Selasa, 27 Mei 2014

Kaki-kaki sahabatku

Tak tuk tak tuk tak tuk
Bunyi langkah kaki yang agak terburu-buru. Alas kaki berwarna terang, begitu sepertinya, mengkilap dengan bagian belakang lebih tinggi sehingga kaki milik nona itu menjadi berjinjit, mengkilap disapu cahaya matahari siang. Ada pula yang menggunakan sendal jepit, sepatu yang kelihatannya ringan digunakan untuk berlari, atau ada pula yang tanpa alas kaki sepertiku. Aku tidak pernah mengenal warna-warna. Aku tidak pernah tahu untuk itu.

Seringkali aku hanya mampu melihat kaki-kaki yang melintas begitu bebasnya di depan mataku, tanpa aku tahu siapa pemiliknya. Berbagai bentuk, warna dan tempo langkah, kunikmati setiap hari hingga sore tiba. Aku tidak membayangkan apa-apa. Aku tidak berharap apa-apa. Menikmatinya sudah merupakan rutinitasku.

Hari ini terik sekali. Aku berterimakasih pada matahari, sahabatku. Dia mau muncul dengan berani melawan awan. Setelah kemarin bertarung bersama petir dan runtuhan air yang banyak sekali membuatku agak menggigil. Yah, panas terik lebih baik dibandingkan basah kuyup.

Ada malaikat yang selalu berputar-putar di sekitar kepalaku. Aku mencoba memberitahu orang yang lewat di hadapanku bahwa aku punya teman yang menawan, bersih dan cemerlang. Aku ingin mereka melambatkan tempo kaki mereka yang kadang terlalu cepat melewati kepalaku. Aku tidak marah. Aku hanya ingin mengenalkan sahabatku yang bernama Malaikat. Aku ingin mereka juga melihat keajaiban ini.

Kadang kala, aku melihat seseorang berjalan sambil menangis. Berjalan menunduk dengan tempo jalan yang lambat. Matanya sembab entah kenapa. Bahunya naik turun terisak. Aku rasa dia lapar atau merasakan sakit. Sebab aku akan melakukan itu jika perutku benar-benar kosong atau ada orang yang tidak sengaja menendang kepalaku.

Ketika sahabatku, Matahari, mulai pamit kembali kedalam tanah, aku senang sekali. Nenek dan adikku datang dengan senyuman dan pastinya sebungkus nasi. Aku sangat bahagia. Aku tidak menangis hari ini. Aku bermain seharian dengan kaki-kaki yang melangkah kesana kemari dan matahari yang sudah tidak lagi marah kepadaku. Dia tersenyum sepanjang hari.

Nenekku sudah tua sekali. Badannya bungkuk dan kulitnya sudah keriput. Adik perempuanku beberapa tahun lebih muda dariku. Wajahnya lelah sekali. Tidak ada sedikit senyum yang tersisa. Aku rasa hari ini terlalu berat untuk mereka yang mencari uang.

Akhirnya ikatan kaki dan tanganku dilepaskan. Aku dibopong Nenek dan adikku. Berjalan menuju tumpukan kardus yang biasa kami tiduri bertiga. Nenek mulai membuka nasi bungkus yang dibawanya. Aku melihat tangannya mulai mengumpulkan nasi dan mengepalkannya sambil membuka mulutnya yang memberikan isyarat bahwa aku harus melakukan hal yang sama, membuka mulutku lebar-lebar.

Aku tidak mengerti apa yang dibicarakan nenek dan adikku. Mereka bercakap-cakap sambil tersenyum, sesekali menoleh kepadaku. Akupun melakukan hal yang sama, tersenyum hingga membuat gigi-gigiku terlihat dan nasi yang aku kunyah minggir sedikit ke luar pipiku.

Aku tidak dapat mengerti apa-apa. Karena aku tidak dapat mendengar satupun bunyi. Aku tidak dapat menceritakan apa yang terjadi pada hariku, karena aku tidak bisa mengeluarkan satu bunyipun dari tenggorokkanku. Aku sudah seperti ini. Tidak bisa berjalan dan tidak bisa membantu nenek dan adikku. Karena aku tidak bisa berfikir dengan pola fikir seperti mereka. Kaki dan tanganku selalu diikat ke sebuah tiang dekat terminal bus sebelum nenek dan adikku membawa jualannya untuk dijajakan. Mereka sangat menyayangiku. Mereka tidak mau kehilanganku. Mereka takut aku pergi dan menghilang. Maka aku diikat dan mereka bisa tenang mencari uang.

Tidak apa-apa. Aku tidak marah kepada Tuhan. Aku diberikan nenek, adik, matahari, udara, air -yang mungkin sering tidak bersahabat denganku karena sering membuatku kedinginan-, langkah kaki yang indah, senyuman, kadang usapan hangat dari beberapa orang yang lewat disekitarku. Tuhan menyayangiku. Kalian juga kan? Sebab Tuhan juga menyayangi nenek dan adikku.



Insipred by: Lakhan.
http://m.news.viva.co.id/news/read/507484-derita-anak-cacat-di-india--diikat-di-tiang-halte-agar-tak-hilang