saya yang malah membuat saya lega
dan puas. Misalnya apa ya? Hmmm... Siapa yang tidak kecewa kalah
bertanding? Tapi saya pernah merasa lega karena saya kalah bertanding...
Lebih tepatnya, bukan saya saja. Tapi teman-teman saya yang lain juga
tidak ada yang menang. Hahahaaa! Jahat? Tidak! Hanya bahagia. Karena
teman-teman saya tidak membuat saya minder. :p
Bagaimana
jika rumus tadi kita tambahkan saja dengan Sudut Pandang? Tidak pasti
memang. Tapi saya rasa mood itu memang dipengaruhi sudut pandang. Jika
sudut pandang memiliki satuan atau angka bilangan tetap, maka mood dan
lingkungan tidak berpengaruh. Bila lingkungan Anda sedang buruk, bila
Anda memandangnya dari sudut pandang kekacauan, pasti mood Anda ikut
kacau. Bila diri Anda sedang bahagia, sudut pandang Anda akan positif.
Bila Anda sedang sedih, maka lingkungan Anda akan merespon. Saya ingat
suatu kalimat bijak, "Ingatlah, bila kita menghadapi masalah, maka
beberapa orang akan peduli dan sisanya hanya ingin tahu" dan saya rasa
saya mau menambahkan sedikit, "beberapa orang yang hanya ingin tahu itu
ada yang bersimpati dan ada yang akan menyalahkanmu"
Oke. Kita coba buat rumusnya saja. Misalnya
f(x)= (Li-Mo) . SP
dengan
SP adalah sudut pandang dan nilainya harus selalu 0 (nol). Mengapa?
Agar Sudut Pandang bisa menetralkan semua hasil dari fungsi. Tidak
negatif dan tidak pula positif. Lha berarti tidak bahagia donk? Menurut
saya, kebahagiaan itu kebutuhan. Hasilnya akan pas bila butuh satu dan
mendapatkan satu --> 1-1 = 0. Bila malah berkurang 3? cari
bagaimanapun biar nggak minus 3. Yaitu usaha (menambah). Bila kelebihan 3? Cari bagaimanapun caranya biar 3 itu jadi 1, dengan berbagi (pengurangan).
Saya yakin, kenetralan tidak menimbulkan kecenderungan dan bisa membuat kita bisa berfikir lebih jernih.
Berfikir jernih bisa membuat kita tidak goyah (bukan tidak terpengaruh)
oleh keadaan lingkungan dan membuat lingkungan yang kacau bisa jadi
rukun lagi bila memang kita penjernih diantara yang keruh.
Ah! Saya sudah terlalu banyak bicara.
Lalu? Apa itu kebahagiaan?