Firasat ini rasa rindukah ataukah tanda bahaya? Aku tak peduli, ku terus berlari...
Aku masih memejamkan mataku di atas kasur. Menghadapkan tubuhku ke langit-langit kamar. Ranjang ini begitu setia dengan air mata yang mengalir berjam-jam. Aku tidak tahu... Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Seharusnya semua baik-baik saja. Seharusnya semua berjalan lancar. Bilapun ada hambatan, bukan ini... Bukan mengenai ini.
Lagu "Firasat" oleh Dee Lestari mengalun pilu di telingaku lewat earphone yang terhubung dengan MP3 Player ku. Mengantarkan air mataku mengalir melintasi wajahku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku berteriak dalam doa dan berkata "Tuhan! Bantu aku!". Isi pikiranku sangat buruk. Perasaanku campur aduk. Dan pastinya otakku tidak bisa berpikir jernih. "Tuhan, haruskah hamba berhenti? Atau hamba bersabar sekali lagi?"
Aku memang masih naif untuk membedakan antara sabar dan bodoh. Tapi apakah aku terlalu tuli dan buta untuk tahu kenyataan yang ada? "Oh, Tuhan. Hamba menyerah..." Tetiba tangisku makin terisak dalam pejam mataku yang sulit ku buka. Aku enggan melihat dunia. Enggan menghadapi kenyataan. Inilah bentuk saat aku menyerah. Menjadi zombi yang bergerak tanpa tujuan.
"Tuhan, kali ini hamba benar-benar menyerah... Tetap dekap aku, Tuhan..."