Minggu, 27 Januari 2013

Menyerah


Firasat ini rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli, ku terus berlari...


Aku masih memejamkan mataku di atas kasur. Menghadapkan tubuhku ke langit-langit kamar. Ranjang ini begitu setia dengan air mata yang mengalir berjam-jam. Aku tidak tahu... Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Seharusnya semua baik-baik saja. Seharusnya semua berjalan lancar. Bilapun ada hambatan, bukan ini... Bukan mengenai ini.

Lagu "Firasat" oleh Dee Lestari mengalun pilu di telingaku lewat earphone yang terhubung dengan MP3 Player ku. Mengantarkan air mataku mengalir melintasi wajahku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku berteriak dalam doa dan berkata "Tuhan! Bantu aku!". Isi pikiranku sangat buruk. Perasaanku campur aduk. Dan pastinya otakku tidak bisa berpikir jernih. "Tuhan, haruskah hamba berhenti? Atau hamba bersabar sekali lagi?"

Aku memang masih naif untuk membedakan antara sabar dan bodoh. Tapi apakah aku terlalu tuli dan buta untuk tahu kenyataan yang ada? "Oh, Tuhan. Hamba menyerah..." Tetiba tangisku makin terisak dalam pejam mataku yang sulit ku buka. Aku enggan melihat dunia. Enggan menghadapi kenyataan. Inilah bentuk saat aku menyerah. Menjadi zombi yang bergerak tanpa tujuan.

"Tuhan, kali ini hamba benar-benar menyerah... Tetap dekap aku, Tuhan..."

Rabu, 16 Januari 2013

"Gift"


Gue membuka pintu kamar kos dengan berat hati. Gue berjalan lunglai seolah tenaga gue habis entah untuk apa. Gue cuma bisa ngeliatin kamar gue yang kayak kapal pecah. Berantakan banget! Tapi ya gitu, gak ada daya untuk ngeberesinnya. Lebih tepatnya, gak ada usaha dan niat. Gue ngebanting badan di kasur. Berharap beban gue hilang setidaknya berkurang ikut terbang bersama hembusan nafas berat yang gue keluarkan.

"A Gift". It is "A Gift", Friend. Temen gue pernah bilang gini, "Memang gak mudah punya "Gift" yang dikasih Tuhan. "Gift" ini bisa jadi penolong kalo dipake dengan benar. Tapi bisa membahayakan pemiliknya kalo nggak bisa digunakan dengan baik."

Kadang gue ngerasa capek sama "Gift" ini. Terserah sih mau percaya apa nggak. Dulu temen deket gue pernah bilang kalo "Gift" gue belom kebuka. Nanti akan ada saatnya. Dan saat yang dikatakan temen gue datang bertahap, gue gak menyadarinya.

Masih kebayang beberapa kejadian saat gue ngeliat sepeda lewat depan rumah dan terlintas dalam kepala gue sebuah gambaran sepeda itu tertabrak motor, dan apa yang gue liat di fikiran gue beberapa detik sebelum kejadian itu terjadi benar terjadi. Gue seolah gak menganggap itu hal yang penting. Kemudian ketika suatu kejadian dimana gue ngingetin temen gue untuk memajukan motornya sampai pintu gerbang sekolah.dan tunggu gue disana. Tapi dia tetep kukuh untuk ngeboncengin gue dari parkiran. Alhasil, pas depan pintu gerbang kami terjatuh. Dia jatuh tertimpa motor sedangkan gue entah kenapa berdiri tegak tanpa terluka sekalipun. Gue cuma bisa ngeliatin temen gue tanpa berkata apa-apa. Seolah hal itu udah pernah gue liat sebelumnya.

Perasaan gue gak enak. Rasanya pengen nangis. Gak tau kenapa. Tapi gue bener-bener nangis. Masih dengan tanpa alasan. Jantung gue berdebar gak nentu. Entah kenapa. Gue cuma pengen nangis. Gue nangis sesenggukan. Akhirnya gue berdoa dan berserah pada Tuhan apapun yang akan terjadi.

Pagi ini, mata gue sembab. Bekas nangis semalem masih membekas di kantong mata gue. Pagi ini telpon gue berbunyi. Ada nama nyokap tertera di layar. Nyokap dengan suara agak tertahan berkata, "Nik, Pulang ya... Bapak sakit."
Oh, Tuhan... Ternyata ini yang membuat gue gak tenang dari semalem. Gue pun gak buang waktu buat siap-siap pulang. Gue telpon pacar gue untuk mengantar gue pulang.

Ketika di mobil, gue memandangi dia dalam-dalam. Bukan karena kesedihan dan kekhawatiran yang gue rasakan terhadap kesehatan Bapak. Tapi entah kenapa gue merasakan kalo gue bukanlah berakhir pada dia, pacar gue. Perasaan yang sama yang pernah gue rasain dulu. Tiba-tiba gue bilang, "Nanti kalo lo nikah, dengan siapapun, jangan lupa bawain lagu 'I will survive' ya, lo kan jago maen bass tuh." Kemudian pacar gue cuma mengernyitkan dahi dan berkata, "Apaan sih." Dan tak berapa lama, gue putus sama dia.

Banyak Kejadian dimana perasaan gue gak enak, mendadak pengen nangis atau seperti ada sesuatu yang akan terjadi dan itu adalah hal buruk. Seseorang pernah bilang sama gue, gue punya bibit untuk memiliki "Gift" dari Tuhan. Tinggal tunggu waktu.

Tapi sejujurnya, kadang gue merasa nggak nyaman dengan hal ini. Terlebih ketika gue gak tau apa yang bakalan terjadi tapi perasaan tersebut udah dateng sama gue sebelum kerjadian itu terjadi. Terkadang juga gue merasa gak enak dekat dengan seseorang. Seperti ada sesuatu yang salah dengan orang itu. Hal itu bikin gue mendadak agak segan buat deket dia dan nggak sengaja menjauh. Kadang gue paksakan diri buat ngelawan perasaan itu. Tapi pada akhirnya gue tahu kenapa gue dulu pernah punya prasangka gak enak sama dia.

 Tuhan, bukan aku tidak menerima "Pemberian" ini. Hanya saja mentalku tidak siap. Atau tidak akan pernah siap? Beberapa teman ada yang mengetahui mengenai hal ini. Kadang lelah mengetahui sesuatu yang buruk tapi tidak mau memberitahu hal buruk itu kepada teman karena ingin teman itu bisa lebih dewasa dan lebih baik apabila mengalami hal itu. Kadang lelah dan penat menembus kepala gue dengan berat. Menembus dimensi yang seharusnya dilalui lorong waktu tapi gue buka dalam bayangan.

Tuhan, kuatkan hamba-Mu ini.... Terimakasih atas pemberian yang sangat berharga. Semoga berguna untuk banyak orang dan tidak merugikan. Aamiin.



Senin, 14 Januari 2013

To: A

Dear A, Where have you been?

A, aku memanggilmu dalam kegelapan yang ku coba usiri dengan canda dan tawa dengan sahabat. A, apakah kau mendengarku? Aku melempar pesan sunyi ke udara dan berharap seseorang dapat menangkapnya dan menanyakan keadaan ku, dan aku masih berharap kaulah orang itu, A.

A, waktu yang selama ini berteman dengan ku sekarang berbalik arah. Kau tahu, A? Dia berbalik menyerang dengan batasan-batasan yang dulu dapat ku tembus kini aku harus dikejarnya tanpa tawar menawar.

A, pertanyaan-pertanyaan yang biasanya menjadi lelucon kini menjadi pedang yang siap menyayatku dan menikamku dalam-dalam. A, mengertikah kau? Dimanakah kau, A? Aku ingin sejenak merebahkan tangisku, setidaknya ditelingamu, A. Tidak harus di pundakmu. Karena mungkin pundakmu sudah terlalu berat menahan beban.

A, pilihan-pilihan yang ku susun telah diporak-porandakan oleh sebuah kenyataan. Kenyataan dimana aku harus menyusun ulang segala mimpiku. A, tapi aku sudah terlanjur memilih, tidak mungkin aku mundur. Tapi kenyataan menyuruhku untuk jalan ditempat, A. Bagaimana ini, A?

A, dapatkah kau mendengar pesan sunyiku?

A, Dimana dirimu?